Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Friday, November 28, 2014

1/7

Baca dulu: Ke-sekian.

***

Tok..Tok..

Saya mendengar pintu kamar kosan saya diketuk.  Saya berusaha untuk tidak salah tingkah, memperbaiki kemeja favorit saya. Saya tidak sengaja tersenyum. Sudah banyak malam minggu saya habiskan bersama Laras. Dia suka datang setiap hari Sabtu pagi membawakan sarapan atau Minggu siang dengan wajah kelaparan.

"Halo!" Sapa Laras semangat sambil memeluk saya erat. Mungkin terdengar dibuat-buat, tapi ada rasa hangat masuk ke dalam rongga dada saya, mengingatkan saya bahwa saya dicintai. Tapi tidak lama setelah itu, rasa hangat itu digantikan rasa ngilu familiar, mengingatkan saya bahwa yang saya lakukan, salah.

"Ada pempek, nih. Udah sarapan?"

Saya menggeleng sambil menerima bungkusan putih, dan meletakkannya di meja makan.

"Jakarta lagi hujan banget nih. Disini hujan nggak?"

Saya mengangguk sambil duduk di kursi meja belajar saya. "Kok kamu diem aja?"

"Hahaha, nggak apa-apa, Ras."

"Lagi berantem sama pacar?"

Saya menggeleng. Entah harus senang atau kesal ditanya seperti itu. Rasa kesal itu datang saat saya tahu dia hanya basa-basi, tidak benar-benar peduli. Tapi rasa senang itu muncul saat saya sadar bahwa dia cemburu. Dia ingin tahu. Gemas.

"Kamu mau makan pempek-nya sekarang?"

"Hehehe boleh, deh."

"Bentar aku ambilin, mangkok dulu ya. Dapurnya di luar kan?" Laras bergegas keluar menuju dapur. 10 menit kemudian dia kembali dengan mangkok dan sendok dan garpu. "Kok lama? Susah ya nyarinya?"

"Nggak, tadi ngobrol bentar sama temen kamu."

Entah kenapa naluri saya meminta saya untuk siaga. Saya bisa merasakan keringat dingin di pelipis saya. "Siapa?"

"Lupa nggak nanya nama. Cowok, rambutnya lumayan panjang, pake jersey bola warna putih."

"Hmm.. dia ngapain?"

"Ngajak ngobrol biasa. Dia tau kalo aku temen kamu." Jawab Laras sambil tersenyum. "Ngobrolin apa?" Saya gusar. Saya selalu tidak mengerti rasa yang satu ini. Saya gerah saat Gilang - teman kantornya - mengantarnya pulang. Saya tidak suka saat Gilang mengajak Laras ke Car Free Day di Jakarta. Saya kesal saat Laras bercerita tentang Gilang. Bukan cemburu, bukan. Hanya..gusar. Sekarang ditambah satu lagi pake ngajak ngobrol segala.

"Dia minta nomer hape aku, Put. Nggak apa-apa, kan?"

Nggak apa-apa gimana?! Ya kenapa-kenapa dong, Ras. 

"Hmm? Ya terserah kamu, lah Ras. Namanya Aldo. Baik, kok." Ada 7/8 rasa sesal saat saya menyebutkan namanya, ditambah embel-embel 'anaknya baik kok'. Can you get any more stupid?

Laras tertawa pelan. "Iya, orangnya keliatan baik. Tapi aku nggak pernah suka cowok rambut panjang, Put." Dia melihat saya lekat. Saya berusaha acuh mendengar komentarnya tentang Aldo, tapi Tuhan dan saya tahu bahwa yang saya rasakan adalah lega.

Tinggal satu lagi. Saya berkata dalam hati.

"Pempeknya enak nggak?" Saking enaknya tenggelam dalam benak saya, saya membiarkan pempeknya mendingin. "Enak, enak." Saya menjawab salah tingkah.

Laras menghempaskan badannya ke kasur saya, menarik selimut yang sudah saya lipat rapih, dan mendekatkan diri ke guling kesayangan saya. Saya hanya bisa berharap saya semujur guling itu.

"Tidur bentar, ya."

Saya menoleh ke arahnya 10 menit kemudian dan menemukannya sudah tidur pulas. "Saya sayang sama kamu, Ras. Saya nggak tahu kenapa bisa sebegini kacaunya kita, tapi kamu harus tau kalau saya sayang kamu." Saya berbisik pada diri saya sendiri.

Sebegini dekat jarak kami, semudah ini saya bisa menjaganya tetap dekat dengan saya, tapi saya tidak pernah bisa menyatakannya. Dan tanpa sadar saya mencium keningnya begitu saja. "Saya sayang kamu." Rasa bersalah itu muncul lagi. Tapi ego saya bilang saya menang. Karena untuk pertama kalinya, saya jujur pada diri saya sendiri.

Thursday, November 20, 2014

Ke-sekian

Baca dulu: Wahana

***
Bandung,1 September 2014

Saya selalu tahu rasanya jadi yang kesekian. Sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan, karena semua orang punya prioritasnya masing-masing. Tapi hari ini saya menerima gaji pertama saya, dan hal pertama yang terpikir di benak saya adalah untuk merayakannya bersama kamu. Di benak saya, ada kamu dan makanan favorit kita. Ada kamu dan film favorit kita. Ada gelak tawa kamu. Kamu yang nun jauh disana. Kamu yang - ironisnya - selalu punya 1001 alasan untuk bilang tidak. Yang biasanya hanya bilang, "Maaf, Ras.." untuk tumpukan pertanyaan saya. Bahkan untuk pertanyaan yang seharusnya dijawab iya atau tidak, kamu jawab dengan maaf. Sejujurnya, saya tidak pernah butuh permintaan maaf kamu.

***
31 Agustus, 2014

Jakarta hujan hari ini. Saya masih duduk anteng di kubikel saya, menunggu hujan berubah pikiran dan kembali di lain hari. Hanya saja hujan malah turun makin deras. Saya menghela nafas. "Belom pulang, Ras?" Tanya 'tetangga' kubikel saya. "Belom nih, hujan." Saya menjawab seadanya. "Lah, lo kan naik mobil, nggak ngaruh, Ras." Dia tergelak mendengar jawaban saya. "Kan macet, kakak!" Cetus saya tidak sabaran. Dia paling gerah saya panggil kakak. Umur kami selisih lebih dari 4 tahun dan panggilan kakak ia hindari selama bertahun-tahun. Saya tergelak melihat pria ini memicingkan mata kesal. "Makan yuk." Ajaknya sambil bersender di pintu kubikel saya. "Makan apa?" "Apa kek? Kalo nggak mau, ya nggak apa-apa."

"Dih, ngambek, dih. Ayo deh!"

"Lo yang milih." Katanya sambil merangkul pundak saya, sok akrab. Tiba-tiba, ponsel saya berdering. Putra.

Setengah bagian hati saya bersorak gembira, harapan melambung tinggi, dan kupu-kupu tiba-tiba berkumpul dalam perut, tapi setengah bagiannya mendingin, membuat rasa ngilu yang aneh tapi entah kenapa familiar. Saya menekan tombol hijau dan mulai bicara.

"Hai," sapa Putra di ujung telepon sana. Saya mendengar gemericik hujan. "Hujan ya di Bandung?"

Putra tergelak. Saya reflek tersenyum. "Kok tau?" Tanyanya. "Nebak aja, hehe."

"Udah makan?"

"Ini mau makan.."

"Makan apa?"

Saya diam sejenak, bertanya kepada pria di samping saya yang sibuk bermain dengan ponselnya. "Mau makan apa?" "Bakso, yuk. Pas kan lagi hujan?" Dia memberi ide. Saya mengangguk dan kami berjalan ke warung bakso dekat kantor. "Bakso, Put.."

Tidak ada balasan di ujung telepon sana. Putra tiba-tiba diam.

"Halo? Put?"

"Kamu sama siapa?" Tanya Putra. Nada suaranya berubah. Posesif. "Temen, Put.."

"Temen as if...pacar?" Tanyanya lagi. Posesif dikali dua.

Saya tergelak. "Emang kamu?"

Dia diam. Saya bisa mendengarnya menghela nafas. "Selamat makan, Laras.." Lalu dia menutup telepon duluan.

Gantian saya yang menghela nafas sambil meletakkan ponsel saya di atas meja. "Pacar, Ras?" Pria berkaca mata di depan saya bertanya. Dengan jarak sedekat ini, saya bisa melihat bola matanya yang berwarna cokelat tua. Kacamata persegi itu mengaburkan warna bola matanya berulang kali. Dan saya tidak pernah melihat mata seteduh itu. Bahkan lebih teduh dari mata milik Putra. Reflek, saya tersenyum. "You have beautiful eyes."

Dia mengernyit bingung. "Hah?"

Saya sadar keringat dingin mengalir di punggung saya. "Hahaha, nggak, itu, maksud gue, mata lo bagus. Gue baru nyadar, hahaha." Saya tertawa salah tingkah.

"Makanya, jangan hape mulu dipantengin. Gue kek, sekali-kali. Tiga minggu udah tetanggan ama gue, baru nyadar sekarang lo, mata gue bagus." Saya tertawa.

Setengah jam kami habiskan dalam diam. Kusyuk menyantap bakso campur favorit saya. "Lo kalo lagi makan nggak bawel, ya." Komentarnya tiba-tiba, saat saya asyik membelah dua bakso terakhir di mangkuk saya. "Hehehehe. Biar lebih fokus aja, Bang." Tidak hanya 'kakak', dia juga benci saya panggil 'Abang'. Dia memicingkan mata kesal. "Lo kapan deh mau berhenti manggil gue kakak, atau abang. Panggil nama aja, lah."

"Iyeee.." Jawab saya acuh.

Selesai makan, kami kembali ke dalam kantor, hujan mulai berhenti, "Lo nggak langsung pulang?"

Saya menggeleng. "Belum mau pulang.."

"Betah bener di kantor lo. Nungguin siapa sih?" Tanyanya ingin tahu.

"Nunggu ujan." Saya menjawab asal. Pria di sebelah saya diam saja. Mungkin lelah untuk bertanya. Mungkin di benaknya, saya ini orang aneh. Tapi saya tidak terlalu peduli. Putra kembali menyita perhatian saya.

"Jangan terlalu sama yang udah jauh. Nanti capek sendiri." Kata pria di samping saya. Raut mukanya serius. Saya tersenyum ditegur begitu. Lebih banyak benarnya dan kalau saya mau jujur. Tapi Putra tidak pernah jauh. Dia selalu di benak saya, di setengah bagian hati saya. Dia selalu ada dalam pertimbangan saya mengambil keputusan. Dia selalu ada dalam kata tidak yang saya ucapkan dengan tidak enak hati pada mereka yang mencoba mengisi setengah hati milik saya. Dia ada dalam bimbang saat ada ajakan pertemuan dalam pesan singkatnya.

"Gue pulang dulu, ya." Saya mendongak dari meja kubikel saya, melihat pria itu melongok ke dalam kubikel.

"Dah, Gilang.."

Pria itu tersenyum mendengar namanya dipanggil, memperlihatkan lesung pipitnya yang selama ini tersembunyi saking jarangnya ia tersenyum.

"Seneng lo?" Goda saya.

Dia tergelak sambil melambaikan tangan.

***

Saya secara tidak sadar mencari namanya di deretan nomor telepon favorit saya. Namanya disana. Bertengger tanpa rasa bersalah. Saya menekan tombol 'call', lalu nada dering yang mengganggu ini jadi jembatan harapan saya.

"Hmm.." Katanya ketus di ujung telepon sana.

"Aku mau ke Bandung."


Tuesday, November 18, 2014

More To Ditch

It's been a very hectic month, especially in two until three weeks before this. And i am actually glad that i am still breathing. I don't think i can talk about it, because i am trying to not to reveal every personal thing in my life on my blog, overall, it's okay. My life is quite shacking and not very stable, since i don't have enough time working out or even write a post anymore. And that doesn't feel good. So, yeah. I guess i just need to adapt faster than i should.

I already ditched my love life, hobbies, extracurricular activities/volunteering, and few hours of my sleep. 

me being not very happy :(