Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Thursday, November 20, 2014

Ke-sekian

Baca dulu: Wahana

***
Bandung,1 September 2014

Saya selalu tahu rasanya jadi yang kesekian. Sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan, karena semua orang punya prioritasnya masing-masing. Tapi hari ini saya menerima gaji pertama saya, dan hal pertama yang terpikir di benak saya adalah untuk merayakannya bersama kamu. Di benak saya, ada kamu dan makanan favorit kita. Ada kamu dan film favorit kita. Ada gelak tawa kamu. Kamu yang nun jauh disana. Kamu yang - ironisnya - selalu punya 1001 alasan untuk bilang tidak. Yang biasanya hanya bilang, "Maaf, Ras.." untuk tumpukan pertanyaan saya. Bahkan untuk pertanyaan yang seharusnya dijawab iya atau tidak, kamu jawab dengan maaf. Sejujurnya, saya tidak pernah butuh permintaan maaf kamu.

***
31 Agustus, 2014

Jakarta hujan hari ini. Saya masih duduk anteng di kubikel saya, menunggu hujan berubah pikiran dan kembali di lain hari. Hanya saja hujan malah turun makin deras. Saya menghela nafas. "Belom pulang, Ras?" Tanya 'tetangga' kubikel saya. "Belom nih, hujan." Saya menjawab seadanya. "Lah, lo kan naik mobil, nggak ngaruh, Ras." Dia tergelak mendengar jawaban saya. "Kan macet, kakak!" Cetus saya tidak sabaran. Dia paling gerah saya panggil kakak. Umur kami selisih lebih dari 4 tahun dan panggilan kakak ia hindari selama bertahun-tahun. Saya tergelak melihat pria ini memicingkan mata kesal. "Makan yuk." Ajaknya sambil bersender di pintu kubikel saya. "Makan apa?" "Apa kek? Kalo nggak mau, ya nggak apa-apa."

"Dih, ngambek, dih. Ayo deh!"

"Lo yang milih." Katanya sambil merangkul pundak saya, sok akrab. Tiba-tiba, ponsel saya berdering. Putra.

Setengah bagian hati saya bersorak gembira, harapan melambung tinggi, dan kupu-kupu tiba-tiba berkumpul dalam perut, tapi setengah bagiannya mendingin, membuat rasa ngilu yang aneh tapi entah kenapa familiar. Saya menekan tombol hijau dan mulai bicara.

"Hai," sapa Putra di ujung telepon sana. Saya mendengar gemericik hujan. "Hujan ya di Bandung?"

Putra tergelak. Saya reflek tersenyum. "Kok tau?" Tanyanya. "Nebak aja, hehe."

"Udah makan?"

"Ini mau makan.."

"Makan apa?"

Saya diam sejenak, bertanya kepada pria di samping saya yang sibuk bermain dengan ponselnya. "Mau makan apa?" "Bakso, yuk. Pas kan lagi hujan?" Dia memberi ide. Saya mengangguk dan kami berjalan ke warung bakso dekat kantor. "Bakso, Put.."

Tidak ada balasan di ujung telepon sana. Putra tiba-tiba diam.

"Halo? Put?"

"Kamu sama siapa?" Tanya Putra. Nada suaranya berubah. Posesif. "Temen, Put.."

"Temen as if...pacar?" Tanyanya lagi. Posesif dikali dua.

Saya tergelak. "Emang kamu?"

Dia diam. Saya bisa mendengarnya menghela nafas. "Selamat makan, Laras.." Lalu dia menutup telepon duluan.

Gantian saya yang menghela nafas sambil meletakkan ponsel saya di atas meja. "Pacar, Ras?" Pria berkaca mata di depan saya bertanya. Dengan jarak sedekat ini, saya bisa melihat bola matanya yang berwarna cokelat tua. Kacamata persegi itu mengaburkan warna bola matanya berulang kali. Dan saya tidak pernah melihat mata seteduh itu. Bahkan lebih teduh dari mata milik Putra. Reflek, saya tersenyum. "You have beautiful eyes."

Dia mengernyit bingung. "Hah?"

Saya sadar keringat dingin mengalir di punggung saya. "Hahaha, nggak, itu, maksud gue, mata lo bagus. Gue baru nyadar, hahaha." Saya tertawa salah tingkah.

"Makanya, jangan hape mulu dipantengin. Gue kek, sekali-kali. Tiga minggu udah tetanggan ama gue, baru nyadar sekarang lo, mata gue bagus." Saya tertawa.

Setengah jam kami habiskan dalam diam. Kusyuk menyantap bakso campur favorit saya. "Lo kalo lagi makan nggak bawel, ya." Komentarnya tiba-tiba, saat saya asyik membelah dua bakso terakhir di mangkuk saya. "Hehehehe. Biar lebih fokus aja, Bang." Tidak hanya 'kakak', dia juga benci saya panggil 'Abang'. Dia memicingkan mata kesal. "Lo kapan deh mau berhenti manggil gue kakak, atau abang. Panggil nama aja, lah."

"Iyeee.." Jawab saya acuh.

Selesai makan, kami kembali ke dalam kantor, hujan mulai berhenti, "Lo nggak langsung pulang?"

Saya menggeleng. "Belum mau pulang.."

"Betah bener di kantor lo. Nungguin siapa sih?" Tanyanya ingin tahu.

"Nunggu ujan." Saya menjawab asal. Pria di sebelah saya diam saja. Mungkin lelah untuk bertanya. Mungkin di benaknya, saya ini orang aneh. Tapi saya tidak terlalu peduli. Putra kembali menyita perhatian saya.

"Jangan terlalu sama yang udah jauh. Nanti capek sendiri." Kata pria di samping saya. Raut mukanya serius. Saya tersenyum ditegur begitu. Lebih banyak benarnya dan kalau saya mau jujur. Tapi Putra tidak pernah jauh. Dia selalu di benak saya, di setengah bagian hati saya. Dia selalu ada dalam pertimbangan saya mengambil keputusan. Dia selalu ada dalam kata tidak yang saya ucapkan dengan tidak enak hati pada mereka yang mencoba mengisi setengah hati milik saya. Dia ada dalam bimbang saat ada ajakan pertemuan dalam pesan singkatnya.

"Gue pulang dulu, ya." Saya mendongak dari meja kubikel saya, melihat pria itu melongok ke dalam kubikel.

"Dah, Gilang.."

Pria itu tersenyum mendengar namanya dipanggil, memperlihatkan lesung pipitnya yang selama ini tersembunyi saking jarangnya ia tersenyum.

"Seneng lo?" Goda saya.

Dia tergelak sambil melambaikan tangan.

***

Saya secara tidak sadar mencari namanya di deretan nomor telepon favorit saya. Namanya disana. Bertengger tanpa rasa bersalah. Saya menekan tombol 'call', lalu nada dering yang mengganggu ini jadi jembatan harapan saya.

"Hmm.." Katanya ketus di ujung telepon sana.

"Aku mau ke Bandung."


No comments:

Post a Comment