Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Thursday, October 2, 2014

Wahana

Baca dulu: Sejumput Halo

***

Rasanya aneh saat menunggu kembali jadi kebiasaan. Sudah lama rasanya tidak menunggu selama ini, karena terakhir kali dibuat menunggu, saya juga dibuat berkaca-kaca dengan kalimatnya. Tidak sengaja saya tersenyum mengingat hari itu. saat ia bilang, "Tolong jangan kemana-mana.." 

"Hai"

Saya menoleh ke atas saat dia dengan kaos favoritnya duduk di hadapan saya membawa satu kotak kue bolu pandan. Seperti tahu raut bingung saya, dia menjawab, "Mama yang bawain." 

"Bilang makasih buat mama ya.." Sahut saya sambil mengambil kotak kue itu. Dijawab hanya dengan senyum oleh empunya Mama. 

"Pesen, yuk.." Kembali dia melihat jam di pergelangan tangan kanannya. Sudah dua kali, sekarang. "Lagi buru-buru ya?" Celetuk saya, penasaran. Dia tersenyum malu. "Nggak kok... I am all yours today." Ditambah dengan senyum yang entah sejak kapan saya nantikan, mungkin cukup saya dan Tuhan yang tahu jika kecepatan degup jantung saya bertambah. Salah tingkah, saya ikut tersenyum. 

"Okay, then." 

Satu jam berlalu, kami masih sibuk bicara, bertukar cerita sambil merasakan angin pendingin ruangan yang berlebihan. Satu kali izin ke toilet, sepuluh kali melirik jam, dan dua kali mengunjungi media sosial. Saya se-membosankan itu kah? 

"Jadi sekarang udah semester berapa?" Dia bertanya meyakinkan - entah dirinya sendiri - atau saya, karena dia sudah bertanya dua kali. "Jalan semester 6.." "Hoo iya, aku lupa. Tadi kamu udah bilang. Maaf ya.." Dia terkekeh pelan. 

"Seru nggak, kerja di majalah?" Giliran saya bertanya. "Banyak serunya, tapi capek sih..hehe" Tidak ada jawaban yang dilontarkan perempuan ini tanpa tambahan 'hehe' atau 'haha' di belakangnya. Kadang saya bertanya-tanya, apa yang saya lewatkan. 

Dua tahun itu dimulai dengan ketidaksengajaan, saat kami sama-sama duduk di bangku SMA. Kami bahkan tidak berada di sekolah yang sama. Tapi lucu rasanya saat kalian tahu apa yang bisa saya lakukan untuk dia. Dua tahun pacaran lebih mirip naik roller coaster. Selama di dalamnya, kamu berusaha untuk keluar, atau berusaha untuk tidak meledak, kadang kamu dibuat tertawa oleh sesuatu yang menari dalam perut, mungkin hanya kupu-kupu, dan saat kamu sudah keluar, setengah dari kamu merasa lega karena kamu tidak akan duduk di wahana yang sama, dan kamu bisa menarik napas lega karena wahananya tidak menahan kamu disana. Tapi setengah bagian lagi menghantui kamu dengan perasaan 'kali ini akan berbeda', 'kali ini akan lebih baik', 'ah, ini kan roller coaster yang sama'. 

Dua tahun berlalu, dan kami bertemu tanpa sengaja di kota yang mempertemukan kami sebelum roller coaster

"Lah, Put, kamu ngelamunin apa deh.." Kini, dia tertawa melihat muka melamun saya. Saya tidak pernah bercermin saat saya melamun, tapi saya yakin saya terlihat konyol sekarang. Lebih malu daripada saat saya tidak sengaja mengambil majalah dewasa di toko buku. Walaupun saat itu, dia tertawa lebih keras dan lebih lama. 

Saya gelagapan, takut dia tahu apa yang saya lamunkan. "Jalan yuk.." Kata saya akhirnya. 

"Aku mau naik bianglala.." Katanya tiba-tiba saat kami berjalan ke arah parkiran mobil. 
"Sekarang?"

Dia mengangguk, menunggu persetujuan saya. Saya ada 1001 alasan untuk menolaknya, dan saya lebih dari bisa untuk bilang tidak, tapi sekali lagi, ada 1/4 bagian hati saya bilang 'Saya juga mau naik bianglala sama kamu'. 

Jadi, alih-alih menjawab, 'aku ada acara habis ini', atau 'lain kali, aja ya' (dan saya berharap dengan memberi jawaban seperti ini dia tidak akan berharap benar-benar ada lain kali), atau 'entar aku dicariin' saya menjawab "Ayoo.." 

Sampai di bianglala, antriannya bisa disandingkan dengan antri sembako saat hari raya. 

"Yah, rame.." Ucapnya kecewa. "Nggak jadi naik, nih?" Saya bertanya memastikan. "Antriannya parah banget gitu, emang kamu mau ngantri gitu?" 

Sekali lagi, 1/4 bagian hati saya yang tidak bisa saya kendalikan karena perasaan saya untuk perempuan satu ini menolak untuk mengecewakannya. Saya bisa saja bilang 'ayo jalan-jalan aja' atau 'yaudah, makan es krim aja yuk' atau 'bisa lain kali, kan?', tapi untuk pertama kalinya saya bilang, "Nggak apa-apa lah, kapan lagi kesini sama kamu.." Agak tidak percaya saya mengatakannya barusan. Dan rasa bersalah itu menyusup masuk sambil membuat rasa nyelekit familiar. Tapi dalam remang lampu jalan, saya masih bisa melihat pipinya merona merah. Sepadan. 

Setengah jam kami menunggu bianglala yang kosong, akhirnya kami mendapat giliran bianglala biru muda. Dia memilih untuk duduk dekat jendela, siap untuk mengabadikan city lights saat kami sudah di atas sana. 

"Kamu tau, Put, pas Beyoncé shooting video klip yang XO, she made a couple stuck in the ferris wheel for an half of hour just because she fixed her make up. Can. Not. Believe. That." Saya tergelak mendengarnya. "You have the most random thoughts ever, gimana bisa kamu mikirin Beyoncé sekarang?"

"Emang harusnya aku mikirin apa?" 

Apa kek, aku kek. Apa kek.

"It's beautiful.." Katanya dengan mata berbinar, memantulkan puluhan lampu-lampu Kota Batu yang mengecil. Seindah itu, sampai dia lupa untuk mengeluarkan ponselnya. Gantinya saya yang mengabadikan city lights kesayangannya. Untuk dua sampai tiga frame saya sisakan untuk mengabadikan wajah itu, ekspresi yang akan saya rindukan saat bianglala ini mengangkut pasangan lain. Ini yang saya sebut indah. 

Saat satu frame tersisa untuk wajahnya, dia menoleh, melihat saya dengan binar yang sama. Click! 

"Apa?" Saya bertanya mencoba berhenti salah tingkah. "Muka aku jelas nggak?" Dia mengintip hasil jepretan saya. Tambah salah tingkah, saya memberikan ponsel saya. "Wah, aku minta yang ini ya entar. Bagus." Sahutnya, gembira. 

"Wah...ini siapa?" Dia memperlihatkan foto perempuan yang tidak asing bagi saya. Kirana. Pacar saya. 

"Temen.." Saya mengambil ponsel saya, dan menguncinya. 

"Ohh.."

Dan tiga menit berikutnya kami habiskan dalam diam. Dia dan isi hatinya yang tidak akan pernah bisa saya mengerti, mengunci saya di luar. 

"Kok diem aja?" Saya bertanya saat kami turun dari bianglala. "Eh, jangan lupa kirimin foto yang tadi ya.." Katanya, tidak menjawab pertanyaan saya. "Habis ini mau kemana?" Saya bertanya lagi. 

"Masih ada kan alamat e-mail aku?" Sekali lagi, dia membiarkan pertanyaan saya menggantung. 

"Ada.." 

"Putra, aku duluan ya.." Caranya pamit seperti merasakan zat korosif berhasil mengikis pinggiran hati saya, perih. 

Saya tahu rasanya. Saya paham sakitnya. Tapi saya tidak pernah mencoba untuk mencegahnya pergi. Selalu ada ego yang menahan saya. Gengsi besar yang lebih besar dari rasa sayang saya.  

"Ras..." Saya berjalan menyusulnya. "Ati-ati ya pulangnya.." 

Dia tersenyum, lalu mengangguk. 

"Kamu yang langgeng ya.." Bukan lega yang saya rasakan saat dia mengatakannya, lebih seperti dosis berlebih zat korosif ditumpahkan tepat ke dalam hati saya. 

Kalau boleh memilih, saya tidak akan mau naik roller coaster lagi. Saya akan pilih biang lala. Tapi, sama kamu, Ras. 








4 comments:

  1. Kyaa too cute to be fiction :')

    ReplyDelete
  2. kyaaa few parts of it are not fictions and telling you which parts don't seem fair :p

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. hi from jakarta! Thank you for posting a comment and of course for saying so! Let's keep in touch :)

      Delete