Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Wednesday, October 3, 2012

Frater Josef


Untuk kamu dan dengung suaramu yang menghantar aku tidur..


    
Lonceng gereja pagi ini sudah berdentang tiga kali. Aku memakai jubah cokelatku, tidak lupa merapikannya di depan cermin. Lalu dengan miris melihat diriku sendiri. “Aku ini bukan siapa-siapa.” Gumamku sambil berbalik melihat Salib terpasang di atas ranjang. Lalu aku melirik ranjang itu. Ranjang kapuk keras yang menjadi teman setiaku. Hanya ranjang di ruangan 3x4 ini yang tahu bahwa aku menduakan Tuhan. Tuhan Yesus yang sudah menyelamatkan adikku dari kecelakaan tragis tiga tahun lalu. Dan sejak adikku sadar dari koma, aku berjanji menyerahkan hidupku untuk-Nya.
                “Hei! Ayo!”  Mikael membuka pintu kamar dengan kasar saking tidak sabarnya. Aku buru-buru mengambil sepatu di bawah ranjang lalu memakainya.
                Gereja hanya berjarak 5 meter dari asrama dan kami sudah terbiasa bangun subuh bersiap untuk Misa Pagi. Jam tanganku menunjukkan pukul 05.50. Sepuluh menit lagi Misa dimulai dan aku belum melihatnya. Seseorang yang berhasil membuatku menduakan Tuhan. Seseorang yang berhasil menciptakan imajinasi di kepalaku yang mungkin normal dibayangkan kebanyakan laki-laki tapi bukan aku.
                “Frater...” Sapuan angin menyampaikan saraf pada otakku untuk mencari asal suara. Jantungku mencelos. Suaranya...
                Kalau aku tidak langsung teringat Tuhan Yesus aku akan langsung memeluknya dan bilang padanya bahwa aku merindukannya. Tapi nyatanya aku menatapnya dengan wajah datar cenderung dingin, ditambah lidah ini tidak kooperatif sama sekali.
                ‘Halo.” Sahutku menggantung.
                Namanya Maria. Nama yang indah, apalagi jika disandingkan dengan namaku...
                Aku tahu rasa ini. Rasa yang tumbuh lebih cepat dari jamur dan butuh 365 hari atau bahkan lebih untuk mengenyahkannya. Yang terpenting adalah hanya aku, ranjang, dan –sayangnya – Tuhan yang tahu.
                Aku berharap ada tempat selain permukaan bumi ini, agar aku bisa pergi bersamanya, membuncahkan perasaanku, memagut, bercinta seperti Adam dan Hawa. Seperti Layla dan Majnun. Seperti sepasang kekasih yang tidak akan dianggap menduakan Tuhan.
                Tapi semua kisah punya rintangannya sendiri dan ini adalah kisahku.
                “Frater, ayo masuk. Daritadi diajak ngomong kok diem aja.” Sahutnya sambil menyunggingkan senyum termanis sejagat raya. Berlebihan memang, tapi Maria memang yang terindah.
                Kami berjalan beriringan. Sesekali aku melirik wajah telurnya yang menyempurnakan penampilan polosnya dengan rambut sepundak yang tergerai. Ingin sekali aku membelainya, walaupun hanya sekali. Walaupun aku harus berperang dengan diriku sendiri. Walaupun nyatanya aku sudah melupakan janjiku pada Tuhan.
                Dosa manis ini bermula saat tiba-tiba aku pergi ke kapel. Tersirat di benakku, Tuhan yang merencanakan pertemuan ini. Ah, semesta. Betapa tidak adilnya dirimu.
                Aku menemukannya disana. Berlutut di depan patung Bunda Maria. Aku mendengar isak tangis di sela doanya. Itu yang membuatku ingin berlutut di sebelahnya. Dia tidak menyadari kehadiranku sampai ia membuka matanya.
                “Frater!” Ia tampak terkejut.
                “Tidak apa-apa, Nak. Apa yang mengganggu benakmu?” Aku bertanya.
                Kata demi kata pun meluncur dari mulutnya, sesekali diikuti dengan linangan air maa di pelupuk matanya. Meskipun aku tahu air mata itu nyaris tak terbendung, ia tetap menahannya.
                Kisahnya menyentuh hatiku, entah aku yang lembek atau cengeng tapi dia berhasil membuatku menangis.
                “Aku tidak bisa membayangkan jika ibu pergi, aku akan sendirian. Tidak akan ada yang memedulikanku..” Air mata itu berubah menjadi lelehan bukan lagi titik hujan.
                “Ingat, Nak, Tuhan selalu punya rencana.” Jawabku bijak.
                Ia mengangguk pasrah tapi aku bisa lihat matanya memancarkan beberapa persen ketidakpercayaan dan keraguan. “Semuanya akan baik-baik saja, Nak.” Aku menambahkan, berharap dia bisa mengurangi sinar suram itu di matanya. Tidak tahu mengapa, pancaran sinar suram itu juga membuatku sedih. Dan aku sadar, ada rasa aneh yang sulit dideskripsikan sejak hari itu.
                Sebulan setelah pertemuan kami di kapel itu, ibunya meninggal. Kankernya ternyata lebih akut dari dugaanku. Meskipun masih ada sunggingan senyum di wajahnya saat mengatakan “Tuhan selalu punya rencana” aku tahu dunianya hancur.
                Yang bisa aku lakukan hanyalah menitipkannya di asrama suster yang dekat dengan gereja. Agar imannya tidak goyah, agar ia selalu dekat dengan Rumah Tuhan dan agar kami....selalu dekat.
                Pertama, dengan munafiknya aku lari dari perasaan ini. Sampai-sampai aku menghindarinya, pergi dari kenyataan. Namun lalu aku sadar saat aku menghindarinya, aku juga lari menghindari Tuhan.
***
                Setelah Misa, Maria mengajakku ke Kapel, katanya dia ingin menceritakan sesuatu. Tidak tahu mengapa, hatiku berdebar tidak menentu. “Ada apa Maria?” Aku bertanya, memulai pembicaraan. Aku mengepalkan tanganku yang berkeringat karena gugup. Ini selalu terjadi jika aku bertemu dengan Maria.
                “Frater adalah satu-satunya orang yang aku percaya setelah Ibu.” Air mukanya berubah sedih. “Ada apa?” Aku bertanya lagi. “Aku... hamil, Frater.”
                Sekarang giliran nadiku yang seakan terpotong. Kosong. Duniaku seakan terbagi dua, hancur dan runtuh ke lubang tidak berujung. “Kamu...hamil...” kalimatku sekali lagi menggantung. Kalimat barusan bukan pertanyaan, bukan juga pernyataan.
                Maria mengangguk. Aku kalap. Aku mengguncang pundaknya dengan kasar, “Siapa Maria? SIAPA!?” Aku membentaknya.
                “ARRGH!” Teriakanku menimbulkan  gaung di dalam kapel. Maria tahu aku kecewa. Tapi dia tidak tahu betapa remuk hatiku. Betapa merasa bersalahnya aku karena tidak bisa menjaganya. “Kami melakukannya dengan cinta, Frater! Dia akan bertanggung jawab!” Maria membela diri. “Cinta katamu!? Laki-laki itu tidak mengerti apa itu cinta! Jika dia memang mencintaimu, dia akan menjagamu!” Aku semakin meradang. Aku merasakan keringat menetes dari pelipisku. Jantungku berdetak semakin cepat. Semuanya tiba-tiba kabur. Kepalaku pening.
                “Aku akan memintanya bertanggung jawab, Frater.” Maria berkata dingin. Lalu ia gadis itu pun berlalu. Dia meninggalkanku, meninggalkan duniaku.
                “Tuhanku...” Aku merebahkan diri di kursi. Sambil menggenggam erat kalung Salib di dadaku, aku menangis. Rasanya sakit. Tapi tidak ada luka.
                Setelah hari itu aku mengunci diriku di kamar. Tidak hadir di setiap Misa Pagi. Dua minggu berlalu, aku melihat diriku di cermin. Kusut, tidak teratur dan hancur. Apa ini yang namanya patah hati? Mengapa begini sakitnya. Ada sesuatu yang hilang disini. Di dadaku. Seperti ikut hancur bersama rasaku pada Maria. Ah.. gadis itu... Aku merindukannya.
                Suatu malam, aku membuka pintu kamarku lalu berjalan di sekitar asrama. Aku mendengar suara tapak kaki mendekat. Saat aku berbalik aku mendapati Pastor Imanuel tersenyum. Senyuman hangat yang ingin aku lihat. Senyuman itu, entah mengapa, membuatku hangat. Senyuman sederhana yang mengingatkanku untuk selalu menghargai hidup. Mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri. Tanpa diminta, aku menceritakan segalanya. Maria. Kupu-kupu. Dan perasaan aneh tapi nyata itu. Juga peristiwa yang membuat duniaku remuk.
                “Aku mencintainya, Pastor. Dan aku sudah menduakan Tuhan.” Pastor Imanuel tersenyum. “Dan sekarang akan ada pemuda tidak bertanggung jawab hidup bersamanya.” Pastor menepuk pundakku, menenangkanku. “Rupanya kamu sudah melupakan Tuhan, Nak.” Kata-kata Pastor menusuk jantungku.
                “Ya Pastor, aku melupakan Tuhan..” dengan berat hati, aku mengakui dosaku. “Tidakkah kamu ingat Tuhan mendengar semua keluh kesahmu.. Apakah imanmu sudah terkikis oleh nafsu? Datanglah pada-Nya, Nak. Dia tau jawabannya..” lalu Pastor Imanuel berlalu. Meninggalkan aku sendiri.
                Subuh, aku pergi ke kapel. Tempat penuh kenangan itu. Lalu aku berdoa. Meminta. Mengaku dosa. “Tuhan Yesus Maha Baik, aku mencintainya, tapi Engkau tahu aku berjanji pada-Mu. Tolong beri aku jawaban, Ya Tuhan..”
                Tiba-tiba pintu kapel terbuka, aku menemukan Maria dengan wajah kusam di baliknya. “Dia...pergi Frater. Dia meninggalkanku.” Lalu kudengar isak tangis.
                Perasaan di dadaku berkecamuk. Rasa rindu dan hangat yang entah dari mana masuk meresap disini, mengisi relung kosong berdebu yang diabaikan. Aku seperti hidup kembali. Separuh jiwaku kembali. Dia pulang.
                Ya Tuhan.. apakah ini jawaban-Mu?
                Biarkanlah aku menepati janjiku dengan menjaganya..
                Aku datang merengkuh Maria. Mengusap tangis di pipinya. Semua rasa itu semakin membuncah tidak dapat dibendung.
                “Aku yang akan bertanggung jawab, Maria.” Aku meyakinkan hati. Ya, aku yakin!
                “Frater...” Maria melihatku tidak percaya.
                “Jangan panggil aku Frater, Maria. Namaku Josef.”
               
               
               
                 

3 comments: