Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Wednesday, June 4, 2014

Rumah

1 tahun yang lalu sebelum Milan. Sebelum Rayna.

Hari itu adalah hari kasual milik kami berdua minggu ini. Kami selalu menyempatkan untuk pergi berdua setiap minggu. Tidak perlu di malam minggu karena kami bukan pacar untuk satu sama lain, hanya teman. Teman-teman saya selalu tertawa jika saya bilang Rana dan saya hanya teman. Mereka bilang itu tidak mungkin. Mereka bilang itu satu dari sejuta. Saya juga ikut tertawa tapi memang hanya satu dari kami yang menganggap status teman sudah cukup. Tapi bukan saya. Walaupun saya merasa pertemanan kami timpang, saya baik-baik saja. Karena saya tahu dia tidak pernah pergi. Dia selalu disini. Sampai hari itu. Sampai dia bilang akan melanjutkan kuliahnya di Milan. Setahu saya jarak Jakarta dan Milan tidak sedekat saya dengannya sekarang. Dipisah meja kayu tebal di kafe kesayangan kami, melihatnya bersemangat menceritakan tentang masa depannya tanpa saya. 

"Kok lo nggak semangat gitu sih?" Tanya Rana di sela-sela celoteh semangatnya.
"Ha? Yaiyalah, orang lo yang ke Milan, kok gue yang seneng.." Saya menahan rasa nyelekit yang tiba-tiba datang. 
"Galak banget sih. Tenang, gue gak nyampe setaun kok, habis itu langsung balik." Jawab Rana santai.
"Why do you even want to go back? Stay there, don't go back." Ego saya membuat jawaban itu terucap begitu saja. Satu detik setelah saya menjawabnya ketus, dia menarik diri, saya tidak melihat semangatnya lagi. 

"Why?"

Dan ini adalah jawaban terbaik saya. Berharap dia akan berpikir sebaliknya. "There's nothing here."

***
Bandara Soekarno-Hatta 13 Hari Kemudian

"Why are you leaving?" Ardi bertanya di depan gate keberangkatan di Terminal 2E sambil memandangku sedih. Mungkin lebih tepatnya kecewa, karena satu minggu terakhir aku disini malah aku habiskan berada di rumah dan tidak kemana-mana. Tidak bertemu dia sekalipun. Dia datang ke rumah, hanya aku tidak menemuinya. Kekanak-kanakan memang, tapi kamu hanya tidak tahu rasanya punya perasaan untuk sahabat sendiri. Aku teringat saat masa-masa terakhir SMA, Ardi mengenalkan aku pada teman-temannya dan mereka bilang kami lebih cocok jadi pacar untuk sama lain daripada 'hanya' teman. Yang aku lakukan hanya tertawa dan mengelak, karena aku yakin Ardi akan melakukan hal yang sama. Dan benar, dia hanya tertawa.

"You were right. There's nothing here." Akhirnya aku menjawab.
Ardi diam. Sepertinya dia tidak ada niat untuk menjawab pernyataanku barusan. Aku melihat jam tanganku. "I should go. Salam buat Rayna, ya." Aku memeluk Ardi lama. Karena mungkin ini yang terakhir. "Lo baik-baik, ya. Jangan lupa makan." Kataku masih di dalam pelukannya. Ardi tergelak sedikit. "Langgeng sama Rayna, ya." Kalimatku yang barusan adalah doa ala-ala setiap Ardi punya pacar. Sesungguhnya aku tidak berharap mereka langgeng.

Ardi mencium pipiku sebelum melepaskan pelukan. "Lo baik-baik ya disana. Semoga ketemu pacar orang Indo biar balik lagi kesini." Katanya sambil tertawa. "If i ever go back home, you will be the reason why." Jawabku lalu mencium keningnya (yang entah kenapa aku lakukan begitu saja tanpa pikir panjang).

Ardi kelihatan terkejut, tapi lalu dia tersenyum. "It's good to know." Katanya sambil menggamit tanganku mendekati gate keberangkatan.

Mungkin kalian tidak percaya yang aku katakan, hanya saja aku merasa aku baru pulang. Kamu, Ardi, yang akan selalu aku sebut rumah.  

No comments:

Post a Comment