Semesta terlalu menyukai keadaan saat kita
bersama tapi tak saling berbagi cerita.
Semesta terlalu menyayangkan perginya kamu
mencari ilmu jauh ke negeri orang dan membuatku memilih Layla.
Semesta benci
kita jauh, tapi tidak membiarkan kita jadi satu utuh.
Dan sekarang dengan segala trik mistisnya,
Semesta menarik tali merah milik kita berdua dan mengikatnya kuat. Entah apa
aku bisa lepas dari ikatanmu, Semesta.
“Arimbi ini berbakat banget loh, Dit. Rajin
lagi..” Layla, untuk kesekian kalinya, memuji Arimbi. Perempuan di depanku
tersipu. Hari ini, tidak ada lagi kaca mata bundar miliknya. Tidak ada lagi
kawat memagari giginya. Tapi lugu itu masih ada. Masih disana. Dia masih
Arimbiku..
“Adit kerja dimana, La?” Arimbi menatapku. Aku
tak perlu lagi mencari binar matanya seperti dulu, karena binar itu sekarang
menatapku.
“General Manager di Tobuki Corp. Bagian
marketing..” Layla menjawab, mewakiliku.
Dan setelah pertanyaan itu, kami bertiga diam,
menikmati makan siangku yang entah kenapa, terasa hambar.
Di tengah makan siang, “Kamu disini aja, Ri,
temenin Adit makan. Aku harus ketemu klien.”
“Aku anter, La. Aku udah selesai kok.” Layla
tersenyum. Senyum “tidak apa-apa” milik Layla selalu menarikku kembali ke dunia
nyata, ke duniaku tanpa Arimbi.
“Aku sama Pak Man, kok, Dit. I am fine.” Layla menuju pintu keluar
sambil memegang gagang telepon.
Hei
Semesta, apakah ini juga rencanamu?
5 menit masih tidak ada percakapan, aku
menyerah.
Cukup
Semesta, kamu keterlaluan. Untuk apa kamu membuat aku dan dia duduk berdua
tanpa bicara?
No comments:
Post a Comment