Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Thursday, May 14, 2015

Nostalgi Terakhir

Baca dulu: Prioritas (2)


Andra menggeleng-geleng sambil membaca cerita fiksi di tangannya. "Gila. Ini semua tentang lo?"

Saya diam saja, tidak menjawab.

"Untuk Putra dan semua kenangan yang terpatri di dalam alam bawah sadar saya, terima kasih." Saya melihat Andra membaca halaman paling depan, sebelum penulis membubuhkan paragraf pembukaannya.

"Anjrit, ada nama lo juga di bukunya."

"Yang namanya Putra kan banyak, Dra."

"Yang mantannya Laras Sarasvati bisa diitung kali." Cetus Andra mematahkan teori-teori asal milik saya. Tanpa diperjelas siapa-siapa, saya pun tahu buku kumpulan setebal 300 halaman itu untuk saya. Bukan gede rasa, tapi ada lebih dari satu momen saat kami masih seiya sekata yang sengaja Laras tambahkan di dalam bukunya. Membuat saya tersenyum sendiri saat membacanya, tapi yang saya rasakan sisanya adalah gigitan semut. Ngilunya sebentar. Tapi berbekas.

Saya selalu berpikir Laras menghukum saya dengan membuat cerita tentang kami. Saya selalu berpikir itu cara Laras untuk membuat saya merasakan apa yang selalu ia rasakan.


***

"Put, ada yang ninggalin pesan tuh." Kata Tari, rekan kerja satu kantor saya yang kebetulan duduk di seberang saya. "Oh, dari siapa Tar?"

"Nggak tau, cewek sih, nggak bilang siapa namanya."

Saya tercenung. Buru-buru saya menekan nomor telepon di kertas post it kuning yang sengaja ditinggalkan Tari menempel di komputer saya. 

"Halo, dengan Laras."

Saya terdiam. Lidah saya tidak bisa diajak bekerja sama. 

Tepat seperti setahun lalu saat Laras dan saya menjadi dekat setelah Laras putus dengan teman sekantornya. 

"Put, kamu mau nggak, kalau kita ngulang lagi dari awal?"

Saya ingat binar matanya. Saya ingat nada bicaranya yang takut-takut. Saya ingat saya tidak merasakan hal yang sama. 

"Maksudnya kayak dulu?" Saya bertanya, mengulur waktu entah buat apa.

Laras mengangguk.

"Aku....nggak bisa, Ras."

Hening panjang sampai Laras bilang, "Kenapa?"

"Aku nggak ngerasain hal yang sama." Sebetulnya saya tidak pernah benar-benar tahu apa yang saya rasakan. 

"Oh...gitu." 

Saya sadar dari lamunan saya saat di ujung telepon Laras menjawab, "Ini Putra, ya?"

"Iya, Ras. Kamu...kenapa telepon?"

"Aku mau ngirim kado, mau aku kirim ke rumah atau kosan?"

Setahun tanpa bicara, tanpa ucapan selamat hari raya, ataupun ucapan selamat ulang tahun, tiba-tiba dia muncul lagi tanpa ba-bi-bu. Tanpa aba-aba membiarkan saya jatuh berdebum. 

"Nggak usah repot-repot, Ras." Jawab saya, mencoba menolak kotak pandora dari Laras.

"Nggak repot, kok. Jadi dikirim kemana?"

"Ke kosan aja. Makasih, Ras" Setelah memberikan alamat lengkap kosan, saya was-was. 

Tiga hari kemudian, paket dari Laras datang. Terbungkus plastik dan kertas cokelat, saya buka dan menemukan kartu ucapan selamat. Tulisannya: "Selamat ulang taun, Putra. Sukses selalu."

Buku berwarna hijau zamrud itu dibungkus rapi. Ada pita warna putih di ujungnya. NOSTALGI SEROTONIN karya LARAS SARASVATI tertulis di cover-nya.

Sejenak ada rasa bangga membuat reaksi kupu-kupu terbang di dalam perut. Ada rasa hangat yang mengalir menuju jantung saya, membuat saya tidak sabar membaca buku karya Laras.

Tapi rasa penasaran itu tercekat rasa bersalah saat di halaman selanjutnya ada nama saya disana. Di-cetak menjadi ribuan kopi dan dibaca banyak orang. 

Untuk Putra dan semua kenangan yang terpatri di dalam alam bawah sadar saya, terima kasih.

Berlembar-lembar saya baca buku itu. Rasa bersalah itu semakin menumpuk. Saya tidak pernah betul-betul tahu apa yang Laras rasakan, sampai sekarang. Sampai rasa sedih itu dideskripsikan jelas di dalam bukunya. Sampai sakit yang tidak pernah ia tunjukkan terlihat jelas dalam kalimat di bukunya.  

Bahkan ia menuliskan ketidaksukaan saya pada cokelat. Saya juga tersenyum saat di beberapa halaman dia menyebutkan nama-nama kucing peliharaan saya. 

Satu cerita yang secara psikis menampar saya. Judulnya Mantan. 

Hei kamu,
adakah aku dalam benakmu? Setidaknya saat malam ulang tahunku? Atau mungkin saat tahun baru, karena tanggalnya tidak berbeda. 

Rasa penasaran itu membuncah dan berakhir dengan saya bertemu dengannya untuk makan siang. 

"Aku udah baca buku kamu." Kata saya memulai pembicaraan siang itu.

Laras tersenyum. "Suka?"

"Menohok, Ras." Dia tergelak mendengar respon saya. Mau tidak mau saya tersenyum. Senang melihatnya tidak sesedih buku karangannya. 

"Putra, jangan terlalu dianggap serius, ya." Tapi binar matanya berkata lain. Binarnya mengekspresikan luka yang tidak pernah sembuh. Dan caranya menutupi semua luka itu terlalu menyakitkan untuk disaksikan. 

"Maaf untuk semuanya ya, Ras."

Laras tersenyum. "Saya nggak apa-apa." Tapi yang saya dengar malah kebalikannya. 

"Saya nggak pernah dendam atau benci sama kamu, Put."

"Tapi, kamu emang nggak pernah ngerti sesayang apa saya sama kamu."

"Dan, saya maklum. Saya nggak berharap kamu untuk mengerti, karena kadang cukup buat saya untuk tahu saya masih waras buat nulis buku tentang cinta saya ke kamu." Kata Laras sambil tersenyum kecil.

"Saya sayang sama kamu."

Untuk sekali ini, saya melihat sisi Laras yang lain. Yang tidak pernah ia tunjukkan kepada saya. Untuk sekali ini, rasanya nyata. Bukan lagi angan-angan. Untuk sekali ini, kupu-kupu di perut saya terbang tiba-tiba. Untuk sekali lagi, saya jatuh cinta. 

Saya menggamit tangan Laras, lalu tersenyum. "Saya juga sayang sama kamu."
















 

 


No comments:

Post a Comment