Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Thursday, May 28, 2015

Cwie Mie Rasa Sakit Hati


“Enak nggak cwie mienya?” Saya bertanya sesaat setelah mematikan mesin motor di depan kosannya. Saya bisa melihatnya tersenyum. “Kapan – kapan lagi, ya.” Dia mengangkat bahunya, memberikan saya jawaban ambigu. “Nggak pake futsal dulu, tapi.” Katanya memberi syarat. Saya tergelak. “Hahaha, kenapa emang?”

“Lo bau.”

Saya tertawa lepas, lalu mengangguk setuju. “Yawes, pulang dulu ya. Mau mandi.” Saya pamit pulang. “Ati – ati ya.”

Keesokan harinya saya berpapasan dengan dia di kantin sekolah. Tidak ada alasan jelas kenapa saya dan dia tidak tersenyum kepada satu sama lain, hanya melihat dengan ekor mata kami berdua dan terus berjalan. Dia dan teman – temannya duduk berjarak satu meja dengan saya dan Ata, karib asli Blitar sudah saya anggap saudara sendiri yang kebetulan kemarin melihat saya tidak pulang sendiri. “Iku arek yang kemaren mbek kon a?” Tanya Ata sambil melihat ke arah kanan. Saya mengangguk. “Namanya siapa, Ki?”

Hening. Sampai sekarang saya tidak tahu namanya. Sampai sekarang di pikiran saya dia adalah adik kelas pindahan dari Jakarta. Sampai sekarang yang saya tahu dia suka indomie goreng Bu Sum, benci bau keringat dan doyan cwie mie. Namanya masih menjadi misteri buat saya.

“Belom nanya.” Ata melongo. Cukup besar untuk memasukan kepalan tangan ke dalamnya. “Lah, seriusan kamu belom tau namanya?” “Hahaha iya entar deh.”

Saya kembali melirik mejanya tepat saat dia juga melihat ke arah saya. Dia menyunggingkan senyum pada saya. Butuh 0.5 detik untuk membalas senyumnya. Bukan hanya rasa hangat yang tiba – tiba berkumpul di pipi saya, tapi juga ada dua atau tiga kupu – kupu terbang di dalam perut saya.

Saya mencegatnya saat dia melewati meja saya. Dia tidak begitu terkejut melihat saya melambaikan tangan ke arahnya. “Nanti jadi makan cwie mie lagi?” Saya bertanya padanya. Saya bisa melihatnya tersenyum kikuk sambil bergantian melihat kedua temannya. “Oh, jadi?”

“Iya lah. Nanti kelas terakhir dimana?”

“Di gedung baru, atasnya kantin.” Saya bisa melihat dia mengalihkan pandangan ke Ata yang tampak tidak bisa berhenti senyum – senyum sendiri untuk membuat saya salah tingkah.

***

“Cwie mie-nya di daerah mana emang?”

“Di daerah soe-hat, kenapa?” Kami berdua berjalan menyusuri lapangan parker motor di belakang kantin, dimana saya biasa memarkir motor saya disana. “Wah bawa helm buat gue juga? Thoughtful.” Sahutnya sambil mengambil salah satu helm saya. Saya cuman bisa nyengir. Bisa dibilang saya bukan penerima pujian yang baik. Saya terlalu kikuk untuk mengucapkan terima kasih. Selalu kelihatan berlebihan dan dibuat – dibuat (sedihnya).

Sesampainya di warung cwie mie yang kelihatan lebih seperti rumah cwie mie dengan tenda 2x2 meter menaungi meja – meja di halaman rumah itu.

Saya membiarkan diri memesankan cwie mie untuknya seperti saat di kantin dengan mie goreng Bu Sum.

“Enak nggak?” Saya menunggu komentarnya tak kunjung dia lontarkan. Tak lama dia mengangguk. “Banget.”

“Eki!” Saya mendengar suara familiar dari pagar warung cwie mie itu. Saya langsung mengenalinya. Namanya Gamal. “Eh apa kabar?” Tanya Gamal sambil melirik teman makan saya siang ini. “Baik, baik.”

“Halo, Gamal.” Sahut Gamal memperkenalkan diri pada perempuan tanpa nama di samping saya. Hanya butuh 2.5 detik untuk mengalihkan jabat tangan dari saya.

“Nara.” Kata perempuan yang namanya sampai sebelum Gamal datang saya sendiri bahkan tidak tahu. Nara.

“Pacarmu tah?” Gamal kembali melihat saya. Nara buru-buru menggeleng yang agak membuat saya sakit hati. Saya ikut menggeleng, pasrah.

“Bukan, dia anak pindahan dari Jakarta. Cuma ngajak jalan – jalan aja.”

“Oh dari Jakarta toh. Sama kayak Eki dong. Aku gabung kalian, ya.” Katanya sambil dengan nyamannya menarik kursi ke samping Nara.

“Kenapa ke Malang?” Tanya Gamal. Sekarang perhatiannya tertuju pada Nara, bukan ide makan cwie mie.

15 Menit kemudian, masih tanpa cwie mie Gamal asyik menceritakan tentang pengalamannya melihat safari malam di Bali sampai nyaris kehilangan kuping kanannya karena monyet liar di Ubud. Dan Nara tertawa mendengarnya.

“Anak Malang?”

Gamal menggeleng. “Blitar, pindah ke Malang buat beasiswa Sampoerna.”

“Oh ya! Seragamnya. Pantes kayak pernah liat dimana gitu.”

Gamal nyengir. “Nggak jadi makan cwie mie?” Saya akhirnya bertanya, memecah bonding time di antara mereka.

“Ohiya! Tadi padahal cuma mau bungkus doang, makan disini aja kali ya.” Ide buruk. Saya berbisik pada diri saya sendiri.

“Iya, boleh.” Kata Nara menambahkan. Gamal tersenyum menanggapi persetujuan Nara.

“Eki ini jago banget main futsal loh. Udah pernah liat dia main futsal belom?”

“Pernah sekali. Nggak terlalu ngerti juga sih aturan mainnya. Hehe.”

“Kalo basket? Aku main basket.”

“Sama nggak ngertinya.”

“Kapan – kapan aku ajakin pas SMA-ku main deh.”

“Iya pas DBL aja.”

“Boleh boleh. Ki, kamu ikut juga! Seru kan punya groupie.” Jawab Gamal semangat. Lupa kalau disini ada yang bersusah payah untuk hanya tahu namanya.

Hmm.

***
“Kenal Gamal dimana, Ki?” Tanya Nara sesaat setelah melepas helmnya. “Dia main futsal juga sama temen-temennya. Pas ketemu lagi di konvensi IPA tahun lalu jadi temen deh.” Jawab saya acuh.

“Anaknya seru, ya.” Nara memberikan komentar pertamanya tentang Gamal.

Dan saya tidak bisa menahan diri saya sendiri untuk bilang, “Kalau kamu mau aku bisa ngasih nomernya.”

Nara terkekeh. “Masa gue duluan yang nge-chat duluan?”

Sulit untuk diakui tapi saya tahu kemana arah pembicaraan ini. Dan saya tahu, mengira-ngira apa yang akan terjadi bukan hal yang baik. Tapi apa yang perlu dikira-kira dengan pembicaraan seperti ini.

Saya mengeluarkan ponsel saya dan memberikan nomor Gamal pada Nara. Saya tahu ini akhirnya tapi saya kalah telak disini.

“Gue nggak minta loh.”

“Gue adalah tipe temen yang baik, Nara.”

Nara tersenyum. “Makasih loh, ya. Kalau lo lagi naksir cewek, bilang aja sama gue. Entar gue bantuin.” Katanya mengisyaratkan saya punya piutang budi padanya.

Satu – satunya bantuan yang saya butuhkan sekarang adalah untuk mengulang waktu dan tidak mengajak Nara makan cwie mie hari ini. Ke tempat makan lain tanpa Gamal.

“Ah, lo nggak bakal bisa ngebantu gue.”

Nara mengernyit bingung.

“Pamit ya. Dah..” Saya menyalakan motor saya dan melaju pergi.



Saturday, May 23, 2015

Dinding Setebal Tiga Inchi

Malang, 2010 

“Belom pulang?” 

Aku yang sibuk membereskan stirofoam bekas di ruang mading menoleh ke asal suara. “Bentar lagi pulang.” Jawabku sambil melirik jam dinding bergambar sponsor salah satu kartu jaringan telepon dengan warna kuning terang. Aku mendengar langkahnya mendekat. 

“Mau aku bantuin nggak?” Aku buru-buru menjejalkan barang-barangku sendiri ke dalam tas selempang kumal lengseran abang-ku. 

“Aku duluan ya, Mas.” Tanpa menoleh ke belakang, aku mempercepat langkahku. Aku harap dia tidak punya ide untuk menyusul. Aku punya masalah membiasakan diri tinggal di Malang. Jadi anak pindahan tengah semester sama sekali tidak menyenangkan, karena kebanyakan murid-murid disini sudah membiasakan diri dengan satu sama lain, aku harus bersusah payah untuk beramah – tamah. Dan aku harus akui, itu bukan salah satu keahlianku. 

Susah mencari alasan untuk membenci kota ini karena sebenarnya tidak ada yang harus dibenci. Aku saja yang tidak mencoba betah. Orang – orangnya ramah, makanannya MURAH sekali, jarang sekali macet kecuali ada acara tahunan seperti Malang Tempoe Doeloe atau Arema menang (telak atau tipis tidak ada bedanya). 

Aku ingat hari itu klub sepakbola 'biru' asal Malang ini menang suatu pertandingan (aku tidak bisa ingat pertandingan yang mana karena dasarnya aku tidak pernah peduli), datang dengan konvoi dari Kanjuruhan, mereka melewati sekolahku. Bunyi klakson dan derum motor yang sengaja dibuat-buat menjadi suara latar aku belajar mata pelajaran matematika siang itu. Seperti bukan hal yang mengganggu, teman-teman sekelasku malah berlari keluar kelas dan melihat konvoinya. Maksudku, apa yang spesial dari konvoi motor selain buang-buang bensin? Plus, klub sepakbola mana yang akan mengganti bensin mereka? Jadi, apa untungnya? 

Yah, setidaknya aku menyadari ada satu hal yang tidak aku suka di Malang. 

“Kok buru-buru, sih?” Aku berbalik dan melihat dia sudah ada di belakangku. “Oh, lo bisa manggil gue ‘kak’ kok atau kalo perlu manggil nama aja, nggak perlu pake manggil Mas segala. Gue tinggal di Jakarta sampai dua tahun lalu.” Katanya nyengir. Logat memang tidak bisa bohong. Aku pernah mendengar orang dengan logat kental Jawa Timur berbincang-bincang dengan bahasa ‘lo-gue’. Lucu, sekaligus menyedihkan. 

“Oh, oke.” Kataku acuh. Sebagai pembelaan atas sikapku yang seakan tidak peduli adalah aku tidak suka orang asing yang tanpa angin tanpa hujan datang menyapaku. Itu tidak terjadi di dunia nyata. Ini orang pasti ada maunya. 

“Nama gue Eki. Lo barusan pindah kan ya?” Aku mengangguk. “Nama lo siapa?” Pertanyaan Eki sangat enggan aku jawab. Bukannya sok jual mahal atau tidak suka beramah-tamah tapi cowok bernama Eki ini tidak kelihatan legit. Aku yakin dia pedofil yang sukarela memakai seragam SMA-nya lagi, masuk ke sekolah-sekolah untuk menculik anak dibawah umur. Seperti sekarang. 

“Maaf, aku harus pulang.” 

“Oh, oke, nggak apa-apa. Besok masih ada waktu. Dah anak baru!” 

Aku menarik nafas lega. Akhirnya. 

KEESOKAN HARINYA

“Lo kangen gedung Pen ya?” Kata Eki keesokan harinya saat jam istirahat yang kedua. Sebelum bereaksi, Eki sudah duduk di sampingku. “Sori, apaan?”

Eki mengulang pertanyaannya. Aku mengernyit. “Itu loh gedung BNI 46.” Katanya gemas. Aku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. “Oh! Hahaha, nggak kok. Kangen Bunderan HI.”

Giliran dia yang tergelak dan memperlihatkan deretan giginya yang dipagar. “Udah nyoba mi gorengnya Bu Sum belom?” “Indomie maksud lo?” “Hahaha iya. Enak banget tau.” “Bukannya semua Indomie goreng sama aja ya?” “Wah, merendahkan itu namanya. Gue traktir deh. Bentar ya.” Sebelum aku bisa menolak, Eki sudah berjalan setengah lari ke arah counter Bu Sum.

Kantin di SMA ini bisa dibilang lumayan besar dengan lebih dari tiga counter berbeda, aku tidak kehabisan pilihan makanan tiap siang, walaupun lebih seperti antri sembako karena kurang lebih ada 1000 anak istirahat di jam yang sama. Harus aku ralat, kantin ini tidak cukup besar.

5 menit kemudian Eki datang dengan dua mangkok mie goreng dan dua gelas es teh manis. “Bon appetite!” Kata Eki semangat. “Merci.” Jawabku tidak mau kalah.

“Anjrit! Ini enak banget! Gue dari mana aja deh baru tau sekarang!” Aku histeris. Eki tersenyum puas. “Ini enak banget, woy!” Kataku tidak santai. “Akhirnya..”

“Akhirnya apa?” Tanyaku bingung. “Akhirnya lo senyum juga.” Katanya santai. “Gue kira lo pedofil, soalnya.” Eki terbatuk – batuk sesaat setelah aku menyelesaikan kalimatku. “Hah?!”

“Muka lo tua sih. Kayak bukan anak SMA aja.”

Eki tergelak. “Pantes aja kemaren lo takut-takut gitu ngeliat gue.”

“Eki!” Salah satu temannya memanggil. “Ya?”

Kon ikut main futsal ora?”

“Oh iya, sip!” Eki membuat gesture ‘ok’ dengan jarinya. “Lo mau ikut gue main futsal nggak?”

“Gue nggak bisa main futsal.” Aku menjawab asal. “Yeh, nggak usah ikutan main, ngeliatin gue main aja.”

“Lah, ngapain banget ngeliat lo main futsal.” “Habis itu gue ajakin makan cwie mie enak, deh.” Katanya membujukku dengan makanan. Aku yakin bukan cwie mie-nya atau bayangan dia berlari menggiring bola di lapangan futsal yang membuat aku mengangguk.

Dan aku bisa merasakan dinding kokoh itu retak. 

Friday, May 22, 2015

Late Night Thoughts on: being a passive aggressive person

This doesnt sound really good on me, because I personally hate being labeled as a passive-aggressive person. But I do have the symptoms and I didnt realize it until I am 21 years old. Can you imagine? I never understand why I am so complicated until now. I dont express my feelings easily and I always hold back to say something I really want to say. Introvert personality with passive aggressive behavior are not the best combination. I don’t think they are in my genes, but the way I have been growing up. I am not blaming anyone. I got in this situation by myself. Yet someone said child is a blank paper, better be careful when you write in it. 

I read the symptoms in one teenage magazine, and they also said that person with passive-aggressive behavior could be difficult because they don’t actually let people know what they’re actually feeling and they hope people understand. That’s why they are so moody and can be very irritating. In my age, it’s going to be hard to heal it or fix it, because it started a long time ago since I started to think that my opinions don’t matter and it will be a waste of time to hear opinions came from me. I stopped raising hands in class, hiding my opinions in back of my head. This behavior literally holds me back. And I hate it. I don’t usually stand up for myself because I hate conflict and arguments. That’s one of the symptoms.

I should stop discussing the symptoms and start telling you how to deal with it. In arguments I can’t avoid, I usually give GOOD reasons or proof to support my arguments. Or in a discussion, instead of keep listening without contributing anything, I start making project plans, browse on the Internet to support the plans and make myself useful. It was actually not really bad when I finally contributed to one of group project. Or being in the same group with friends you don’t see eye to eye, it’s wont be a big problem because good grades are the ones that matter. The moral value is stop holding yourself back because everyone is destined to be great. It’s not comforting at first but it helps. 

Monday, May 18, 2015

Late Night Thoughts: on How #single became a #trend

It’s a long title, I know right? I tried to come up with more catchy title, but I failed. So I have been thinking this since a very long time, but I was very distracted by everything and here I am. It’s probably nothing, and we all are okay with it, but sometimes when I am not in the mood of being very sad and stop making tear-dropping stories on my blog (check them here), I just started to think why this song is very sad. Or why is this movie so very dramatic? Or why are all good songs always have this twisted hurting lyric in it? And why am I doing this? I mean, I don’t judge or whatever and I don’t think I am not one of them who crave something sad to, you know, relate. Won’t you agree if every time someone broke our heart, there is always at least one song you can totally relate, and you end up listening to it until it somehow heals you? It’s comforting and that’s good for you. And I don’t blame you for that. That’s okay. That’s normal. And that’s how we are human.

Until, it was just too much. Too much cry, too much sad songs, too much sad stories. The more songs and stories I can relate, the harder I can let go.
And here in Indonesia, being heartbroken is actually has its own trend. Here we call it, ‘galau’. There is actually a song titled Galau and I was like ‘okay….’.        

Beside ‘galau’, it is actually kind of a big deal if you don’t have date on Saturday night or being single for a long time. They actually have one title for it they call them ‘jomblo ngenes’. Wow. And people start using hash-tag to talk about it and it gone viral. Everybody knows what ‘jomblo ngenes’ is. Yeay.

And on the other side, single people will busy defending themselves and say that they are single by choice. Well. Okay. Note that.

Here is the thing. In Indonesia, most people still worry about what other people might think of them, so they will obligatory try to impress everybody else buy getting a girlfriend or being very defensive about it.

Some colleagues of mine ever guessed how many years I have been single and they guessed six years. Wow, it’s a very long time, by the way. They were wrong, obviously. It’s not the point. The point is I barely even care. They can guess whatever they want, but I won’t look for a boyfriend because they told me so.

I believe there’s always the right time for everything. And it is already written for me. Naive? I know.   


Late Night Thoughts: on Norwegian Wood & Hateful Feeling

I just finished reading Norwegian Wood. I said, ‘New reading won’t do any harm’. Then I started to read it. Good perspective, I thought. I never read literature as ‘wounded’ as Norwegian Wood.

It’s not a simple kind of sad. It tore you apart until at some point you chose to take a breath and thank God you’re still alive. It was way too deep until I believe that was Mr. Murakami’s actual story. But he denied it, tho. Who am I telling you otherwise?

I had my difficulties to imagine the actual events and how everything could be that messed up, since I was never been to Japan, but the way he expressed himself through writing was moving. It took four deaths in one book to make me realize that I have this one life.

Well, I had no intention to waste it, like another person on my ask.fm told me otherwise. But thanks a lot to him/her who said to me that it saddened him/her to see me wasting my parents’ money and not having a decent job because he/she thinks having one little brand is not a decent job, and by doing that, I waste my parents’ money. I appreciate his/her concern. I do, but I wish he/she got more balls to say it in front of my face. It doesn’t come from random people. I understand this person knows me to not telling me in person and chose a hateful social media like ask.fm, and yet, not that well to understand that I will prove him/her wrong.

He/she seems very concern that I had wasted my parents’ money. He/she doesn’t need to worry about that, because I won’t.

If someday he/she realizes that calling me and my friends’ creations were ‘only online shop’ or he/she thinks Jakarta Fashion Week was nothing won’t make him/her be any better than me, than us, for that matter, he/she can always come clean and apologize. (Of course he/she will need bigger balls.)

Remember what I said about a society? You can’t please them all. Why bother giving love to someone who doesn’t want it in the first place?

Thursday, May 14, 2015

Nostalgi Terakhir

Baca dulu: Prioritas (2)


Andra menggeleng-geleng sambil membaca cerita fiksi di tangannya. "Gila. Ini semua tentang lo?"

Saya diam saja, tidak menjawab.

"Untuk Putra dan semua kenangan yang terpatri di dalam alam bawah sadar saya, terima kasih." Saya melihat Andra membaca halaman paling depan, sebelum penulis membubuhkan paragraf pembukaannya.

"Anjrit, ada nama lo juga di bukunya."

"Yang namanya Putra kan banyak, Dra."

"Yang mantannya Laras Sarasvati bisa diitung kali." Cetus Andra mematahkan teori-teori asal milik saya. Tanpa diperjelas siapa-siapa, saya pun tahu buku kumpulan setebal 300 halaman itu untuk saya. Bukan gede rasa, tapi ada lebih dari satu momen saat kami masih seiya sekata yang sengaja Laras tambahkan di dalam bukunya. Membuat saya tersenyum sendiri saat membacanya, tapi yang saya rasakan sisanya adalah gigitan semut. Ngilunya sebentar. Tapi berbekas.

Saya selalu berpikir Laras menghukum saya dengan membuat cerita tentang kami. Saya selalu berpikir itu cara Laras untuk membuat saya merasakan apa yang selalu ia rasakan.


***

"Put, ada yang ninggalin pesan tuh." Kata Tari, rekan kerja satu kantor saya yang kebetulan duduk di seberang saya. "Oh, dari siapa Tar?"

"Nggak tau, cewek sih, nggak bilang siapa namanya."

Saya tercenung. Buru-buru saya menekan nomor telepon di kertas post it kuning yang sengaja ditinggalkan Tari menempel di komputer saya. 

"Halo, dengan Laras."

Saya terdiam. Lidah saya tidak bisa diajak bekerja sama. 

Tepat seperti setahun lalu saat Laras dan saya menjadi dekat setelah Laras putus dengan teman sekantornya. 

"Put, kamu mau nggak, kalau kita ngulang lagi dari awal?"

Saya ingat binar matanya. Saya ingat nada bicaranya yang takut-takut. Saya ingat saya tidak merasakan hal yang sama. 

"Maksudnya kayak dulu?" Saya bertanya, mengulur waktu entah buat apa.

Laras mengangguk.

"Aku....nggak bisa, Ras."

Hening panjang sampai Laras bilang, "Kenapa?"

"Aku nggak ngerasain hal yang sama." Sebetulnya saya tidak pernah benar-benar tahu apa yang saya rasakan. 

"Oh...gitu." 

Saya sadar dari lamunan saya saat di ujung telepon Laras menjawab, "Ini Putra, ya?"

"Iya, Ras. Kamu...kenapa telepon?"

"Aku mau ngirim kado, mau aku kirim ke rumah atau kosan?"

Setahun tanpa bicara, tanpa ucapan selamat hari raya, ataupun ucapan selamat ulang tahun, tiba-tiba dia muncul lagi tanpa ba-bi-bu. Tanpa aba-aba membiarkan saya jatuh berdebum. 

"Nggak usah repot-repot, Ras." Jawab saya, mencoba menolak kotak pandora dari Laras.

"Nggak repot, kok. Jadi dikirim kemana?"

"Ke kosan aja. Makasih, Ras" Setelah memberikan alamat lengkap kosan, saya was-was. 

Tiga hari kemudian, paket dari Laras datang. Terbungkus plastik dan kertas cokelat, saya buka dan menemukan kartu ucapan selamat. Tulisannya: "Selamat ulang taun, Putra. Sukses selalu."

Buku berwarna hijau zamrud itu dibungkus rapi. Ada pita warna putih di ujungnya. NOSTALGI SEROTONIN karya LARAS SARASVATI tertulis di cover-nya.

Sejenak ada rasa bangga membuat reaksi kupu-kupu terbang di dalam perut. Ada rasa hangat yang mengalir menuju jantung saya, membuat saya tidak sabar membaca buku karya Laras.

Tapi rasa penasaran itu tercekat rasa bersalah saat di halaman selanjutnya ada nama saya disana. Di-cetak menjadi ribuan kopi dan dibaca banyak orang. 

Untuk Putra dan semua kenangan yang terpatri di dalam alam bawah sadar saya, terima kasih.

Berlembar-lembar saya baca buku itu. Rasa bersalah itu semakin menumpuk. Saya tidak pernah betul-betul tahu apa yang Laras rasakan, sampai sekarang. Sampai rasa sedih itu dideskripsikan jelas di dalam bukunya. Sampai sakit yang tidak pernah ia tunjukkan terlihat jelas dalam kalimat di bukunya.  

Bahkan ia menuliskan ketidaksukaan saya pada cokelat. Saya juga tersenyum saat di beberapa halaman dia menyebutkan nama-nama kucing peliharaan saya. 

Satu cerita yang secara psikis menampar saya. Judulnya Mantan. 

Hei kamu,
adakah aku dalam benakmu? Setidaknya saat malam ulang tahunku? Atau mungkin saat tahun baru, karena tanggalnya tidak berbeda. 

Rasa penasaran itu membuncah dan berakhir dengan saya bertemu dengannya untuk makan siang. 

"Aku udah baca buku kamu." Kata saya memulai pembicaraan siang itu.

Laras tersenyum. "Suka?"

"Menohok, Ras." Dia tergelak mendengar respon saya. Mau tidak mau saya tersenyum. Senang melihatnya tidak sesedih buku karangannya. 

"Putra, jangan terlalu dianggap serius, ya." Tapi binar matanya berkata lain. Binarnya mengekspresikan luka yang tidak pernah sembuh. Dan caranya menutupi semua luka itu terlalu menyakitkan untuk disaksikan. 

"Maaf untuk semuanya ya, Ras."

Laras tersenyum. "Saya nggak apa-apa." Tapi yang saya dengar malah kebalikannya. 

"Saya nggak pernah dendam atau benci sama kamu, Put."

"Tapi, kamu emang nggak pernah ngerti sesayang apa saya sama kamu."

"Dan, saya maklum. Saya nggak berharap kamu untuk mengerti, karena kadang cukup buat saya untuk tahu saya masih waras buat nulis buku tentang cinta saya ke kamu." Kata Laras sambil tersenyum kecil.

"Saya sayang sama kamu."

Untuk sekali ini, saya melihat sisi Laras yang lain. Yang tidak pernah ia tunjukkan kepada saya. Untuk sekali ini, rasanya nyata. Bukan lagi angan-angan. Untuk sekali ini, kupu-kupu di perut saya terbang tiba-tiba. Untuk sekali lagi, saya jatuh cinta. 

Saya menggamit tangan Laras, lalu tersenyum. "Saya juga sayang sama kamu."
















 

 


Thursday, May 7, 2015

(Not) So Late Night Post

It's been ages I don't write any post. I lost my laptop again, in technical way. My Macbook is broken and I don't think seven millions can save her either. So I am currently looking for new laptop basically. I honestly need something stronger than my Macbook (doesnt mean to be harsh, tho) but I dont know because Macbook can be very attractive despite the fact it's very fragile. Maybe it's because the exclusivity. But in the end, like Ellen DeGeneres said, you need a taco that can contain all the guacamole you want. I am thinking Vaio, tho. God, I will miss her so much. *cry*

Anyway, since I am currently unemployed, I manage to do anything during my 'free' time. I gained 6 kg for God's Sake. It was like a slap on the face. I am trying to lose it now.

I designs again. Generally, it's technical drawing. Oh, and Fitlosophy goes well. I am so thrilled, it's almost a year now. Imagine myself having an almost one year old baby girl. The struggle is real.

It's pretty much it.

.

.

The thing is... Ah, nevermind.