Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Thursday, May 28, 2015

Cwie Mie Rasa Sakit Hati


“Enak nggak cwie mienya?” Saya bertanya sesaat setelah mematikan mesin motor di depan kosannya. Saya bisa melihatnya tersenyum. “Kapan – kapan lagi, ya.” Dia mengangkat bahunya, memberikan saya jawaban ambigu. “Nggak pake futsal dulu, tapi.” Katanya memberi syarat. Saya tergelak. “Hahaha, kenapa emang?”

“Lo bau.”

Saya tertawa lepas, lalu mengangguk setuju. “Yawes, pulang dulu ya. Mau mandi.” Saya pamit pulang. “Ati – ati ya.”

Keesokan harinya saya berpapasan dengan dia di kantin sekolah. Tidak ada alasan jelas kenapa saya dan dia tidak tersenyum kepada satu sama lain, hanya melihat dengan ekor mata kami berdua dan terus berjalan. Dia dan teman – temannya duduk berjarak satu meja dengan saya dan Ata, karib asli Blitar sudah saya anggap saudara sendiri yang kebetulan kemarin melihat saya tidak pulang sendiri. “Iku arek yang kemaren mbek kon a?” Tanya Ata sambil melihat ke arah kanan. Saya mengangguk. “Namanya siapa, Ki?”

Hening. Sampai sekarang saya tidak tahu namanya. Sampai sekarang di pikiran saya dia adalah adik kelas pindahan dari Jakarta. Sampai sekarang yang saya tahu dia suka indomie goreng Bu Sum, benci bau keringat dan doyan cwie mie. Namanya masih menjadi misteri buat saya.

“Belom nanya.” Ata melongo. Cukup besar untuk memasukan kepalan tangan ke dalamnya. “Lah, seriusan kamu belom tau namanya?” “Hahaha iya entar deh.”

Saya kembali melirik mejanya tepat saat dia juga melihat ke arah saya. Dia menyunggingkan senyum pada saya. Butuh 0.5 detik untuk membalas senyumnya. Bukan hanya rasa hangat yang tiba – tiba berkumpul di pipi saya, tapi juga ada dua atau tiga kupu – kupu terbang di dalam perut saya.

Saya mencegatnya saat dia melewati meja saya. Dia tidak begitu terkejut melihat saya melambaikan tangan ke arahnya. “Nanti jadi makan cwie mie lagi?” Saya bertanya padanya. Saya bisa melihatnya tersenyum kikuk sambil bergantian melihat kedua temannya. “Oh, jadi?”

“Iya lah. Nanti kelas terakhir dimana?”

“Di gedung baru, atasnya kantin.” Saya bisa melihat dia mengalihkan pandangan ke Ata yang tampak tidak bisa berhenti senyum – senyum sendiri untuk membuat saya salah tingkah.

***

“Cwie mie-nya di daerah mana emang?”

“Di daerah soe-hat, kenapa?” Kami berdua berjalan menyusuri lapangan parker motor di belakang kantin, dimana saya biasa memarkir motor saya disana. “Wah bawa helm buat gue juga? Thoughtful.” Sahutnya sambil mengambil salah satu helm saya. Saya cuman bisa nyengir. Bisa dibilang saya bukan penerima pujian yang baik. Saya terlalu kikuk untuk mengucapkan terima kasih. Selalu kelihatan berlebihan dan dibuat – dibuat (sedihnya).

Sesampainya di warung cwie mie yang kelihatan lebih seperti rumah cwie mie dengan tenda 2x2 meter menaungi meja – meja di halaman rumah itu.

Saya membiarkan diri memesankan cwie mie untuknya seperti saat di kantin dengan mie goreng Bu Sum.

“Enak nggak?” Saya menunggu komentarnya tak kunjung dia lontarkan. Tak lama dia mengangguk. “Banget.”

“Eki!” Saya mendengar suara familiar dari pagar warung cwie mie itu. Saya langsung mengenalinya. Namanya Gamal. “Eh apa kabar?” Tanya Gamal sambil melirik teman makan saya siang ini. “Baik, baik.”

“Halo, Gamal.” Sahut Gamal memperkenalkan diri pada perempuan tanpa nama di samping saya. Hanya butuh 2.5 detik untuk mengalihkan jabat tangan dari saya.

“Nara.” Kata perempuan yang namanya sampai sebelum Gamal datang saya sendiri bahkan tidak tahu. Nara.

“Pacarmu tah?” Gamal kembali melihat saya. Nara buru-buru menggeleng yang agak membuat saya sakit hati. Saya ikut menggeleng, pasrah.

“Bukan, dia anak pindahan dari Jakarta. Cuma ngajak jalan – jalan aja.”

“Oh dari Jakarta toh. Sama kayak Eki dong. Aku gabung kalian, ya.” Katanya sambil dengan nyamannya menarik kursi ke samping Nara.

“Kenapa ke Malang?” Tanya Gamal. Sekarang perhatiannya tertuju pada Nara, bukan ide makan cwie mie.

15 Menit kemudian, masih tanpa cwie mie Gamal asyik menceritakan tentang pengalamannya melihat safari malam di Bali sampai nyaris kehilangan kuping kanannya karena monyet liar di Ubud. Dan Nara tertawa mendengarnya.

“Anak Malang?”

Gamal menggeleng. “Blitar, pindah ke Malang buat beasiswa Sampoerna.”

“Oh ya! Seragamnya. Pantes kayak pernah liat dimana gitu.”

Gamal nyengir. “Nggak jadi makan cwie mie?” Saya akhirnya bertanya, memecah bonding time di antara mereka.

“Ohiya! Tadi padahal cuma mau bungkus doang, makan disini aja kali ya.” Ide buruk. Saya berbisik pada diri saya sendiri.

“Iya, boleh.” Kata Nara menambahkan. Gamal tersenyum menanggapi persetujuan Nara.

“Eki ini jago banget main futsal loh. Udah pernah liat dia main futsal belom?”

“Pernah sekali. Nggak terlalu ngerti juga sih aturan mainnya. Hehe.”

“Kalo basket? Aku main basket.”

“Sama nggak ngertinya.”

“Kapan – kapan aku ajakin pas SMA-ku main deh.”

“Iya pas DBL aja.”

“Boleh boleh. Ki, kamu ikut juga! Seru kan punya groupie.” Jawab Gamal semangat. Lupa kalau disini ada yang bersusah payah untuk hanya tahu namanya.

Hmm.

***
“Kenal Gamal dimana, Ki?” Tanya Nara sesaat setelah melepas helmnya. “Dia main futsal juga sama temen-temennya. Pas ketemu lagi di konvensi IPA tahun lalu jadi temen deh.” Jawab saya acuh.

“Anaknya seru, ya.” Nara memberikan komentar pertamanya tentang Gamal.

Dan saya tidak bisa menahan diri saya sendiri untuk bilang, “Kalau kamu mau aku bisa ngasih nomernya.”

Nara terkekeh. “Masa gue duluan yang nge-chat duluan?”

Sulit untuk diakui tapi saya tahu kemana arah pembicaraan ini. Dan saya tahu, mengira-ngira apa yang akan terjadi bukan hal yang baik. Tapi apa yang perlu dikira-kira dengan pembicaraan seperti ini.

Saya mengeluarkan ponsel saya dan memberikan nomor Gamal pada Nara. Saya tahu ini akhirnya tapi saya kalah telak disini.

“Gue nggak minta loh.”

“Gue adalah tipe temen yang baik, Nara.”

Nara tersenyum. “Makasih loh, ya. Kalau lo lagi naksir cewek, bilang aja sama gue. Entar gue bantuin.” Katanya mengisyaratkan saya punya piutang budi padanya.

Satu – satunya bantuan yang saya butuhkan sekarang adalah untuk mengulang waktu dan tidak mengajak Nara makan cwie mie hari ini. Ke tempat makan lain tanpa Gamal.

“Ah, lo nggak bakal bisa ngebantu gue.”

Nara mengernyit bingung.

“Pamit ya. Dah..” Saya menyalakan motor saya dan melaju pergi.



No comments:

Post a Comment