Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Monday, October 8, 2012

Telak


Untuk si dungu yang (ternyata) mampu membuatku patah hati

Maaf untuk adanya mereka. Maaf untuk kehadiran Mariska, Risma, Andin, Anya, Gisel. Adik kelas, kakak kelas, anak sekolah sebelah, anak kuliahan, anak teman Mama, anak teman Tante dan masih banyak lagi, bahkan aku sendiri tidak sanggup menghitung.
Aku pikir mereka bisa menghilangkan kamu dari pikiranku. Aku pikir mereka dengan segala pengalamannya bisa membuatku  berhenti memikirkanmu. Aku pikir kamu akan berhenti. Berhenti menyakiti dirimu. Karena tidak mudah jika kita berdua bersama..
Kamu (ternyata) berhenti. Berhenti muncul di hari Rabu, dan sejak saat itu rokok yang aku hisap terasa hambar.
Kamu berhenti duduk di bangku paling depan saat aku bermain menjadi bintang lapangan. Dan sejak saat itu bintangku meredup karena aku tidak lagi ingin mencetak angka.
Lalu aku mendengar suara tawa renyahmu disana. Ya, disana dengan orang lain. Disana dengan orang yang tidak lebih baik dalam segala hal dibandingkan aku. Tidak tampan, tidak pintar, tidak berkharisma, dan tidak-tidak yang lainnya. Tapi dia membuatmu tertawa. Membuatmu tersipu. Dia yang minus. Bukan aku.
Bajunya lusuh. Tapi dia membuat matamu berbinar.
Rambutnya acak-acakan. Tapi dia mampu membuatmu tergelak.
Dia minus. Dia minus. Aku plus. Tapi aku kalah telak. Kalah telak dalam segala hal tentangmu. Dia seperti mengenalmu lebih dari aku mengenalmu.
Lalu aku melihat kamu dengan dia. Berboncengan di atas motor berkarat berwarna merah. Motor berkarat yang mengalahkan aku dan mobil necis kinclong milikku. Telak.
Tidak tahan dengan kekalahanku sendiri, aku putuskan mendekatimu, bagaimanapun nanti hasilnya setidaknya, aku mencoba.
Esok paginya, aku tiba-tiba duduk di sampingmu. Mencoba mencairkan suasana, aku memanggil namamu dengan benar. Arimbi.
“Catatan fisika ya?” kamu mengeluarkan catatan fisika tanpa banyak tanya.
Aku diam. Tidak beranjak dari sampingnya. “Pulpen?” kamu menyodorkan pulpen.
Aku menggeleng. “Kalau catatan yang lain aku nggak bawa.”
Beberapa menit saling diam, aku beranjak pergi. Entah, mungkin ini saatnya aku harus merelakan kamu.

Hei dungu, kamu berhak berhenti menunggu. Karena nyatanya aku tak mampu.


No comments:

Post a Comment