Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Saturday, December 20, 2014

It's All Paid Off

Hi guys, long time no see. Just read my previous short story, and it was so sad, wondering why i wrote such a story. It's devastating. Today I finished my study at Lasalle. Doesn't feel too much, you know what i mean. Not even relief. It's just weird. But 2 years went so fast, man! It was like yesterday i came to my college orientation day with dorky glasses and very very very ordinary white shirt and jeans. I was sooo nervous and I prayed the night before my orientation to had friends during my study. I usually feel anxious and awkward before attending schools. College didn't make it any different. And chose fashion school like Lasalle didn't make me less anxious and nervous and shy and awkward. Wasn't so excited attending the orientation day, i came anyway. It wasn't as hard as I thought before, but i was very awkward and friend-less. Lol. As you all know i chose Fashion Business as my major and got 1.1 among 3 classes. Tried to blend in awkwardly i kept telling myself that i was so lucky, because we didn't experience massive college drama I always avoid. So, we spent two years together with birthday tradition which i always look for, since everyone (most of everyone) would be there and there were also many sleepless nights to finish our assignments. Got cranky sometimes because i couldn't control myself, and found myself crying because it was just too much. Experienced my first fashion show by winning the tickets from kak Dian Aisyah (Founder of Nine12). Instead of getting two tickets, I got 4 instead. Thank you, kak! hehe.

Lost our assignments during Store Layout subject made me so sad, because I personally didn't enjoy that subject. I wonder how those interior design students could survive without attempting suicide. And I did thank God for letting me pass that subject. And i just can't forget i said yes to be finance manager in Enterprise project since I passed the subjects (Accounting, Budget Planning, and Finance) with very average scores. I wonder ever since. Enterprise project was our mountain of subjects from the first semester. We apparently needed them all to pass Enterprise project. And i couldn't ask for better partners. We were maybe not perfect and but we nailed it. We nailed enterprise project. Working on Fitlosophy was like taking care of our own flesh, you know. One-cute-yet-demanding baby. And i am telling you, it's paid off. Those sleepless nights, those cranky days, those nightmares, those anxious feelings i had, those doubtful thoughts, it's paid off.

To sum everything up, and for awkward girls out there (hoho) shit happens and life never wait for you, oh, and if you think you want to quit and get a husband, just wait a second because there is always pot full of golds at the end of the rainbow. For some people who try to lie to herself and not following her dreams, that's sad because you always have choices to do so. The last, you can never please the whole society. Choose the ones who matter, your life will be so much easier.

Pardon my not camera-able faces, everyone.

FITLOSOPHY BAES 

Press kit for Communication Mix Subject <3


Kucel :(

Let my simple designed skirt worn ;p

Ranee's birthday

Me awkwardly smile at Segarra for my 20th birthday



I found this pic so cute

Kak Diana :D

Photo-shoot for Fitlosophy

Fitlosophy being demanding

Camera Hoggers



Pre-JFW Moment

Christmas dinner with the girls <3

Amen. 

Sama The Label Photo shoot with Kak Putri! :D

At Indonesia Fashion Week 2013













Monday, December 8, 2014

Prioritas (1)

Baca dulu: 1/7

***

Malam minggu kali ini lebih berasa seperti malam jumat minus kedatangan tamu mahluk halus. Sepi layaknya kuburan. Saya tidak bisa ke Bandung hari ini. Bukan, bukan karena ada kerjaan. Hanya saja sekarang gilirannya Kirana. Saya tersenyum miris mengingat kemarin sore Putra melarang saya untuk membeli tiket kereta ke Bandung. Banyak basa-basinya sebelum akhirnya dia bilang, "Besok Kirana ngajak ke rumahnya, Ras." Katanya hati-hati sekali, takut saya akan pecah berkeping-keping.  

Tapi seperti yang saya bilang, semua orang punya prioritasnya masing-masing, dan kebetulan saya tidak pernah berdiri di urutan pertama dalam daftar panjang prioritas Putra. Kebetulan saja, Kirana dan keluarganya berbarengan duduk disana, merasa tenang dan berbahagia karena mereka akan selalu dipilih oleh Putra dalam situasi apapun. Lalu kuliah. Lalu teman-temannya. Lalu saya. Yang kesekian. Untuk menghibur diri saya sendiri, saya akan menambahkan hobi setelah saya, yang sebenarnya hanya main game di komputer atau nonton film. 

Itu bukan bagian terburuknya, teman-teman. Karena duduk diam di kamar kos menonton acara reality show berisi satu keluarga besar dengan keseharian mereka yang tidak pernah saya pedulikan dengan satu cangkir teh panas terasa memperburuk kenyataan bahwa saya jadi yang kesekian di dalam kasta prioritas Putra.

Tiba-tiba ponsel saya berdering. Saya melirik layar ponsel saya malas. Nama Gilang muncul di layar dengan wajahnya yang entah sejak kapan ada disana. "Hoi." Saya menjawab malas. "Makan yuk." Jawab Gilang di ujung telepon sana. Makan........?

"Udah jam berapa woy, ini?" Saya bertanya balik, enggan menjawab ajakannya. Gilang malah tergelak. Kalau dipikir-pikir hanya dia yang mengacuhkan sifat moody saya. "Makan seafood enak nih, Ras." Timpal Gilang ringan. Seakan dia tahu saya akan langsung mengiyakan ajakannya. Seafood is not a bad idea, actually.

"Seafood mana?"

"Sabang aja, yang buka sampe malem."

"Yaudah, ketemu disana ya.." Sebelum saya menekan tombol merah untuk mengakhiri percakapan, Gilang menjawab, "Gue jemput aja." Klik. Dia menutup teleponnya duluan.

Dua jam kemudian, kepala-kepala udang tanpa otak menumpuk di depan kami, ditemani kepiting-kepiting tanpa daging dan empat gelas es teh manis.

Saya melirik jam yang menunjukkan waktunya pulang. Sudah larut. "Pulang yuk." Saya mengajak Gilang pamit kepada sisa-sisa makan malam kami. "Bentar lah. Baru juga jam 12." Tolak Gilang terang-terangan.

Saya enggan protes. "Buru-buru banget sih, ada siapa di kosan?" Tanya Gilang sambil menatap saya. Sekarang saya bisa melihat kaos band Monkey Magic dibalik jaket berbahan nilon yang selalu dia pakai kemana-mana. Reflek, saya tersenyum. "Suka lagunya yang mana?" Saya bertanya, mengacuhkan pertanyaannya barusan. "Hah?" Dia mungkin bingung kenapa tiap pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan oleh saya.

"Suka lagunya Monkey Magic yang mana?" Saya memperjelas pertanyaan saya.

"Oh, hahaha. Kaos ini maksudnya. Ini kado. Tapi gue suka semuanya, sih. Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Cuman nanya."

"Lo kok buru-buru, ada siapa di kosan? Pacar kesini?"

Saya kaget dan geli ditanya begitu. "Hahahahaha.. ndak punya pacar, Gilang."

"Hoooo.." Bukan respon yang saya harapkan sebenarnya, tapi siapa peduli.

"Boleh daftar dong kalo gitu?"

Eh...?

Friday, November 28, 2014

1/7

Baca dulu: Ke-sekian.

***

Tok..Tok..

Saya mendengar pintu kamar kosan saya diketuk.  Saya berusaha untuk tidak salah tingkah, memperbaiki kemeja favorit saya. Saya tidak sengaja tersenyum. Sudah banyak malam minggu saya habiskan bersama Laras. Dia suka datang setiap hari Sabtu pagi membawakan sarapan atau Minggu siang dengan wajah kelaparan.

"Halo!" Sapa Laras semangat sambil memeluk saya erat. Mungkin terdengar dibuat-buat, tapi ada rasa hangat masuk ke dalam rongga dada saya, mengingatkan saya bahwa saya dicintai. Tapi tidak lama setelah itu, rasa hangat itu digantikan rasa ngilu familiar, mengingatkan saya bahwa yang saya lakukan, salah.

"Ada pempek, nih. Udah sarapan?"

Saya menggeleng sambil menerima bungkusan putih, dan meletakkannya di meja makan.

"Jakarta lagi hujan banget nih. Disini hujan nggak?"

Saya mengangguk sambil duduk di kursi meja belajar saya. "Kok kamu diem aja?"

"Hahaha, nggak apa-apa, Ras."

"Lagi berantem sama pacar?"

Saya menggeleng. Entah harus senang atau kesal ditanya seperti itu. Rasa kesal itu datang saat saya tahu dia hanya basa-basi, tidak benar-benar peduli. Tapi rasa senang itu muncul saat saya sadar bahwa dia cemburu. Dia ingin tahu. Gemas.

"Kamu mau makan pempek-nya sekarang?"

"Hehehe boleh, deh."

"Bentar aku ambilin, mangkok dulu ya. Dapurnya di luar kan?" Laras bergegas keluar menuju dapur. 10 menit kemudian dia kembali dengan mangkok dan sendok dan garpu. "Kok lama? Susah ya nyarinya?"

"Nggak, tadi ngobrol bentar sama temen kamu."

Entah kenapa naluri saya meminta saya untuk siaga. Saya bisa merasakan keringat dingin di pelipis saya. "Siapa?"

"Lupa nggak nanya nama. Cowok, rambutnya lumayan panjang, pake jersey bola warna putih."

"Hmm.. dia ngapain?"

"Ngajak ngobrol biasa. Dia tau kalo aku temen kamu." Jawab Laras sambil tersenyum. "Ngobrolin apa?" Saya gusar. Saya selalu tidak mengerti rasa yang satu ini. Saya gerah saat Gilang - teman kantornya - mengantarnya pulang. Saya tidak suka saat Gilang mengajak Laras ke Car Free Day di Jakarta. Saya kesal saat Laras bercerita tentang Gilang. Bukan cemburu, bukan. Hanya..gusar. Sekarang ditambah satu lagi pake ngajak ngobrol segala.

"Dia minta nomer hape aku, Put. Nggak apa-apa, kan?"

Nggak apa-apa gimana?! Ya kenapa-kenapa dong, Ras. 

"Hmm? Ya terserah kamu, lah Ras. Namanya Aldo. Baik, kok." Ada 7/8 rasa sesal saat saya menyebutkan namanya, ditambah embel-embel 'anaknya baik kok'. Can you get any more stupid?

Laras tertawa pelan. "Iya, orangnya keliatan baik. Tapi aku nggak pernah suka cowok rambut panjang, Put." Dia melihat saya lekat. Saya berusaha acuh mendengar komentarnya tentang Aldo, tapi Tuhan dan saya tahu bahwa yang saya rasakan adalah lega.

Tinggal satu lagi. Saya berkata dalam hati.

"Pempeknya enak nggak?" Saking enaknya tenggelam dalam benak saya, saya membiarkan pempeknya mendingin. "Enak, enak." Saya menjawab salah tingkah.

Laras menghempaskan badannya ke kasur saya, menarik selimut yang sudah saya lipat rapih, dan mendekatkan diri ke guling kesayangan saya. Saya hanya bisa berharap saya semujur guling itu.

"Tidur bentar, ya."

Saya menoleh ke arahnya 10 menit kemudian dan menemukannya sudah tidur pulas. "Saya sayang sama kamu, Ras. Saya nggak tahu kenapa bisa sebegini kacaunya kita, tapi kamu harus tau kalau saya sayang kamu." Saya berbisik pada diri saya sendiri.

Sebegini dekat jarak kami, semudah ini saya bisa menjaganya tetap dekat dengan saya, tapi saya tidak pernah bisa menyatakannya. Dan tanpa sadar saya mencium keningnya begitu saja. "Saya sayang kamu." Rasa bersalah itu muncul lagi. Tapi ego saya bilang saya menang. Karena untuk pertama kalinya, saya jujur pada diri saya sendiri.

Thursday, November 20, 2014

Ke-sekian

Baca dulu: Wahana

***
Bandung,1 September 2014

Saya selalu tahu rasanya jadi yang kesekian. Sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan, karena semua orang punya prioritasnya masing-masing. Tapi hari ini saya menerima gaji pertama saya, dan hal pertama yang terpikir di benak saya adalah untuk merayakannya bersama kamu. Di benak saya, ada kamu dan makanan favorit kita. Ada kamu dan film favorit kita. Ada gelak tawa kamu. Kamu yang nun jauh disana. Kamu yang - ironisnya - selalu punya 1001 alasan untuk bilang tidak. Yang biasanya hanya bilang, "Maaf, Ras.." untuk tumpukan pertanyaan saya. Bahkan untuk pertanyaan yang seharusnya dijawab iya atau tidak, kamu jawab dengan maaf. Sejujurnya, saya tidak pernah butuh permintaan maaf kamu.

***
31 Agustus, 2014

Jakarta hujan hari ini. Saya masih duduk anteng di kubikel saya, menunggu hujan berubah pikiran dan kembali di lain hari. Hanya saja hujan malah turun makin deras. Saya menghela nafas. "Belom pulang, Ras?" Tanya 'tetangga' kubikel saya. "Belom nih, hujan." Saya menjawab seadanya. "Lah, lo kan naik mobil, nggak ngaruh, Ras." Dia tergelak mendengar jawaban saya. "Kan macet, kakak!" Cetus saya tidak sabaran. Dia paling gerah saya panggil kakak. Umur kami selisih lebih dari 4 tahun dan panggilan kakak ia hindari selama bertahun-tahun. Saya tergelak melihat pria ini memicingkan mata kesal. "Makan yuk." Ajaknya sambil bersender di pintu kubikel saya. "Makan apa?" "Apa kek? Kalo nggak mau, ya nggak apa-apa."

"Dih, ngambek, dih. Ayo deh!"

"Lo yang milih." Katanya sambil merangkul pundak saya, sok akrab. Tiba-tiba, ponsel saya berdering. Putra.

Setengah bagian hati saya bersorak gembira, harapan melambung tinggi, dan kupu-kupu tiba-tiba berkumpul dalam perut, tapi setengah bagiannya mendingin, membuat rasa ngilu yang aneh tapi entah kenapa familiar. Saya menekan tombol hijau dan mulai bicara.

"Hai," sapa Putra di ujung telepon sana. Saya mendengar gemericik hujan. "Hujan ya di Bandung?"

Putra tergelak. Saya reflek tersenyum. "Kok tau?" Tanyanya. "Nebak aja, hehe."

"Udah makan?"

"Ini mau makan.."

"Makan apa?"

Saya diam sejenak, bertanya kepada pria di samping saya yang sibuk bermain dengan ponselnya. "Mau makan apa?" "Bakso, yuk. Pas kan lagi hujan?" Dia memberi ide. Saya mengangguk dan kami berjalan ke warung bakso dekat kantor. "Bakso, Put.."

Tidak ada balasan di ujung telepon sana. Putra tiba-tiba diam.

"Halo? Put?"

"Kamu sama siapa?" Tanya Putra. Nada suaranya berubah. Posesif. "Temen, Put.."

"Temen as if...pacar?" Tanyanya lagi. Posesif dikali dua.

Saya tergelak. "Emang kamu?"

Dia diam. Saya bisa mendengarnya menghela nafas. "Selamat makan, Laras.." Lalu dia menutup telepon duluan.

Gantian saya yang menghela nafas sambil meletakkan ponsel saya di atas meja. "Pacar, Ras?" Pria berkaca mata di depan saya bertanya. Dengan jarak sedekat ini, saya bisa melihat bola matanya yang berwarna cokelat tua. Kacamata persegi itu mengaburkan warna bola matanya berulang kali. Dan saya tidak pernah melihat mata seteduh itu. Bahkan lebih teduh dari mata milik Putra. Reflek, saya tersenyum. "You have beautiful eyes."

Dia mengernyit bingung. "Hah?"

Saya sadar keringat dingin mengalir di punggung saya. "Hahaha, nggak, itu, maksud gue, mata lo bagus. Gue baru nyadar, hahaha." Saya tertawa salah tingkah.

"Makanya, jangan hape mulu dipantengin. Gue kek, sekali-kali. Tiga minggu udah tetanggan ama gue, baru nyadar sekarang lo, mata gue bagus." Saya tertawa.

Setengah jam kami habiskan dalam diam. Kusyuk menyantap bakso campur favorit saya. "Lo kalo lagi makan nggak bawel, ya." Komentarnya tiba-tiba, saat saya asyik membelah dua bakso terakhir di mangkuk saya. "Hehehehe. Biar lebih fokus aja, Bang." Tidak hanya 'kakak', dia juga benci saya panggil 'Abang'. Dia memicingkan mata kesal. "Lo kapan deh mau berhenti manggil gue kakak, atau abang. Panggil nama aja, lah."

"Iyeee.." Jawab saya acuh.

Selesai makan, kami kembali ke dalam kantor, hujan mulai berhenti, "Lo nggak langsung pulang?"

Saya menggeleng. "Belum mau pulang.."

"Betah bener di kantor lo. Nungguin siapa sih?" Tanyanya ingin tahu.

"Nunggu ujan." Saya menjawab asal. Pria di sebelah saya diam saja. Mungkin lelah untuk bertanya. Mungkin di benaknya, saya ini orang aneh. Tapi saya tidak terlalu peduli. Putra kembali menyita perhatian saya.

"Jangan terlalu sama yang udah jauh. Nanti capek sendiri." Kata pria di samping saya. Raut mukanya serius. Saya tersenyum ditegur begitu. Lebih banyak benarnya dan kalau saya mau jujur. Tapi Putra tidak pernah jauh. Dia selalu di benak saya, di setengah bagian hati saya. Dia selalu ada dalam pertimbangan saya mengambil keputusan. Dia selalu ada dalam kata tidak yang saya ucapkan dengan tidak enak hati pada mereka yang mencoba mengisi setengah hati milik saya. Dia ada dalam bimbang saat ada ajakan pertemuan dalam pesan singkatnya.

"Gue pulang dulu, ya." Saya mendongak dari meja kubikel saya, melihat pria itu melongok ke dalam kubikel.

"Dah, Gilang.."

Pria itu tersenyum mendengar namanya dipanggil, memperlihatkan lesung pipitnya yang selama ini tersembunyi saking jarangnya ia tersenyum.

"Seneng lo?" Goda saya.

Dia tergelak sambil melambaikan tangan.

***

Saya secara tidak sadar mencari namanya di deretan nomor telepon favorit saya. Namanya disana. Bertengger tanpa rasa bersalah. Saya menekan tombol 'call', lalu nada dering yang mengganggu ini jadi jembatan harapan saya.

"Hmm.." Katanya ketus di ujung telepon sana.

"Aku mau ke Bandung."


Tuesday, November 18, 2014

More To Ditch

It's been a very hectic month, especially in two until three weeks before this. And i am actually glad that i am still breathing. I don't think i can talk about it, because i am trying to not to reveal every personal thing in my life on my blog, overall, it's okay. My life is quite shacking and not very stable, since i don't have enough time working out or even write a post anymore. And that doesn't feel good. So, yeah. I guess i just need to adapt faster than i should.

I already ditched my love life, hobbies, extracurricular activities/volunteering, and few hours of my sleep. 

me being not very happy :(

Monday, October 27, 2014

Whole New Level of Protest

It seems impossible for most of everyone to be as creative as Monsieur Karl. I refuse to call him Herr which means 'Mister' in German because all he wants all these years is to be french. I am giving him that, right now. Sometimes I wonder, if beloved Gabrielle Chanel had her chance to experience some people call it 'rebirth' or reincarnation, i bet it would be Monsieur Karl. Too bad Karl was born when Gabrielle went through difficult time for fashion during World War II. For short trivia, her name was never been Coco. Coco was her stage name when she regularly sang a song titled Coco on friday nights long before Chanel empire. Back to 2014, when Karl did make Gabrielle proud. Have you seen Boulevard Chanel? Do you still remember what Karl made for us in Spring/Summer 2013 that took place at Grand Palais with gigantic windmills, two enormous solar panels at the entrance that really support its eco-technological theme? That was huge.

And i found myself wondering what is really going on in Karl's mind? Can he sleep at night? Because if i were him, i won't have time for shower or picking my daily outfit. And now, groundbreaking-ly (is that even a word?) start new season in 2015 by carrying modest idea that somehow suits current circumstance around the world but he aced it anyway. Chanel's Spring/Summer 2015 RTW fashion show brings feminist protest into a whole another level. The protest was led by Cara Delevingne wearing suits and holding quilted megaphone, and followed by Kendall Jenner, Joan Smalls, Eddie Campbell, Gigi Hadid, Charlotte Free Georgia May Jagger, Caroline de Maugret, Toni Gran, and Gisele Bundchen. Who need an army if Karl can get them?








  


Thursday, October 2, 2014

Wahana

Baca dulu: Sejumput Halo

***

Rasanya aneh saat menunggu kembali jadi kebiasaan. Sudah lama rasanya tidak menunggu selama ini, karena terakhir kali dibuat menunggu, saya juga dibuat berkaca-kaca dengan kalimatnya. Tidak sengaja saya tersenyum mengingat hari itu. saat ia bilang, "Tolong jangan kemana-mana.." 

"Hai"

Saya menoleh ke atas saat dia dengan kaos favoritnya duduk di hadapan saya membawa satu kotak kue bolu pandan. Seperti tahu raut bingung saya, dia menjawab, "Mama yang bawain." 

"Bilang makasih buat mama ya.." Sahut saya sambil mengambil kotak kue itu. Dijawab hanya dengan senyum oleh empunya Mama. 

"Pesen, yuk.." Kembali dia melihat jam di pergelangan tangan kanannya. Sudah dua kali, sekarang. "Lagi buru-buru ya?" Celetuk saya, penasaran. Dia tersenyum malu. "Nggak kok... I am all yours today." Ditambah dengan senyum yang entah sejak kapan saya nantikan, mungkin cukup saya dan Tuhan yang tahu jika kecepatan degup jantung saya bertambah. Salah tingkah, saya ikut tersenyum. 

"Okay, then." 

Satu jam berlalu, kami masih sibuk bicara, bertukar cerita sambil merasakan angin pendingin ruangan yang berlebihan. Satu kali izin ke toilet, sepuluh kali melirik jam, dan dua kali mengunjungi media sosial. Saya se-membosankan itu kah? 

"Jadi sekarang udah semester berapa?" Dia bertanya meyakinkan - entah dirinya sendiri - atau saya, karena dia sudah bertanya dua kali. "Jalan semester 6.." "Hoo iya, aku lupa. Tadi kamu udah bilang. Maaf ya.." Dia terkekeh pelan. 

"Seru nggak, kerja di majalah?" Giliran saya bertanya. "Banyak serunya, tapi capek sih..hehe" Tidak ada jawaban yang dilontarkan perempuan ini tanpa tambahan 'hehe' atau 'haha' di belakangnya. Kadang saya bertanya-tanya, apa yang saya lewatkan. 

Dua tahun itu dimulai dengan ketidaksengajaan, saat kami sama-sama duduk di bangku SMA. Kami bahkan tidak berada di sekolah yang sama. Tapi lucu rasanya saat kalian tahu apa yang bisa saya lakukan untuk dia. Dua tahun pacaran lebih mirip naik roller coaster. Selama di dalamnya, kamu berusaha untuk keluar, atau berusaha untuk tidak meledak, kadang kamu dibuat tertawa oleh sesuatu yang menari dalam perut, mungkin hanya kupu-kupu, dan saat kamu sudah keluar, setengah dari kamu merasa lega karena kamu tidak akan duduk di wahana yang sama, dan kamu bisa menarik napas lega karena wahananya tidak menahan kamu disana. Tapi setengah bagian lagi menghantui kamu dengan perasaan 'kali ini akan berbeda', 'kali ini akan lebih baik', 'ah, ini kan roller coaster yang sama'. 

Dua tahun berlalu, dan kami bertemu tanpa sengaja di kota yang mempertemukan kami sebelum roller coaster

"Lah, Put, kamu ngelamunin apa deh.." Kini, dia tertawa melihat muka melamun saya. Saya tidak pernah bercermin saat saya melamun, tapi saya yakin saya terlihat konyol sekarang. Lebih malu daripada saat saya tidak sengaja mengambil majalah dewasa di toko buku. Walaupun saat itu, dia tertawa lebih keras dan lebih lama. 

Saya gelagapan, takut dia tahu apa yang saya lamunkan. "Jalan yuk.." Kata saya akhirnya. 

"Aku mau naik bianglala.." Katanya tiba-tiba saat kami berjalan ke arah parkiran mobil. 
"Sekarang?"

Dia mengangguk, menunggu persetujuan saya. Saya ada 1001 alasan untuk menolaknya, dan saya lebih dari bisa untuk bilang tidak, tapi sekali lagi, ada 1/4 bagian hati saya bilang 'Saya juga mau naik bianglala sama kamu'. 

Jadi, alih-alih menjawab, 'aku ada acara habis ini', atau 'lain kali, aja ya' (dan saya berharap dengan memberi jawaban seperti ini dia tidak akan berharap benar-benar ada lain kali), atau 'entar aku dicariin' saya menjawab "Ayoo.." 

Sampai di bianglala, antriannya bisa disandingkan dengan antri sembako saat hari raya. 

"Yah, rame.." Ucapnya kecewa. "Nggak jadi naik, nih?" Saya bertanya memastikan. "Antriannya parah banget gitu, emang kamu mau ngantri gitu?" 

Sekali lagi, 1/4 bagian hati saya yang tidak bisa saya kendalikan karena perasaan saya untuk perempuan satu ini menolak untuk mengecewakannya. Saya bisa saja bilang 'ayo jalan-jalan aja' atau 'yaudah, makan es krim aja yuk' atau 'bisa lain kali, kan?', tapi untuk pertama kalinya saya bilang, "Nggak apa-apa lah, kapan lagi kesini sama kamu.." Agak tidak percaya saya mengatakannya barusan. Dan rasa bersalah itu menyusup masuk sambil membuat rasa nyelekit familiar. Tapi dalam remang lampu jalan, saya masih bisa melihat pipinya merona merah. Sepadan. 

Setengah jam kami menunggu bianglala yang kosong, akhirnya kami mendapat giliran bianglala biru muda. Dia memilih untuk duduk dekat jendela, siap untuk mengabadikan city lights saat kami sudah di atas sana. 

"Kamu tau, Put, pas Beyoncé shooting video klip yang XO, she made a couple stuck in the ferris wheel for an half of hour just because she fixed her make up. Can. Not. Believe. That." Saya tergelak mendengarnya. "You have the most random thoughts ever, gimana bisa kamu mikirin Beyoncé sekarang?"

"Emang harusnya aku mikirin apa?" 

Apa kek, aku kek. Apa kek.

"It's beautiful.." Katanya dengan mata berbinar, memantulkan puluhan lampu-lampu Kota Batu yang mengecil. Seindah itu, sampai dia lupa untuk mengeluarkan ponselnya. Gantinya saya yang mengabadikan city lights kesayangannya. Untuk dua sampai tiga frame saya sisakan untuk mengabadikan wajah itu, ekspresi yang akan saya rindukan saat bianglala ini mengangkut pasangan lain. Ini yang saya sebut indah. 

Saat satu frame tersisa untuk wajahnya, dia menoleh, melihat saya dengan binar yang sama. Click! 

"Apa?" Saya bertanya mencoba berhenti salah tingkah. "Muka aku jelas nggak?" Dia mengintip hasil jepretan saya. Tambah salah tingkah, saya memberikan ponsel saya. "Wah, aku minta yang ini ya entar. Bagus." Sahutnya, gembira. 

"Wah...ini siapa?" Dia memperlihatkan foto perempuan yang tidak asing bagi saya. Kirana. Pacar saya. 

"Temen.." Saya mengambil ponsel saya, dan menguncinya. 

"Ohh.."

Dan tiga menit berikutnya kami habiskan dalam diam. Dia dan isi hatinya yang tidak akan pernah bisa saya mengerti, mengunci saya di luar. 

"Kok diem aja?" Saya bertanya saat kami turun dari bianglala. "Eh, jangan lupa kirimin foto yang tadi ya.." Katanya, tidak menjawab pertanyaan saya. "Habis ini mau kemana?" Saya bertanya lagi. 

"Masih ada kan alamat e-mail aku?" Sekali lagi, dia membiarkan pertanyaan saya menggantung. 

"Ada.." 

"Putra, aku duluan ya.." Caranya pamit seperti merasakan zat korosif berhasil mengikis pinggiran hati saya, perih. 

Saya tahu rasanya. Saya paham sakitnya. Tapi saya tidak pernah mencoba untuk mencegahnya pergi. Selalu ada ego yang menahan saya. Gengsi besar yang lebih besar dari rasa sayang saya.  

"Ras..." Saya berjalan menyusulnya. "Ati-ati ya pulangnya.." 

Dia tersenyum, lalu mengangguk. 

"Kamu yang langgeng ya.." Bukan lega yang saya rasakan saat dia mengatakannya, lebih seperti dosis berlebih zat korosif ditumpahkan tepat ke dalam hati saya. 

Kalau boleh memilih, saya tidak akan mau naik roller coaster lagi. Saya akan pilih biang lala. Tapi, sama kamu, Ras. 








Sunday, September 28, 2014

Sejumput Halo

"Hei"

"Hai. Halo!" Saya lihat pupilnya membesar, membuat matanya semakin berbinar, dan dia tersenyum sumringah sambil reflek ingin memeluk saya tapi batal dia lakukan.

Jabat tangan jadi eksekusi paling tepat saat bertemu mantan, begitu mungkin pikirnya.

"Kamu apa kabar?" Dia bertanya sambil terus tersenyum. "Baik, baik. Kamu apa kabar?" Jawab saya sambil terus memperhatikan perempuan di depan saya yang sibuk bermain dengan ponselnya dengan pipi memerah. "Kesini sama siapa?"

Saya diam lama, lalu menjawab, "Sendirian kok.." Mungkin lebih baik saya tidak memberi tahunya.

Saya memang tidak pernah tahu pasti apa yang ada dalam benaknya saat dia melihat saya, atau mungkin saya juga tidak tahu tentang isi hatinya selama dua tahun ini, tapi dia tidak mungkin memalsukan senyum seindah itu. "Sampai kapan di Malang?"

"Semingguan lagi.." Jawabnya sambil mengecek jarum tangan di jam tangan kulitnya.
"It's been awhile, ya.." Katanya lagi. "Iya, udah lumayan lama banget gak ketemu. Kamu lagi sibuk apa sekarang?"

"Nggak lagi sibuk apa-apa.."

"Mau makan siang dulu, nggak? Kamu nggak buru-buru kan?" Saya berinisiatif. Saya tahu selalu ada 1/4 bagian di dalam hati saya yang ingin dia kembali. 1/4 sesal saat kami tidak punya akhir bahagia. 3/4 sisanya adalah bimbang dan lega karena dua tahun terakhir bukan tahun-tahun terbaik saya. Tapi tetap saja, saya tidak bisa hidup hanya dengan membawa 3/4 bagian hati saya.

"Aku ada acara habis ini.. Kalo besok gimana?"

"Oh..gitu.." Untuk sekali lagi, 1/4 bagian hati saya yang retak dulu, terguncang. Mungkin lebih banyak ego saya yang terluka karena saya kira dia akan langsung bilang 'iya', dan saya lebih dari tahu kalau dia punya sebagian hatinya untuk saya. Saya tahu.

"Yaudah, gapapa, besok aja. Aku jemput ya.." Saya kembali berinisitiaf, dan kembali dijawab dengan, "Nggak usah, aku bawa mobil soalnya." Ada torehan tepat di jantung ego saya. Torehan lebar dengan belati kata-katanya.

"Sampai besok, ya." Katanya sambil memeluk saya.

Tapi, lalu 1/4 bagian hati saya sembuh.

Friday, September 19, 2014

Boredom to Kill

Hello again you there! This is my third day experiencing new level of learning by being a sales assistant in Otoko. store. It's been fun and very bizzarre (since i am one of two women here and the other one is the marketing manager, so yeah). My basic learning was to iron the clothes (most of the clothes made of cotton, please do understand it's not an easy job to do.) I am the youngest number two and mostly sit down on the very comfortable sofa and trying to do something beside ironing. I took two shifts per day so i can finish it fast and continue my second internship at the office of (still) Otoko. Anyway, i am in the middle of boredom because it's the end of the week and we really have nothing to do. 



 
those gif(s) are hillarious!

Thursday, September 11, 2014

Anna x Random Questions

These past months i've been following The Coveteur on instagram, and just yesterday they got chance to hit Anna Wintour with 73 random questions. They got into her office and saw what she's doing. I know they were welcomed in her office, but Anna kept her sunnies on to hide (that's adorable). And i already know what Anna will never wear. She thought every technology that invented are brilliant except Apple, she hates spiders and she learns about love from her children. 
Quoting from The Coveteur,"She wishes fashion people would stop saying not 'chic', or 'iconic', but 'journey'." I slightly agree, tho. Spring is chosen to be her favorite season while she's in New York, and she thinks Brooklyn is the new Silicon Valley. She really wants to go to India and the best vacation is going back home to enjoy the real humour (since she thinks brits have different humour compares to americans). 

The September Issue must be great. 

I promise you the video is enjoyable, you can prove it by yourself here and don't forget to visit The Coveteur!     
xx


早安, Hongkong!

Hi again. So last week i went to Hongkong for 4 nights holiday, and it was fun. We went to tourists' places like Disneyland and Madame Tussauds. It was quite exhausting, tho because we mostly walked to go anywhere. Anyway today would be the most productive day in this week, because i got chance to go to gym (it's been forever) and ate decent foods, and finally tasted good dessert. And for the photos while i was in hongkong, here we go.















Wednesday, August 27, 2014

Jembatan

Saya melihatnya lagi, ini yang ke-5 hari ini, hening disana, tapi bisa membuat saya merasa diperhatikan. Tanpa kata, tanpa emoji dia disana, melihat apa yang sedang saya lakukan. Mungkin 10 bulan yang lalu akan saya manfaatkan untuk mencuri perhatiaannya lagi, sibuk posting macam anak baru gede, sibuk cari perhatian, dan dia akan sibuk memalingkan muka. Tapi sekarang, setelah 10 bulan tahu rasanya tidak diindahkan, mungkin lebih baik jika kami tidak bertegur sapa di media sosial mana pun. Termasuk yang ini. Saya kembali menyusuri timeline media sosial saya yang di-dominasi warna merah. Kembali tersenyum saat saya menemukannya lagi di salah satu moment saya. Halo kamu


What The Fest

Late night from Jakarta. I am having a good time with my current favorite tv series titled Friends with Better Lives. It makes me laugh.

Anyway, 48 hours ago I and my basic mates went to We The Fest 2014, and it went great! That was my first summer concert with friends and i enjoyed it. The performances i enjoyed the most are Timeflies (Caleb is something different, you know) and Banks. Banks stole most of her audiences' heart. She stole mine, to be honest. Hehehehe. My favorite were Beggin For Thread and Brain, and oh This is What It Feels Like also succeeded grab my attention. I personally never heard about her before We The Fest, and Thank God I did. Maybe her voice sounds more like suiciding kind of voice, but she does have better taste of music. Anyway, i had only slight chance to watch Ellie Goulding, but she was mindblowing. I didn't enjoy her mellow songs, but her voice sounded exactly like the recording (that proved something, yes?). Oh i was very thrilled by the mini pop up store of Bobobobo. I bought Identite's drawstring transparent bag and it's very useful. The pop up store was crowded (thanks to free hair treatment) yet very efficient. Because it didn't take long time to be served there. They also offered delivery service so people there didn't need to bring things they bought. But i personally loved bringing the drawstring bag. It's cute. Tehehe*o*





As said, the concert went great and i mostly enjoyed it. Oh, and i currently love male singer name Dan Croll. I know nothing about him, what i understand is he's cute. ANYWAY, I should go to bed. If you're wondering did i really have fun at WTF, maybe you should scroll down to see my photos!

Irrelevant, but Dan Croll worths every random photo i post


i love when my hair stick together


my bindi was indestructible

before Ellie Goulding