Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Thursday, June 26, 2014

Summin' Up

Hello everyone! Ramadhan month will start in two days and honestly i am not really ready for it, wish me luck. And today should be a hectic day, but it's not very hectic eventually. So our final project's been going well and we will start our production soon. And i am more than excited to tell you guys what is going on. Anyway, i kind of miss writing story (make sad story as i always do) but i don't really have time to start being sad and bleed (as Mr. Hemmingway said). These photos below should be enough to sum up what i really do when i am in the middle of the project making. 

This is me tired and want to have some fun on tumblr. Ignore me. 

the real sneak peek

exhausted selfie (1)

exhausted selfie (2)

exhausted selfie (3)

exhausted (yet try to make pretty face) selfie

Apparently your ex-boyfriend defeats your enemy.

This is me when i have no hair dye left. 

Monday, June 16, 2014

Friday, June 13, 2014

Satu Dari Dua

Untuk lebih dari setahun duduk diam disini bersamaku. Untuk pundak paling setia. Untuk lelah yang tidak pernah kamu tunjukkan pada cerita cinta pahitku. Untuk segala canda tanpa pikir panjang, untuk sindiran halus karena aku masih tidak ingin beranjak.

Untuk kata-kata manis yang kamu lontarkan hanya untuk membuat hariku lebih baik. Untuk kamu yang aku takut akan pergi. Untuk arah berbeda yang akan kamu pilih saat kita memutuskan untuk menjadi dewasa. Untuk waktu yang akan habis. Terima kasih.


Thursday, June 12, 2014

Satu-Satunya

Untuk pencuri serotonin-ku,

Ada gelak tawa renyah milikmu dalam ingatanku. Ada senyum tenang tapi menghanyutkan yang tidak bisa aku hilangkan dari pikiranku. Ada pipi merona malu saat dengan canggungnya kamu memberikan surat cinta yang isinya kebanyakan tentang aku yang bahkan aku sendiri tidak tahu.

Ada ekspresi cemburu yang coba kamu sembunyikan setiap kali teman lelakimu membuatku tertawa.

Ada gulungan air mata di pelupuk yang kamu tahan setiap kali melihatku menangis. Kadang aku ingin jadi alasanmu untuk menangis selain bawang merah.

Baju bau rokok yang gagal membuatku berpikir dua kali untuk memelukmu. Sweater abu-abu favoritmu yang sering aku pinjam hanya untuk mengingat rasa hangatnya.

Lebih dari 2 tahun dan rasanya masih sama. Rasanya masih sama saat kamu bilang kita selesai. Aku masih ingat karena hari itu cerah. Terik matahari di atas kita dan kamu bilang kita tidak akan kemana-mana. Angin sepoi dan genangan air mata di pelupuk mata mengaburkan pandanganku. Tapi aku ingat kamu bicara soal jenuh dan lelah. Aku ingat karena kamu meninggalkan sweater abu-abu milikmu saat kamu pergi. Aku ingat karena sebelum pergi ada kecupan di kening yang enggan kamu berikan tapi tetap kamu lakukan, hanya karena kamu tidak ingin melihatku menangis. Tapi kamu tetap pergi membawa serotonin milikku. Membawa segala alasanku untuk bahagia.


Hei, Kamu. Kamu apakan serotonin-ku?


Wednesday, June 11, 2014

When I Wasn't Busy Crying Into My Granola, I Had Cute Brunch

Hello everyone. I just got home from giving Rio his birthday gift (it's very late, i know, but yeah, i don't really have any excuse, tho) and he kinda liked it (i guess). i am not really sure either. And earlier today I and friends had a cute little brunch at Le Cafe Gourmand at Gunawarman. The cafe was genuinely nice and comfortable for doing homework or just simply having long talk with friends. It's not so private but the lighting above our seat was perfect. And for the food i recommended Chef's Salad. I am not recommending my own choice because it was not that good, but that's okay. By the way i ordered Croque Monsieur. Oh, they also have gelato. I was so thrilled. I love gelato. It makes me happy. Of course i ordered matcha flavour, but oreo and rum raisin also tasted good. And then we took pictures, as always. And then we went to our Enterprise class and we were late.

Anyway i am having a headache i don't know how. But i am sure it's because i ate too much sugar today. But it's all worth it.








Friday, June 6, 2014

June's


1. The Balletcats tee
2. Aesthetic Pleasure Simple Black Bag
3. Massicot's jewelries
4. Disrupted patterns from Detache
5. Amble Kara Black
6. Kaynn Leather Black Hand Bag
7. Daisy Pattern on my iPhone case
8. AdidasxFarm cute shorts
9. White sneakers

Wednesday, June 4, 2014

Rumah

1 tahun yang lalu sebelum Milan. Sebelum Rayna.

Hari itu adalah hari kasual milik kami berdua minggu ini. Kami selalu menyempatkan untuk pergi berdua setiap minggu. Tidak perlu di malam minggu karena kami bukan pacar untuk satu sama lain, hanya teman. Teman-teman saya selalu tertawa jika saya bilang Rana dan saya hanya teman. Mereka bilang itu tidak mungkin. Mereka bilang itu satu dari sejuta. Saya juga ikut tertawa tapi memang hanya satu dari kami yang menganggap status teman sudah cukup. Tapi bukan saya. Walaupun saya merasa pertemanan kami timpang, saya baik-baik saja. Karena saya tahu dia tidak pernah pergi. Dia selalu disini. Sampai hari itu. Sampai dia bilang akan melanjutkan kuliahnya di Milan. Setahu saya jarak Jakarta dan Milan tidak sedekat saya dengannya sekarang. Dipisah meja kayu tebal di kafe kesayangan kami, melihatnya bersemangat menceritakan tentang masa depannya tanpa saya. 

"Kok lo nggak semangat gitu sih?" Tanya Rana di sela-sela celoteh semangatnya.
"Ha? Yaiyalah, orang lo yang ke Milan, kok gue yang seneng.." Saya menahan rasa nyelekit yang tiba-tiba datang. 
"Galak banget sih. Tenang, gue gak nyampe setaun kok, habis itu langsung balik." Jawab Rana santai.
"Why do you even want to go back? Stay there, don't go back." Ego saya membuat jawaban itu terucap begitu saja. Satu detik setelah saya menjawabnya ketus, dia menarik diri, saya tidak melihat semangatnya lagi. 

"Why?"

Dan ini adalah jawaban terbaik saya. Berharap dia akan berpikir sebaliknya. "There's nothing here."

***
Bandara Soekarno-Hatta 13 Hari Kemudian

"Why are you leaving?" Ardi bertanya di depan gate keberangkatan di Terminal 2E sambil memandangku sedih. Mungkin lebih tepatnya kecewa, karena satu minggu terakhir aku disini malah aku habiskan berada di rumah dan tidak kemana-mana. Tidak bertemu dia sekalipun. Dia datang ke rumah, hanya aku tidak menemuinya. Kekanak-kanakan memang, tapi kamu hanya tidak tahu rasanya punya perasaan untuk sahabat sendiri. Aku teringat saat masa-masa terakhir SMA, Ardi mengenalkan aku pada teman-temannya dan mereka bilang kami lebih cocok jadi pacar untuk sama lain daripada 'hanya' teman. Yang aku lakukan hanya tertawa dan mengelak, karena aku yakin Ardi akan melakukan hal yang sama. Dan benar, dia hanya tertawa.

"You were right. There's nothing here." Akhirnya aku menjawab.
Ardi diam. Sepertinya dia tidak ada niat untuk menjawab pernyataanku barusan. Aku melihat jam tanganku. "I should go. Salam buat Rayna, ya." Aku memeluk Ardi lama. Karena mungkin ini yang terakhir. "Lo baik-baik, ya. Jangan lupa makan." Kataku masih di dalam pelukannya. Ardi tergelak sedikit. "Langgeng sama Rayna, ya." Kalimatku yang barusan adalah doa ala-ala setiap Ardi punya pacar. Sesungguhnya aku tidak berharap mereka langgeng.

Ardi mencium pipiku sebelum melepaskan pelukan. "Lo baik-baik ya disana. Semoga ketemu pacar orang Indo biar balik lagi kesini." Katanya sambil tertawa. "If i ever go back home, you will be the reason why." Jawabku lalu mencium keningnya (yang entah kenapa aku lakukan begitu saja tanpa pikir panjang).

Ardi kelihatan terkejut, tapi lalu dia tersenyum. "It's good to know." Katanya sambil menggamit tanganku mendekati gate keberangkatan.

Mungkin kalian tidak percaya yang aku katakan, hanya saja aku merasa aku baru pulang. Kamu, Ardi, yang akan selalu aku sebut rumah.  

Tuesday, June 3, 2014

A Strong Word

This made my day. Thanks to whoever sent me this via my ask.fm.  



Jarak

Untuk kamu yang takut pulang,
untuk kamu yang lelah beradaptasi.

"Gue cuma pulang 2 minggu aja, habis itu balik lagi." Kata Rana di suatu sore setelah jetlag-nya hilang. Dia baru 3 hari di Jakarta dan sudah bicara tentang pergi lagi. Kenapa?

"Oh. Kok cepet banget?" Saya bertanya hati-hati. Entah kenapa saya merasa Rana mencoba menghindari saya setelah kepulangannya 3 hari yang lalu. "Tugas akhir gue nggak kelar-kelar. Gue cuman pengen refreshing aja sebentar, terus balik." Katanya lagi, yang sekali lagi tanpa melihatku, tanpa senyum, tanpa ekspresi.

"Habis tugas akhirnya kelar, lo balik ke Indo kan?" Saya bertanya memastikan.
"Nggak tahu, kemaren gue udah apply jadi kontributor di Io Donna, but they don't reply to my email yet. Wish me luck ya." Jawabannya sederhana. Dia tidak kembali.
"Kalo gue nikah, lo nggak dateng dong?" Pertanyaan saya yang ini hanya dijawab dengan Rana menaikkan bahunya. Tidak kelihatan peduli.

"Lo kenapa sih?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut saya, tidak bisa ditahan. Rana mengerutkan dahinya, sambil bertanya balik, "Gue kenapa emang?" Pertanyaan yang membuat saya naik darah. "Lo kalo marah sama gue, ya ngomong aja kali." Saya menjawab ketus. Hanya dijawab dengan senyuman tipis oleh Rana.

"Masih jetlag gue.. Sorry ya.." Alasan itu lagi. "Lo marah gara-gara gue nggak bilang gue punya pacar?" Sekali lagi saya melontarkan pertanyaan yang sedari tadi menunggu untuk dilontarkan. Rana menatap saya. Ha. Akhirnya. "Lo kenapa mikir gitu?" Rana bertanya balik.

"Berapa taun sih kita temenan? This is not the first." Rana tergelak mendengar jawabanku. "Kok lo kepedean gitu jadinya? I thought you will wait for me." Rana kaget sendiri mendengar ucapannya barusan. Saya mengernyit bingung. "..I mean, maksud gue, ya lo nunggu gue punya pacar juga, tapi lo buru-buru mau nikah aja." Rana tergelak lagi.

I have been waiting you for too long, I guess.

"I love you, Di. I wish you a very happy life with her."

Saya tersenyum. Kamu tahu rasa hangat dari dada yang selalu datang ketika kita ada di dekat orang yang kita sayang. Kurang dari satu meter jarak saya dengan Rana, dan kurang dari 5 cm jarak tangan saya dari jemari mungilnya, tapi kami hanya sebatas itu. Sebatas sisa jarak itu dan tidak akan lebih dari itu. Sayangnya.


     

  

Monday, June 2, 2014

Pulang

Ini sudah pertengahan Januari tapi Milan masih bersuhu 11 derajat celcius, membuatku harus menutup rapat jaket merah marun kesayanganku. Atau mungkin karena hanya jaket ini yang bisa membuatku tetap hangat. Dibanding terik matahari musim panas yang akan datang beberapa bulan lagi, aku masih bisa beradaptasi dengan suhu 11 derajat celcius. Mungkin seharusnya aku tidak mengeluh tentang betapa panasnya matahari terik di musim panas atau betapa dinginnya saat musim dingin atau pertengahan musim semi karena aku masih saja disini. Karena aku tidak memutuskan untuk cepat pulang. Entah apa yang menahanku disini selain tugas akhirku yang belum kelar-kelar dari bulan Oktober lalu, tapi aku hanya belum ingin pulang dulu. Sebentar lagi, mungkin. 

Aku melihat ke arah luar jendela dari spot favoritku di coffee shop kesukaanku. Aku ingat beberapa tahun lalu saat aku masih berada di Jakarta memberi tahu rencanaku untuk melanjutkan kuliah di Eropa pada sahabatku. Aku juga bercerita tentang 'pulang cepat' dan mencari kerja di negara sendiri. Lalu dia bilang, "Why do you even want to go back? Stay there, don't go back." Aku tercenung. Dia tidak mau aku pulang. "Why?" Aku bertanya padanya. "There's nothing here."

Disini ada kamu. Kalau aku tidak kembali, kamu gimana?
"Okay." Jawabku akhirnya. Lalu 1 tahun kemudian, aku pindah ke Milan, melanjutkan studiku yang seharusnya bisa aku tempuh 9 bulan-an. Tapi aku sudah 1 tahun berada disini, dan masih belum ada rencana untuk kembali. 

***

"What are you running from?" Katanya dengan muka bingung. Hari ini adalah sesi curhat mingguanku dengan teman sekamar di Milan. "Excuse me?" Aku kaget ditanya begitu. "Yeah, you heard me. You said that you don't want to go back. But then, you seem to miss someone back in your home. You are running from something." Lari dari kenyataan, mungkin. "If you want to go home, just go home. Don't let people tell you another way.

"I love it here."
Lalu dia tergelak. "Why are you laughing?" Aku bertanya bingung sekaligus tersinggung. "Why are you lying then? You always complaint how mean winter and summer are. You don't like extreme weather, you always eat rice and you always said how much you miss your friend's home cook. You lose weight, for God's sake. Just go home. You really need that." Dia membuatku menghela nafas panjang. "Fine. I will go home next week." Kataku akhirnya. Entah kenapa aku mengatakannya, hanya saja ada beberapa bagian dari diriku ingin pulang, dan beberapa bagian lain ingin aku tetap disini. Seperti yang dia mau beberapa tahun lalu. 

Seminggu kemudian di Bandara Soekarno-Hatta, Mama dan Papa memeluk aku bergantian. Kata mereka aku tambah kurus. Ya mungkin teman sekamarku benar. Aku tidak betah disana. Mungkin aku hanya butuh pulang dan semua akan baik-baik saja. 

"Rana.." Dia berdiri disana, memakai sweater abu-abu panjang dan kerah kemeja warna putih mencuat dari dalam sweaternya. "Hai, Di. Apa kabar?" Dia menjawab pertanyaanku dengan sergapan pelukan. Aku seperti kurcaci di dalam pelukannya. Tapi tak apa. 

"Kamu pulang..." 

Iya, aku pulang.

"Ran, kenalin ini tunangan aku, Rayna. Aku nikah nunggu kamu pulang dulu, loh." Celotehnya semangat, sambil menggandeng tangan seorang perempuan yang entah muncul darimana. Secara harfiah, aku tidak tahu darimana datangnya dia. Aku tidak mengenalnya.  

Eh?

Rasa hangat sisa dari pelukan barusan tiba-tiba hilang entah kemana. Rayna - atau siapapun perempuan ini - tersenyum ingin menjabat tanganku. Tapi yang aku lakukan hanya melambaikan tangan canggung. "It seems I have been away for too long." Aku menatap Ardi. Dia masih Ardi yang dulu, yang entah kenapa selalu bisa membuatku tersenyum. "Yeah, I miss you Ran.

I miss you, more.

Mungkin seharusnya aku mengikuti saran Ardi beberapa tahun lalu untuk tidak pulang, karena memang tidak ada yang tersisa disini. Mungkin seharusnya aku tidak mendengarkan teman sekamarku. Dia salah. Aku lebih suka terik matahari dan salju tebal dibanding ini. Dibanding digantikan oleh perempuan entah siapa. Aku mau pulang karena ini bukan rumah. Ini tempat asing dan aku tidak mau beradaptasi lagi. Aku lelah menyesuaikan diri.