Untuk si dungu yang (ternyata) mampu membuatku
patah hati
Maaf untuk adanya mereka. Maaf untuk kehadiran
Mariska, Risma, Andin, Anya, Gisel. Adik kelas, kakak kelas, anak sekolah
sebelah, anak kuliahan, anak teman Mama, anak teman Tante dan masih banyak lagi,
bahkan aku sendiri tidak sanggup menghitung.
Aku pikir mereka bisa menghilangkan kamu dari
pikiranku. Aku pikir mereka dengan segala pengalamannya bisa membuatku berhenti memikirkanmu. Aku pikir kamu akan
berhenti. Berhenti menyakiti dirimu. Karena tidak mudah jika kita berdua
bersama..
Kamu (ternyata) berhenti. Berhenti muncul di
hari Rabu, dan sejak saat itu rokok yang aku hisap terasa hambar.
Kamu berhenti duduk di bangku paling depan
saat aku bermain menjadi bintang lapangan. Dan sejak saat itu bintangku meredup
karena aku tidak lagi ingin mencetak angka.
Lalu aku mendengar suara tawa renyahmu disana.
Ya, disana dengan orang lain. Disana dengan orang yang tidak lebih baik dalam
segala hal dibandingkan aku. Tidak tampan, tidak pintar, tidak berkharisma, dan
tidak-tidak yang lainnya. Tapi dia membuatmu tertawa. Membuatmu tersipu. Dia
yang minus. Bukan aku.
Bajunya lusuh. Tapi dia membuat matamu
berbinar.
Rambutnya acak-acakan. Tapi dia mampu
membuatmu tergelak.
Dia minus. Dia minus. Aku plus. Tapi aku kalah
telak. Kalah telak dalam segala hal tentangmu. Dia seperti mengenalmu lebih
dari aku mengenalmu.
Lalu aku melihat kamu dengan dia. Berboncengan
di atas motor berkarat berwarna merah. Motor berkarat yang mengalahkan aku dan
mobil necis kinclong milikku. Telak.
Tidak tahan dengan kekalahanku sendiri, aku
putuskan mendekatimu, bagaimanapun nanti hasilnya setidaknya, aku mencoba.
Esok paginya, aku tiba-tiba duduk di sampingmu.
Mencoba mencairkan suasana, aku memanggil namamu dengan benar. Arimbi.
“Catatan fisika ya?” kamu mengeluarkan catatan
fisika tanpa banyak tanya.
Aku diam. Tidak beranjak dari sampingnya.
“Pulpen?” kamu menyodorkan pulpen.
Aku menggeleng. “Kalau catatan yang lain aku
nggak bawa.”
Beberapa menit saling diam, aku beranjak pergi.
Entah, mungkin ini saatnya aku harus merelakan kamu.
Hei dungu, kamu berhak berhenti menunggu. Karena nyatanya aku tak mampu.
No comments:
Post a Comment