Baca dulu: DindingSetebal 3 Inchi
“Enak nggak cwie
mienya?” Saya bertanya sesaat setelah mematikan mesin motor di depan kosannya.
Saya bisa melihatnya tersenyum. “Kapan – kapan lagi, ya.” Dia mengangkat
bahunya, memberikan saya jawaban ambigu. “Nggak pake futsal dulu, tapi.”
Katanya memberi syarat. Saya tergelak. “Hahaha, kenapa emang?”
“Lo bau.”
Saya tertawa
lepas, lalu mengangguk setuju. “Yawes, pulang dulu ya. Mau mandi.” Saya pamit
pulang. “Ati – ati ya.”
Keesokan harinya
saya berpapasan dengan dia di kantin sekolah. Tidak ada alasan jelas kenapa
saya dan dia tidak tersenyum kepada satu sama lain, hanya melihat dengan ekor
mata kami berdua dan terus berjalan. Dia dan teman – temannya duduk berjarak
satu meja dengan saya dan Ata, karib asli Blitar sudah saya anggap saudara
sendiri yang kebetulan kemarin melihat saya tidak pulang sendiri. “Iku arek
yang kemaren mbek kon a?” Tanya Ata sambil melihat ke arah kanan. Saya
mengangguk. “Namanya siapa, Ki?”
Hening. Sampai
sekarang saya tidak tahu namanya. Sampai sekarang di pikiran saya dia adalah
adik kelas pindahan dari Jakarta. Sampai sekarang yang saya tahu dia suka
indomie goreng Bu Sum, benci bau keringat dan doyan cwie mie. Namanya masih
menjadi misteri buat saya.
“Belom nanya.” Ata
melongo. Cukup besar untuk memasukan kepalan tangan ke dalamnya. “Lah, seriusan
kamu belom tau namanya?” “Hahaha iya entar deh.”
Saya kembali
melirik mejanya tepat saat dia juga melihat ke arah saya. Dia menyunggingkan
senyum pada saya. Butuh 0.5 detik untuk membalas senyumnya. Bukan hanya rasa
hangat yang tiba – tiba berkumpul di pipi saya, tapi juga ada dua atau tiga
kupu – kupu terbang di dalam perut saya.
Saya mencegatnya
saat dia melewati meja saya. Dia tidak begitu terkejut melihat saya melambaikan
tangan ke arahnya. “Nanti jadi makan cwie mie lagi?” Saya bertanya padanya. Saya
bisa melihatnya tersenyum kikuk sambil bergantian melihat kedua temannya. “Oh,
jadi?”
“Iya lah. Nanti
kelas terakhir dimana?”
“Di gedung baru,
atasnya kantin.” Saya bisa melihat dia mengalihkan pandangan ke Ata yang tampak
tidak bisa berhenti senyum – senyum sendiri untuk membuat saya salah tingkah.
***
“Cwie mie-nya di
daerah mana emang?”
“Di daerah
soe-hat, kenapa?” Kami berdua berjalan menyusuri lapangan parker motor di
belakang kantin, dimana saya biasa memarkir motor saya disana. “Wah bawa helm
buat gue juga? Thoughtful.” Sahutnya
sambil mengambil salah satu helm saya. Saya cuman bisa nyengir. Bisa dibilang
saya bukan penerima pujian yang baik. Saya terlalu kikuk untuk mengucapkan
terima kasih. Selalu kelihatan berlebihan dan dibuat – dibuat (sedihnya).
Sesampainya di
warung cwie mie yang kelihatan lebih seperti rumah cwie mie dengan tenda 2x2
meter menaungi meja – meja di halaman rumah itu.
Saya membiarkan
diri memesankan cwie mie untuknya seperti saat di kantin dengan mie goreng Bu
Sum.
“Enak nggak?” Saya
menunggu komentarnya tak kunjung dia lontarkan. Tak lama dia mengangguk.
“Banget.”
“Eki!” Saya
mendengar suara familiar dari pagar warung cwie mie itu. Saya langsung
mengenalinya. Namanya Gamal. “Eh apa kabar?” Tanya Gamal sambil melirik teman
makan saya siang ini. “Baik, baik.”
“Halo, Gamal.”
Sahut Gamal memperkenalkan diri pada perempuan tanpa nama di samping saya.
Hanya butuh 2.5 detik untuk mengalihkan jabat tangan dari saya.
“Nara.” Kata
perempuan yang namanya sampai sebelum Gamal datang saya sendiri bahkan tidak
tahu. Nara.
“Pacarmu tah?”
Gamal kembali melihat saya. Nara buru-buru menggeleng yang agak membuat saya
sakit hati. Saya ikut menggeleng, pasrah.
“Bukan, dia anak
pindahan dari Jakarta. Cuma ngajak jalan – jalan aja.”
“Oh dari Jakarta
toh. Sama kayak Eki dong. Aku gabung kalian, ya.” Katanya sambil dengan
nyamannya menarik kursi ke samping Nara.
“Kenapa ke
Malang?” Tanya Gamal. Sekarang perhatiannya tertuju pada Nara, bukan ide makan
cwie mie.
15 Menit kemudian,
masih tanpa cwie mie Gamal asyik menceritakan tentang pengalamannya melihat
safari malam di Bali sampai nyaris kehilangan kuping kanannya karena monyet
liar di Ubud. Dan Nara tertawa mendengarnya.
“Anak Malang?”
Gamal menggeleng.
“Blitar, pindah ke Malang buat beasiswa Sampoerna.”
“Oh ya! Seragamnya.
Pantes kayak pernah liat dimana gitu.”
Gamal nyengir.
“Nggak jadi makan cwie mie?” Saya akhirnya bertanya, memecah bonding time di antara mereka.
“Ohiya! Tadi
padahal cuma mau bungkus doang, makan disini aja kali ya.” Ide buruk. Saya
berbisik pada diri saya sendiri.
“Iya, boleh.” Kata
Nara menambahkan. Gamal tersenyum menanggapi persetujuan Nara.
“Eki ini jago
banget main futsal loh. Udah pernah liat dia main futsal belom?”
“Pernah sekali.
Nggak terlalu ngerti juga sih aturan mainnya. Hehe.”
“Kalo basket? Aku
main basket.”
“Sama nggak
ngertinya.”
“Kapan – kapan aku
ajakin pas SMA-ku main deh.”
“Iya pas DBL aja.”
“Boleh boleh. Ki,
kamu ikut juga! Seru kan punya groupie.” Jawab Gamal semangat. Lupa kalau
disini ada yang bersusah payah untuk hanya tahu namanya.
Hmm.
***
“Kenal Gamal
dimana, Ki?” Tanya Nara sesaat setelah melepas helmnya. “Dia main futsal juga
sama temen-temennya. Pas ketemu lagi di konvensi IPA tahun lalu jadi temen
deh.” Jawab saya acuh.
“Anaknya seru, ya.” Nara memberikan komentar pertamanya tentang Gamal.
Dan saya tidak
bisa menahan diri saya sendiri untuk bilang, “Kalau kamu mau aku bisa ngasih
nomernya.”
Nara terkekeh. “Masa
gue duluan yang nge-chat duluan?”
Sulit untuk diakui
tapi saya tahu kemana arah pembicaraan ini. Dan saya tahu, mengira-ngira apa yang
akan terjadi bukan hal yang baik. Tapi apa yang perlu dikira-kira dengan
pembicaraan seperti ini.
Saya mengeluarkan ponsel
saya dan memberikan nomor Gamal pada Nara. Saya tahu ini akhirnya tapi saya
kalah telak disini.
“Gue nggak minta
loh.”
“Gue adalah tipe
temen yang baik, Nara.”
Nara tersenyum. “Makasih
loh, ya. Kalau lo lagi naksir cewek, bilang aja sama gue. Entar gue bantuin.”
Katanya mengisyaratkan saya punya piutang budi padanya.
Satu – satunya bantuan
yang saya butuhkan sekarang adalah untuk mengulang waktu dan tidak mengajak
Nara makan cwie mie hari ini. Ke tempat makan lain tanpa Gamal.
“Ah, lo nggak
bakal bisa ngebantu gue.”
Nara mengernyit
bingung.
“Pamit ya. Dah..”
Saya menyalakan motor saya dan melaju pergi.
No comments:
Post a Comment