Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Sunday, July 13, 2014

Sebelum Hujan

Baca dulu, yang ini
***

Seminggu yang lalu, sebelum hujan dengan seenak hati mengguyur kota ini, saya berada di dekat SMA saya dulu, tidak jauh dari kantor walikota dan Stasiun Tugu. Saya baru saja selesai memesan satu porsi bakso malang favorit saya (yang tepatnya hanya berisi 5 bakso urat dan 1 tahu putih) lalu dia berjalan masuk memesan satu porsi bakso malang, yang tidak seperti saya, dia memesan lengkap dengan gorengan dan...ah saya tidak tahu namanya. Pangsit, mungkin? Tidak lupa ia mencium tangan bapak penjual bakso yang sudah jadi kebiasaannya 3 tahun di SMA, lalu melempar satu-dua canda sebelum membawa mangkok baksonya ke tempat duduk. 

"Eh, kamu. Apa kabar?" Tanyanya canggung, baru sadar kalau saya juga ada disana. "Baik.." Saya tersenyum sambil menjawab pertanyaan satu arah miliknya. "Kok sendirian aja, Ra?" Saya selalu suka logat jawa-nya. Lucu. "Emang lagi nggak janjian sama siapa-siapa, sih." Lalu satu jam berlalu, matahari mulai menutup diri digantikan awan kelabu, tapi kami masih disana dengan gelak tawa yang masih sama. Lalu, saya melihat dia melirik jam tangannya,

"Lagi buru-buru ya?" Saya bertanya. "Hehe..nggak sih, cuma tadi janji jemput bapak." Jawabnya kelihatan tidak enak hati. "Eh, nyantai aja kali. Ceritanya masih bisa dilanjutin lain kali." "Nggak apa-apa kamu kutinggal?" Tanyanya. Aslinya terdengar lebih protektif, sungguh. Saya tersenyum. "Hahaha..nyantai aja, Mas."

"Yaudah, duluan ya.. Assalamualaikum,"
"Walaikumsalam..." Saya melihatnya berlari ke arah parkiran motor di halaman sekolah. Saya menunduk sebentar lalu tiba-tiba dia sudah berada di depan saya dengan motor di parkir ala kadarnya. "Lupa minta nomer HP kamu, hehehe.."  "Oh, hahaha.. 0813-45-789-xx.." "Makasih ya, entar aku telepon.." "Sure.." Saya harap dia tidak sadar ada semu merah di pipi. 

***

"Kamu minggu ini pulang?" Dia bertanya saat kami bertemu lagi di warung bakso depan sekolah 4 hari kemudian. Itu bukan lagi ketidak-sengajaan. Saya mengangguk. "Nggak bisa lebih lama lagi?" Dia bertanya lagi, wajahnya dibuat sedih. 
"Nggak ngaruh, ah muka kamu dibuat-buat begitu, aku tetep pulang." 
"Yaudah, aku yang nyusul kamu kesana. Boleh nggak?" Saya tergelak. "Ya, nggak ada yang ngelarang." 

"Pacar kamu nggak marah?" Mas Gilang bertanya blak-blakan. Aku tersenyum miris menanggapi pertanyaannya. Tidak, saya tidak punya pacar di Jakarta. Yang barusan dia tanyakan di pertanyaan retoriknya adalah Dimas. Dimas bukan pacar saya, hanya tidak disalahkan juga jika orang menganggap kami punya hubungan khusus. Hanya dia yang selalu ada buat saya 1 tahun ini, sebelum saya memutuskan untuk bolos kuliah seminggu dan minggat ke Malang. Sebelum saya tidak sengaja bertemu Mas Gilang. Sebelum ini. 

"Dimas itu temen, Mas." Sudah saya coba jelaskan setiap kali ada sms dari Dimas atau beberapa telepon dari dia dalam sehari kalau kami hanya teman. "Kalau kamu emang nggak ada apa-apa sama Dimas, kok aku ditolak kemaren?" 

Aku tergelak mendengar pertanyaannya. "Kan udah aku jelasin kenapa. Aduh...Kok jadi ngomongin Dimas, sih."

"Nggak, kita lagi ngomongin kenapa kamu nggak bilang 'iya' kemaren." 

Ada hening panjang. "Ke mobil aja, yuk." Saya mengajaknya mengitari Monumen Tugu dengan mobil. Buang-buang bensin memang, tapi saya tidak terlalu peduli. 

"Aku udah bilang, aku balik kesini belom tentu sebulan sekali, Mas. Gimana caranya pacaran kayak gitu?" 

"Kan aku bisa kesana nengokin kamu. Kamu cuma cari alasan buat nolak aku, kan?" 

Really....?

"I just.. I am just not ready for relationship. That's all.

Mas Gilang menatap saya tidak percaya. "Kamu udah terlalu nyaman sama Dimas. Mungkin itu alasannya." Dimas lagi

"Yaudah, terserah. Aku mau pulang..." Saya berhenti di depan sekolah, membuka kunci mobil lalu ada hening panjang yang tidak saya harapkan.

***



No comments:

Post a Comment