Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Wednesday, October 31, 2012

They just....dont know the truth.


..and your life changed....forever.

Sarcastic


The Best Conversation

Jamie Randall: I'm full of shit, okay? No I'm... I'm *knowingly* full of shit. Because, uh... because uh, uh... I have... I have *never* cared about anybody or anything in my entire life. And the thing is, everybody just kind of accepted that. Like, "that's just Jamie." And then you!... Jesus. *You*. You. You didn't see me that way. I have never known anyone who actually believed that I was enough. Until I met you. And then you made me believe it, too. So, uh... unfortunately... I need you. And you need me.
 

Maggie Murdock: No, I don't.
 

Jamie: Yes, you do.
 

Maggie: No, I don't.
 

Jamie: *Yes*, you do.
 

Maggie: Stop it, stop saying that.
 

Jamie: You need someone to take care of you.
 

Maggie: No, I don't! 
 

Jamie: Everybody does.

Hello Again Matt





i dont remember when exactly i start adoring Matt but i remember when i watched Long Hair by The Drowners i just realised that he is so....i dont know, what we call cute guy sings a good song in band...charming? Yeah, sort of. Plus, i love his smile. I just love the way he smiles. Oh My God, i think i am in love. Oh, i almost forget to say thanks. Thanks for making me adore him. lol
 

What Breaks My Heart Easily

1. Love songs
2. Photos
3. Memories about you that goes streaming in my head like black and white movie
4. Sad quote
5. Your tweets
6. Your status
7. Your smile. (Makes me realise, that smile aint mine, anymore.)
8. Romantic movies. (Makes me wish i have that kind of love story with you)
9. The way you act that "you are really okay without me" or "Your life is so much better without me" or "Losing me aint your big deal"
10. You have  new crush not very long after break up with me show me that "i am that replaceable." Yes, that hurts.



Surat Untuk Layla



Layla, maaf aku pergi, karena hanya Arimbi yang selalu ada di hati.

Layla jangan memintaku kembali, karena kamu berhak mendapat yang lebih baik.

Layla, jangan beri aku kesempatan untuk kembali, jangan maafkan aku.

Layla, aku pergi.

Layla, terima kasih untuk satu tahun ini. Tapi Arimbi, dia selalu di hati, dan tidak pernah pergi. Bukan, kamu bukan selingan, kamu bukan pelampiasan, kamu adalah bukti aku pernah menyerah untuk menanti.

Layla, maaf untuk segala janji yang tak sempat aku tepati, karena aku kembali jatuh hati pada Arimbi. Kembali menyerah untuk pergi.
Selamat tinggal hai kamu yang pernah ada di hati. 


***

Layla

“Nggak apa-apa Adit. I am fine.” Aku tersenyum mendengar cerita tentang mereka berdua.

Mungkin memang harus ada aku di antara mereka sampai Tuhan mempertemukan mereka kembali. 

Mungkin aku bukan pelampiasan, tapi cerita cinta mereka tidak akan lengkap tanpaku.

Ah, kamu menghibur diri, Layla. Kamu mencintai Adit.

Aku mencintainya. Tapi Arimbi cukup lama menunggu. 

Aku memeluknya. Salam perpisahan. “Jaga Arimbi baik-baik.. Cukup aku, ya Dit.”

“Arimbi, maaf membuatmu menunggu terlalu lama..” Aku melambaikan tangan pada sosok perempuan di belakang Adit. 

Terima kasih untuk satu tahun. Indah, sayang hanya bisa dikenang tanpa pernah bisa diulang

Sampai Disini



Halo Dungu..

“Panggil aku tidak tahu diri, tapi aku mencintaimu, Arimbi.”  Aku merasakan keringat dingin mengucur dari dahiku. Aku tidak segugup ini saat meminta Layla menjadi pacarku. Oh, tentu saja, ini Arimbi.

Aku duduk di sampingnya di dalam kubikel miliknya di suatu sore.

Setelah ini penantianku selesai, setelah ini semua cara penolakanmu akan aku telan, karena aku tidak pernah peduli. Setelah ini, aku akan pergi, tidak akan kembali, tapi tolong mengerti, aku mencintaimu...

“Ayo pergi, buktikan pada semesta, kita bisa bersama..”
Sekian tahun penantian, satu tahun menyerah dan memilih yang ada, kini aku kembali jatuh, untukmu.

Please, be mine, Arimbi..”

“I have always been yours.”

...Aku mencintaimu..

Be Mine



Hei kamu pemilik hati, jika kamu kembali, cobalah mengerti, aku tidak pernah pergi..

“Arimbi..” Suara milik Adit mengagetkanku sore itu.

“Layla nggak masuk hari ini..”

“Aku tahu.. Aku mau ketemu kamu.” Dan seketika jantungku lompat dari tempatnya. Butuh beberapa detik untuk membiasakan diri.

 Jangan terlalu besar rasa. Pasti ada hal menyangkut Layla yang ingin dia bicarakan.

“Ada apa?”

Tanpa disuruh dia duduk di sampingku, masuk ke kubikelku. “Be mine, Ari.”

Hei kamu yang selalu di hati, jangan pergi lagi..

Semesta, Kamu Tega



Semesta terlalu menyukai keadaan saat kita bersama tapi tak saling berbagi cerita.

Semesta terlalu menyayangkan perginya kamu mencari ilmu jauh ke negeri orang dan membuatku memilih Layla. 

Semesta benci kita jauh, tapi tidak membiarkan kita jadi satu utuh.

Dan sekarang dengan segala trik mistisnya, Semesta menarik tali merah milik kita berdua dan mengikatnya kuat. Entah apa aku bisa lepas dari ikatanmu, Semesta.

“Arimbi ini berbakat banget loh, Dit. Rajin lagi..” Layla, untuk kesekian kalinya, memuji Arimbi. Perempuan di depanku tersipu. Hari ini, tidak ada lagi kaca mata bundar miliknya. Tidak ada lagi kawat memagari giginya. Tapi lugu itu masih ada. Masih disana. Dia masih Arimbiku..
“Adit kerja dimana, La?” Arimbi menatapku. Aku tak perlu lagi mencari binar matanya seperti dulu, karena binar itu sekarang menatapku.
“General Manager di Tobuki Corp. Bagian marketing..” Layla menjawab, mewakiliku.
Dan setelah pertanyaan itu, kami bertiga diam, menikmati makan siangku yang entah kenapa, terasa hambar.

Di tengah makan siang, “Kamu disini aja, Ri, temenin Adit makan. Aku harus ketemu klien.”
“Aku anter, La. Aku udah selesai kok.” Layla tersenyum. Senyum “tidak apa-apa” milik Layla selalu menarikku kembali ke dunia nyata, ke duniaku tanpa Arimbi.
“Aku sama Pak Man, kok, Dit. I am fine.” Layla menuju pintu keluar sambil memegang gagang telepon.

Hei Semesta, apakah ini juga rencanamu?

5 menit masih tidak ada percakapan, aku menyerah.

Cukup Semesta, kamu keterlaluan. Untuk apa kamu membuat aku dan dia duduk berdua tanpa bicara?

Hai. Lagi.

Hei kamu yang tidak pernah hilang dari ingatan, apakah kamu masih ingat diriku dan hari Rabu?

Layla masuk ke kubikelku membawa berkas-berkas pekerjaan. Sudah tiga bulan aku bekerja bersama Layla di butik miliknya. Entah, dari pertama melihat Layla, ada hangatnya persahabatan yang mengendap di hati dan tidak mau keluar. Mungkin karena itu aku betah bekerja disini. Selain ramah, Layla tidak pernah membeda-bedakan pagawainya. Dia bilang aku teman pertamanya yang tidak melihat orang dari "lapisan luarnya saja". Teman? Ah, dia memang sebaik itu.
"Hari ini makan siang bareng yuk. Mumpung Adit bisa juga. Kita makan siang bertiga."

Dan rasa ngilu yang entah darimana merayapi hatiku. Air mata membumbung sampai pelupuk. Aku menunduk pura-pura mengerjakan sesuatu. "Makan siang dimana?"
"Sushi Groove yuk." Aku mengangguk mengiyakan. Dan untuk kedua kalinya aku akan bertemu dengan si pemilik hari Rabuku.

Yang pertama saat tidak sengaja aku baru keluar makan siang bersama Layla, tiba-tiba dia disana. Menunggu di dalam butik. Dan dengan jelas kulihat pemilik hari Rabuku tersenyum pada Layla. Sekali lagi senyum yang tidak pernah bisa kurengkuh itu kembali dimiliki. Tapi bukan aku.

Layla mengenalkan aku padanya. "Ari, ini tunanganku, namanya.." Adit.. "..Adit."

Aku membalas jabat tangannya sambil tersenyum artifisial.

Hei kamu, apa kamu tahu rasanya jatuh cinta diam-diam?

Ku tatap binar matanya.

Hei kamu, kini aku punya seluruh hari untuk terpaku melihat indahnya binar matamu, tidak hanya hari Rabu.

Hei, tidak mampukah kamu membaca rasaku? Begitu rumitkah mengartikan tatapanku padamu?



Thursday, October 25, 2012

Layla

Adit duduk diam menatap foto dirinya dan tunangannya di satu pigura di atas meja kerjanya. Layla. Putri dari pengusaha batu bara sukses di Indonesia. Menjadi seorang putri orang terpandang tidak membuat Layla terus bermanja-manja di rumah menghabiskan harta orang tuanya. Layla memilih untuk berkumpul dengan anak yatim-piatu di panti asuhan atau di kolong jembatan dibanding duduk manis di kafe mahal dengan teman-teman sosialitanya. Layla memilih merawat tanaman bersama tukang kebunnya di Minggu sore dibanding menyusul teman-temannya ke Singapura untuk belanja di Orchard Road, atau ke Hongkong karena ada Great Sale.  Layla. Perempuan yang dengan kesederhanaanya membuat Adit jatuh cinta untuk yang kedua kalinya. Adit selalu berpikir dia tidak akan bisa jatuh cinta lagi, setelah Arimbi sukses datang dan keluar dari hatinya tanpa permisi.

"Kamu dimana, La?" Tanya Adit di telpon.
"Di butik, Dit. Ada apa?"
"Aku jemput ya.."
Layla tersipu. Adit tidak pernah mengumbar janji. Tepatnya jarang.
"Kamu nggak sibuk?" Layla menjawab
"Kebetulan meeting jam 3 di-cancel." Adit menjawab sambil melihat Rolex yang melingkar di tangan kirinya. "Gimana?"
"Boleh.." klik.

Pukul 14.25 Adit pergi menjemput Layla di butiknya di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Adit langsung disambut pramuniaga butik tersebut bukan karena mereka berpikir Adit adalah customer tapi mereka tahu Adit bukan pengunjung biasa. Pramuniaga selalu berbisik-bisik iri. Entah, mereka yang tidak punya cermin atau mereka memang suka membicarakan orang lain.

"Aduh, Pak Adit itu kok ganteng banget ya.."
"Non Layla kan biasa aja mukanya.."
"Iya, cuman kaya aja. Apa jangan-jangan... Pak Adit cuma mau duitnya aja. Secara..." Dan seterusnya.

Adit suka mencuri dengar pembicaraan orang-orang itu sambil tergelak. Ada-ada saja.

Ternyata Layla masih ada tamu. Layla keluar sebentar sambil minta maaf pada Adit yang dibalas dengan senyum "tidak apa-apa" milik Adit. Tidak lama kemudian, Layla keluar dengan tamunya. Perempuan sepantaran Layla.
Adit langsung mengenali perempuan itu hanya dengan melihat senyumnya. Senyum yang selalu ia curi lihat beberapa tahun lalu. Senyum yang tidak pernah hilang dari ingatannya.Senyum milik seorang Arimbi tidak pernah sama dengan senyum milik perempuan lain, termasuk senyum Layla.

Adit memutuskan tetap diam sampai Arimbi keluar dari butik Layla. Adit memutuskan untuk menjadi pengecut sekali lagi.
"Tadi siapa, La?"
"Oh itu desainer baru aku. Namanya..." Arimbi. "...Arimbi."
"Aku suka banget sama desain-desain dia. She is talented."
Senyum Adit menjadi jawaban penjelasan Layla.

Halo Arimbi, ternyata semesta mempertemukan kita kembali. Apakah kita juga harus menunggu semesta mengacak-acak hidup kita lagi?

Wednesday, October 24, 2012

Wednesday, October 17, 2012

"......."

"Jangan kasih aku bunga, cokelat atau boneka ya, soalnya itu gak bisa ngasih makan anak-anak kita entar."

"Nggak usah pamer mobil atau motor papa-mama kamu ke keluargaku ya, soalnya nggak jamin kamu bisa punya kerjaan yang bisa bikin kamu beli mobil sendiri."

"Jangan kasih aku bunga karena nggak sampe seminggu layu. Hah? Tanda Cinta? Tanda cinta itu kuliah yang bener, kalau bisa summa cum laude, cari kerja bagus, sukses. Kan bunga gak bisa bikin duit, Yang."

"Bolos kuliah? Kuliah aja males apalagi kerja. Kamu mau ngasih makan apa ke anak kita entar?"

"Kalau aku marah nggak perlu lah ngasih boneka Teddy Bear segede gaban, soalnya kesannya kayak "nyogok" biar dimaafin."

"Jangan suka foya-foya ngabisin duit papa-mama kamu, kasian. Kerja aja belom.."

"Kado ulang taun? Aku mau kado doa aja; kita kuliahnya cepet, cari kerja bagus, terus nikah. hehehe."


Tuesday, October 16, 2012

Fashion Oh-So-Phenomena

Hello again people..
I am exactly in busy week. Assignments, quiz and mid-term test is on process now. But i always love blogging, you know. hehehe.
I also am working on my Fashion Phenomena's final project. You might be wrong desribe my project. You might think i am working on dress or designing or making collections for fashion show on last week in first smester. Unfortunately, no people. Fashion phenomena itself means history of fashion. Fashion itself is cycle so, the purpose of this lecture is knowing the basic form of style. At that time i dont know that prehistoric era (yes, that nenek moyang thingy) could contribute something in fashion world, but in fact, they did. The furs, Hair clip, One-shoulder dress, they all came from prehistoric era.
Then, Sumerian (the name for Mesopotamia's people) also contribute something then Egypt then then then then...
Okay, i should go back to my assignments. Enjoy you evening beautiful people, i love you..

xx

Monday, October 8, 2012

Hit By Fact

Hello again Monday. If you are little bit confuse by link below categories at the left column, dont worry, those are only stories i write in this blog. I categorize them again in one title, so if you wanna read them continuesly, it is easier to look for. Thank you :)

Anyway, Paula Meliana came to my college today and she told all her experiences in fashion industry. If you dont know who Paula is, she is a fashion designer for Bridal Wedding Gallery named Eva Bun. Eva Bun itself is family business that owned by Paula's mother. As a daughter she continues the business.

What i got from her presentation today was not as fabulous as when i first thought about being a fashion designer. She really worked hard to being known as now.

Another thing is Paula never wanted to be a fashion designer. Her mom asked her to be one.

"Because 10 years ago, Fashion Designer was not as fancy as now and that was expensive. But my mom asked me, so, i continued my study in one of Design Institute in Los Angeles. At the first time, i wanted to be an architect." She said.

And she also said that it wasnt easy to market her collections and she needed to get link as many as possible.

"My mom also started this business from zero." She added.

Beside her explanation, she also told us about media, and how to promote our clothing line, for example. She said dont trust too much in media, because in one time they can change their mind about us.

If i can make conclusion to her presentation today i will say this is the bitter yet inspiring story. She made it, i think. I mean, beside her luckyness to have business to continue and not to start, she really wants to prove everyone that she can do it.

She also invited to have fashion show in Jakarta Fashion Week. She is good, isnt she?

Well, people, if i can add another thing, honestly, what i really got from her is you can be anything you desperately want IF you want to work harder than anyone, IF you want to pray harder than everyone, and IF you have more passion than everyone. Show people you do your job ebcause you are happy doing it, not because you are asked. Goodluck!

xx






 


Telak


Untuk si dungu yang (ternyata) mampu membuatku patah hati

Maaf untuk adanya mereka. Maaf untuk kehadiran Mariska, Risma, Andin, Anya, Gisel. Adik kelas, kakak kelas, anak sekolah sebelah, anak kuliahan, anak teman Mama, anak teman Tante dan masih banyak lagi, bahkan aku sendiri tidak sanggup menghitung.
Aku pikir mereka bisa menghilangkan kamu dari pikiranku. Aku pikir mereka dengan segala pengalamannya bisa membuatku  berhenti memikirkanmu. Aku pikir kamu akan berhenti. Berhenti menyakiti dirimu. Karena tidak mudah jika kita berdua bersama..
Kamu (ternyata) berhenti. Berhenti muncul di hari Rabu, dan sejak saat itu rokok yang aku hisap terasa hambar.
Kamu berhenti duduk di bangku paling depan saat aku bermain menjadi bintang lapangan. Dan sejak saat itu bintangku meredup karena aku tidak lagi ingin mencetak angka.
Lalu aku mendengar suara tawa renyahmu disana. Ya, disana dengan orang lain. Disana dengan orang yang tidak lebih baik dalam segala hal dibandingkan aku. Tidak tampan, tidak pintar, tidak berkharisma, dan tidak-tidak yang lainnya. Tapi dia membuatmu tertawa. Membuatmu tersipu. Dia yang minus. Bukan aku.
Bajunya lusuh. Tapi dia membuat matamu berbinar.
Rambutnya acak-acakan. Tapi dia mampu membuatmu tergelak.
Dia minus. Dia minus. Aku plus. Tapi aku kalah telak. Kalah telak dalam segala hal tentangmu. Dia seperti mengenalmu lebih dari aku mengenalmu.
Lalu aku melihat kamu dengan dia. Berboncengan di atas motor berkarat berwarna merah. Motor berkarat yang mengalahkan aku dan mobil necis kinclong milikku. Telak.
Tidak tahan dengan kekalahanku sendiri, aku putuskan mendekatimu, bagaimanapun nanti hasilnya setidaknya, aku mencoba.
Esok paginya, aku tiba-tiba duduk di sampingmu. Mencoba mencairkan suasana, aku memanggil namamu dengan benar. Arimbi.
“Catatan fisika ya?” kamu mengeluarkan catatan fisika tanpa banyak tanya.
Aku diam. Tidak beranjak dari sampingnya. “Pulpen?” kamu menyodorkan pulpen.
Aku menggeleng. “Kalau catatan yang lain aku nggak bawa.”
Beberapa menit saling diam, aku beranjak pergi. Entah, mungkin ini saatnya aku harus merelakan kamu.

Hei dungu, kamu berhak berhenti menunggu. Karena nyatanya aku tak mampu.


Aku

Hei cinta yang akhirnya kandas tanpa pernah berbalas, aku masih disini

Tidak ada lagi satu hari memandangimu, karena aku berhenti memandangi senyummu.
Bukan karena senyummu mulai membuatku bosan atau aku sudah lelah menunggu tapi aku tidak tahan melihat senyum kekasihmu. Terlalu artifisial untukku.
Tidak ada lagi aku di bangku depan untuk melihatmu di lapangan karena bangku paling depan selalu dihuni kekasihmu. Lagipula, kamu tidak lagi sering mencetak angka.
Kamu tidak lagi meminjam buku fisikaku. Entah, mungkin karena kekasihmu lebih rajin dariku.
Lalu aku tahu kekasihmu tidak seistimewa yang aku bayangkan.
Karena satu bulan kemudian ada Mariska, Risma, Andin, Anya, Gisel. Adik kelas, kakak kelas, anak sekolah sebelah, anak kuliahan, anak teman Mama, anak teman Tante dan masih banyak lagi, aku tidak kuat menghitungnya.
Hei kamu yang tidak pernah tahu aku disini, aku kembali duduk di bangku paling depan saat kamu bertanding. Walaupun kamu tidak akan tahu, aku selalu menyunggingkan senyum setiap kamu mencetak angka entah kenapa. Ada buncahan yang tiba-tiba meledak di dalam.
 Hei kamu yang tidak pernah tahu aku memandangimu, hari Rabu tidak pernah sepahit ini saat aku hanya bisa mendengar suara tawamu yang renyah dan senyummu yang menyedot segala perhatianku tanpa pernah memilikinya.

Hei kamu yang selalu di hati, mungkin memang seharusnya aku berhenti. Berhenti memuji. Berhenti menunggu kamu untuk mengerti.  


Dungu


Untuk si dungu yang rela menunggu asap rokokku berhenti mengepul

Aku tahu dia disana. Duduk memandangi aku merokok. Duduk diam melihatku tertawa renyah tapi bukan untuknya. Tapi, dia masih disana. Setiap hari Rabu, hanya hari itu.
Bahkan dia tidak mencari tempat duduk lain untuk memandangiku. Dia selalu disana. Tapi aku tidak risih. Karena itu aku selalu duduk di bangku yang sama di setiap Rabu. Hanya setiap hari Rabu. Hari lain aku berusaha acuh.
Aku juga tahu kalau dia dengan sengaja membuat catatan fisikanya serapih mungkin untuk kupinjam.
Aku tahu namanya. Aku menghafalnya sejak awal, aku hanya tidak ingin dia tahu aku peduli. Aku hanya ingin tetap seperti ini. Dia tetap si dungu untukku.
Pulpen-pulpen miliknya tidak pernah aku kembalikan. Aku menyimpannya. Tapi dia tidak pernah meminta mereka kembali. Dia tidak pernah keberatan meminjamkan yang lain untukku. Dia hanya tidak tahu, aku menyimpan sepuluh pulpennya yang tak pernah kembali.
Aku tahu dia duduk di bangku paling depan saat aku bertanding di lapangan. Aku juga tahu dia menyempatkan diri tersenyum saat aku mencetak angka, yang berarti dia tersenyum berulang kali.
Yang dia tidak tahu adalah aku mencetak angka hanya untuk membuat dia menyunggingkan senyumnya yang indah dan memerlihatkan giginya yang dipagar.
Yang dia tidak tahu adalah setiap dia meminjamkan catatan fisikanya yang dia buat khusus untukku itu aku hanya ingin bicara dengannya. Aku dengan sengaja salah memanggil namanya hanya untuk tahu reaksinya, yang ternyata...dia sembunyikan.
Yang dia tidak pernah sadari adalah setiap hari Rabu, di saat dia memandangiku mengepulkan asap rokok, dengan gugup aku mencoba menangkap matanya, melihat binarnya yang indah di balik kacamata bundar miliknya.
Hei dungu, jika kamu tidak sengaja melihat angka kembar di dalam jammu yang menginisialkan huruf depan namaku, itu aku. Itu aku yang merindukanmu.
Hei dungu, maaf untuk senyumku yang tidak langsung aku tujukan untukmu.
Maaf untuk pulpen-pulpenmu yang tidak pernah kembali.
Maaf untuk waktumu di hari Rabu yang tersita untukku, karena kamu tidak pernah berhenti memandangiku sampai asap rokokku berhenti mengepul.
Hei dungu, maaf aku mencintaimu.

Wednesday, October 3, 2012

11:11


 Halo angka kembar dalam jam digitalku, tolong jangan berpindah ke menit lainnya. Karena aku masih tidak ingin kehilangan makna asingmu. Tolong berhenti di detik 59 karena aku mau kamu tetap abadi. Atau jika kamu mampu, kembalilah menjadi 11:11 karena aku jatuh cinta.

Kalau kamu mau, tetap disini sampai ada yang mampu menggantikanmu. Kalau kamu mau tetaplah disini untuk menemaniku menyanyikan lagu kesayangan kita..
Atau kalau kamu mau, kamu bisa tinggal untuk film favorit kita, yang selalu kita akhiri dengan air mata.

Jika kamu tidak keberatan, berhentilah di detik 59, untukku. Untuk kita kembali bernostalgia, seperti kamu tidak pernah pergi. Karena untukku, kamu tetatp 11:11:59. Karena untukku kamu tidak pernah berubah. Selalu 11:11.

Mungkin jika kamu bersedia diam lebih lama, kita bisa mengulang segala gelak tawa kita yang membahana memecah sunyi tiap siang. Aku juga tidak keberatan jika kamu mau mengulang pertengkaran kita yang selalu berkahir dengan kekalahan di pihakku. Karena aku tidak mampu mengalah. Karena aku tidak pernah mampu merelakan kamu pergi.

Aku tidak akan baik-baik saja saat kamu pergi. Tapi semuanya beralasan. Juga kepergianmu.

11:12

Tak kusangka semudah itu kamu berpindah detik. Tapi kamu akan tetap jadi 11:11:59 milikku. Selamanya.  

Kamu


Untuk cinta yang tak pernah mau mampir, aku disini menunggumu


Sunggingan senyummu tiap pagi itu cukup. Cukup menyakitkan, maksudku. Karena aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Menyakitkan karena senyum itu bukan untukku. Menyakitkan karena hanya aku yang tidak menyerah. Tidak menyerah untuk merekam memori tentangmu di kepalaku, berhimpitan dengan pelajaran-pelajaran. Dengan kegiatan sekolah yang aku anggap tidak lebih penting dari kamu, tapi harus tetap ada disana.

Kamu harus tahu, aku selalu ada di bangku penonton paling depan untuk melihatmu di lapangan. Kamu harus tahu, catatan fisikaku aku buat paling rapi hanya untuk dilihat olehmu. Meskipun kamu selalu salah menyebut namaku. Aku tidak peduli karena aku selalu disana. Saat kamu lupa membawa pulpen, pulpen-pulpenku siap untuk dipinjam, meskipun tidak satupun dari mereka yang kembali.

Terima kasih untuk angka kembar dalam jam digital yang mewakili inisial namamu. Untuk semua angka kembar dalam jam digital yang tidak disengaja berhasil membuatku tersenyum.  


Halo cinta yang tak pernah sampai tapi juga tak kandas, aku disini..

Frater Josef


Untuk kamu dan dengung suaramu yang menghantar aku tidur..


    
Lonceng gereja pagi ini sudah berdentang tiga kali. Aku memakai jubah cokelatku, tidak lupa merapikannya di depan cermin. Lalu dengan miris melihat diriku sendiri. “Aku ini bukan siapa-siapa.” Gumamku sambil berbalik melihat Salib terpasang di atas ranjang. Lalu aku melirik ranjang itu. Ranjang kapuk keras yang menjadi teman setiaku. Hanya ranjang di ruangan 3x4 ini yang tahu bahwa aku menduakan Tuhan. Tuhan Yesus yang sudah menyelamatkan adikku dari kecelakaan tragis tiga tahun lalu. Dan sejak adikku sadar dari koma, aku berjanji menyerahkan hidupku untuk-Nya.
                “Hei! Ayo!”  Mikael membuka pintu kamar dengan kasar saking tidak sabarnya. Aku buru-buru mengambil sepatu di bawah ranjang lalu memakainya.
                Gereja hanya berjarak 5 meter dari asrama dan kami sudah terbiasa bangun subuh bersiap untuk Misa Pagi. Jam tanganku menunjukkan pukul 05.50. Sepuluh menit lagi Misa dimulai dan aku belum melihatnya. Seseorang yang berhasil membuatku menduakan Tuhan. Seseorang yang berhasil menciptakan imajinasi di kepalaku yang mungkin normal dibayangkan kebanyakan laki-laki tapi bukan aku.
                “Frater...” Sapuan angin menyampaikan saraf pada otakku untuk mencari asal suara. Jantungku mencelos. Suaranya...
                Kalau aku tidak langsung teringat Tuhan Yesus aku akan langsung memeluknya dan bilang padanya bahwa aku merindukannya. Tapi nyatanya aku menatapnya dengan wajah datar cenderung dingin, ditambah lidah ini tidak kooperatif sama sekali.
                ‘Halo.” Sahutku menggantung.
                Namanya Maria. Nama yang indah, apalagi jika disandingkan dengan namaku...
                Aku tahu rasa ini. Rasa yang tumbuh lebih cepat dari jamur dan butuh 365 hari atau bahkan lebih untuk mengenyahkannya. Yang terpenting adalah hanya aku, ranjang, dan –sayangnya – Tuhan yang tahu.
                Aku berharap ada tempat selain permukaan bumi ini, agar aku bisa pergi bersamanya, membuncahkan perasaanku, memagut, bercinta seperti Adam dan Hawa. Seperti Layla dan Majnun. Seperti sepasang kekasih yang tidak akan dianggap menduakan Tuhan.
                Tapi semua kisah punya rintangannya sendiri dan ini adalah kisahku.
                “Frater, ayo masuk. Daritadi diajak ngomong kok diem aja.” Sahutnya sambil menyunggingkan senyum termanis sejagat raya. Berlebihan memang, tapi Maria memang yang terindah.
                Kami berjalan beriringan. Sesekali aku melirik wajah telurnya yang menyempurnakan penampilan polosnya dengan rambut sepundak yang tergerai. Ingin sekali aku membelainya, walaupun hanya sekali. Walaupun aku harus berperang dengan diriku sendiri. Walaupun nyatanya aku sudah melupakan janjiku pada Tuhan.
                Dosa manis ini bermula saat tiba-tiba aku pergi ke kapel. Tersirat di benakku, Tuhan yang merencanakan pertemuan ini. Ah, semesta. Betapa tidak adilnya dirimu.
                Aku menemukannya disana. Berlutut di depan patung Bunda Maria. Aku mendengar isak tangis di sela doanya. Itu yang membuatku ingin berlutut di sebelahnya. Dia tidak menyadari kehadiranku sampai ia membuka matanya.
                “Frater!” Ia tampak terkejut.
                “Tidak apa-apa, Nak. Apa yang mengganggu benakmu?” Aku bertanya.
                Kata demi kata pun meluncur dari mulutnya, sesekali diikuti dengan linangan air maa di pelupuk matanya. Meskipun aku tahu air mata itu nyaris tak terbendung, ia tetap menahannya.
                Kisahnya menyentuh hatiku, entah aku yang lembek atau cengeng tapi dia berhasil membuatku menangis.
                “Aku tidak bisa membayangkan jika ibu pergi, aku akan sendirian. Tidak akan ada yang memedulikanku..” Air mata itu berubah menjadi lelehan bukan lagi titik hujan.
                “Ingat, Nak, Tuhan selalu punya rencana.” Jawabku bijak.
                Ia mengangguk pasrah tapi aku bisa lihat matanya memancarkan beberapa persen ketidakpercayaan dan keraguan. “Semuanya akan baik-baik saja, Nak.” Aku menambahkan, berharap dia bisa mengurangi sinar suram itu di matanya. Tidak tahu mengapa, pancaran sinar suram itu juga membuatku sedih. Dan aku sadar, ada rasa aneh yang sulit dideskripsikan sejak hari itu.
                Sebulan setelah pertemuan kami di kapel itu, ibunya meninggal. Kankernya ternyata lebih akut dari dugaanku. Meskipun masih ada sunggingan senyum di wajahnya saat mengatakan “Tuhan selalu punya rencana” aku tahu dunianya hancur.
                Yang bisa aku lakukan hanyalah menitipkannya di asrama suster yang dekat dengan gereja. Agar imannya tidak goyah, agar ia selalu dekat dengan Rumah Tuhan dan agar kami....selalu dekat.
                Pertama, dengan munafiknya aku lari dari perasaan ini. Sampai-sampai aku menghindarinya, pergi dari kenyataan. Namun lalu aku sadar saat aku menghindarinya, aku juga lari menghindari Tuhan.
***
                Setelah Misa, Maria mengajakku ke Kapel, katanya dia ingin menceritakan sesuatu. Tidak tahu mengapa, hatiku berdebar tidak menentu. “Ada apa Maria?” Aku bertanya, memulai pembicaraan. Aku mengepalkan tanganku yang berkeringat karena gugup. Ini selalu terjadi jika aku bertemu dengan Maria.
                “Frater adalah satu-satunya orang yang aku percaya setelah Ibu.” Air mukanya berubah sedih. “Ada apa?” Aku bertanya lagi. “Aku... hamil, Frater.”
                Sekarang giliran nadiku yang seakan terpotong. Kosong. Duniaku seakan terbagi dua, hancur dan runtuh ke lubang tidak berujung. “Kamu...hamil...” kalimatku sekali lagi menggantung. Kalimat barusan bukan pertanyaan, bukan juga pernyataan.
                Maria mengangguk. Aku kalap. Aku mengguncang pundaknya dengan kasar, “Siapa Maria? SIAPA!?” Aku membentaknya.
                “ARRGH!” Teriakanku menimbulkan  gaung di dalam kapel. Maria tahu aku kecewa. Tapi dia tidak tahu betapa remuk hatiku. Betapa merasa bersalahnya aku karena tidak bisa menjaganya. “Kami melakukannya dengan cinta, Frater! Dia akan bertanggung jawab!” Maria membela diri. “Cinta katamu!? Laki-laki itu tidak mengerti apa itu cinta! Jika dia memang mencintaimu, dia akan menjagamu!” Aku semakin meradang. Aku merasakan keringat menetes dari pelipisku. Jantungku berdetak semakin cepat. Semuanya tiba-tiba kabur. Kepalaku pening.
                “Aku akan memintanya bertanggung jawab, Frater.” Maria berkata dingin. Lalu ia gadis itu pun berlalu. Dia meninggalkanku, meninggalkan duniaku.
                “Tuhanku...” Aku merebahkan diri di kursi. Sambil menggenggam erat kalung Salib di dadaku, aku menangis. Rasanya sakit. Tapi tidak ada luka.
                Setelah hari itu aku mengunci diriku di kamar. Tidak hadir di setiap Misa Pagi. Dua minggu berlalu, aku melihat diriku di cermin. Kusut, tidak teratur dan hancur. Apa ini yang namanya patah hati? Mengapa begini sakitnya. Ada sesuatu yang hilang disini. Di dadaku. Seperti ikut hancur bersama rasaku pada Maria. Ah.. gadis itu... Aku merindukannya.
                Suatu malam, aku membuka pintu kamarku lalu berjalan di sekitar asrama. Aku mendengar suara tapak kaki mendekat. Saat aku berbalik aku mendapati Pastor Imanuel tersenyum. Senyuman hangat yang ingin aku lihat. Senyuman itu, entah mengapa, membuatku hangat. Senyuman sederhana yang mengingatkanku untuk selalu menghargai hidup. Mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri. Tanpa diminta, aku menceritakan segalanya. Maria. Kupu-kupu. Dan perasaan aneh tapi nyata itu. Juga peristiwa yang membuat duniaku remuk.
                “Aku mencintainya, Pastor. Dan aku sudah menduakan Tuhan.” Pastor Imanuel tersenyum. “Dan sekarang akan ada pemuda tidak bertanggung jawab hidup bersamanya.” Pastor menepuk pundakku, menenangkanku. “Rupanya kamu sudah melupakan Tuhan, Nak.” Kata-kata Pastor menusuk jantungku.
                “Ya Pastor, aku melupakan Tuhan..” dengan berat hati, aku mengakui dosaku. “Tidakkah kamu ingat Tuhan mendengar semua keluh kesahmu.. Apakah imanmu sudah terkikis oleh nafsu? Datanglah pada-Nya, Nak. Dia tau jawabannya..” lalu Pastor Imanuel berlalu. Meninggalkan aku sendiri.
                Subuh, aku pergi ke kapel. Tempat penuh kenangan itu. Lalu aku berdoa. Meminta. Mengaku dosa. “Tuhan Yesus Maha Baik, aku mencintainya, tapi Engkau tahu aku berjanji pada-Mu. Tolong beri aku jawaban, Ya Tuhan..”
                Tiba-tiba pintu kapel terbuka, aku menemukan Maria dengan wajah kusam di baliknya. “Dia...pergi Frater. Dia meninggalkanku.” Lalu kudengar isak tangis.
                Perasaan di dadaku berkecamuk. Rasa rindu dan hangat yang entah dari mana masuk meresap disini, mengisi relung kosong berdebu yang diabaikan. Aku seperti hidup kembali. Separuh jiwaku kembali. Dia pulang.
                Ya Tuhan.. apakah ini jawaban-Mu?
                Biarkanlah aku menepati janjiku dengan menjaganya..
                Aku datang merengkuh Maria. Mengusap tangis di pipinya. Semua rasa itu semakin membuncah tidak dapat dibendung.
                “Aku yang akan bertanggung jawab, Maria.” Aku meyakinkan hati. Ya, aku yakin!
                “Frater...” Maria melihatku tidak percaya.
                “Jangan panggil aku Frater, Maria. Namaku Josef.”