Untuk kamu dan dengung suaramu yang menghantar aku tidur..
Lonceng gereja pagi
ini sudah berdentang tiga kali. Aku memakai jubah cokelatku, tidak lupa
merapikannya di depan cermin. Lalu dengan miris melihat diriku sendiri. “Aku
ini bukan siapa-siapa.” Gumamku sambil berbalik melihat Salib terpasang di atas
ranjang. Lalu aku melirik ranjang itu. Ranjang kapuk keras yang menjadi teman
setiaku. Hanya ranjang di ruangan 3x4 ini yang tahu bahwa aku menduakan Tuhan.
Tuhan Yesus yang sudah menyelamatkan adikku dari kecelakaan tragis tiga tahun
lalu. Dan sejak adikku sadar dari koma, aku berjanji menyerahkan hidupku
untuk-Nya.
“Hei!
Ayo!” Mikael membuka pintu kamar dengan
kasar saking tidak sabarnya. Aku buru-buru mengambil sepatu di bawah ranjang
lalu memakainya.
Gereja
hanya berjarak 5 meter dari asrama dan kami sudah terbiasa bangun subuh bersiap
untuk Misa Pagi. Jam tanganku menunjukkan pukul 05.50. Sepuluh menit lagi Misa
dimulai dan aku belum melihatnya. Seseorang yang berhasil membuatku menduakan
Tuhan. Seseorang yang berhasil menciptakan imajinasi di kepalaku yang mungkin
normal dibayangkan kebanyakan laki-laki tapi bukan aku.
“Frater...”
Sapuan angin menyampaikan saraf pada otakku untuk mencari asal suara. Jantungku
mencelos. Suaranya...
Kalau
aku tidak langsung teringat Tuhan Yesus aku akan langsung memeluknya dan bilang
padanya bahwa aku merindukannya. Tapi nyatanya aku menatapnya dengan wajah
datar cenderung dingin, ditambah lidah ini tidak kooperatif sama sekali.
‘Halo.”
Sahutku menggantung.
Namanya
Maria. Nama yang indah, apalagi jika disandingkan dengan namaku...
Aku
tahu rasa ini. Rasa yang tumbuh lebih cepat dari jamur dan butuh 365 hari atau
bahkan lebih untuk mengenyahkannya. Yang terpenting adalah hanya aku, ranjang,
dan –sayangnya – Tuhan yang tahu.
Aku
berharap ada tempat selain permukaan bumi ini, agar aku bisa pergi bersamanya,
membuncahkan perasaanku, memagut, bercinta seperti Adam dan Hawa. Seperti Layla
dan Majnun. Seperti sepasang kekasih yang tidak akan dianggap menduakan Tuhan.
Tapi
semua kisah punya rintangannya sendiri dan ini adalah kisahku.
“Frater,
ayo masuk. Daritadi diajak ngomong kok diem aja.” Sahutnya sambil
menyunggingkan senyum termanis sejagat raya. Berlebihan memang, tapi Maria
memang yang terindah.
Kami
berjalan beriringan. Sesekali aku melirik wajah telurnya yang menyempurnakan
penampilan polosnya dengan rambut sepundak yang tergerai. Ingin sekali aku
membelainya, walaupun hanya sekali. Walaupun aku harus berperang dengan diriku
sendiri. Walaupun nyatanya aku sudah melupakan janjiku pada Tuhan.
Dosa
manis ini bermula saat tiba-tiba aku pergi ke kapel. Tersirat di benakku, Tuhan
yang merencanakan pertemuan ini. Ah, semesta. Betapa tidak adilnya dirimu.
Aku
menemukannya disana. Berlutut di depan patung Bunda Maria. Aku mendengar isak
tangis di sela doanya. Itu yang membuatku ingin berlutut di sebelahnya. Dia
tidak menyadari kehadiranku sampai ia membuka matanya.
“Frater!”
Ia tampak terkejut.
“Tidak
apa-apa, Nak. Apa yang mengganggu benakmu?” Aku bertanya.
Kata
demi kata pun meluncur dari mulutnya, sesekali diikuti dengan linangan air maa
di pelupuk matanya. Meskipun aku tahu air mata itu nyaris tak terbendung, ia
tetap menahannya.
Kisahnya
menyentuh hatiku, entah aku yang lembek atau cengeng tapi dia berhasil
membuatku menangis.
“Aku
tidak bisa membayangkan jika ibu pergi, aku akan sendirian. Tidak akan ada yang
memedulikanku..” Air mata itu berubah menjadi lelehan bukan lagi titik hujan.
“Ingat,
Nak, Tuhan selalu punya rencana.” Jawabku bijak.
Ia
mengangguk pasrah tapi aku bisa lihat matanya memancarkan beberapa persen
ketidakpercayaan dan keraguan. “Semuanya akan baik-baik saja, Nak.” Aku
menambahkan, berharap dia bisa mengurangi sinar suram itu di matanya. Tidak
tahu mengapa, pancaran sinar suram itu juga membuatku sedih. Dan aku sadar, ada
rasa aneh yang sulit dideskripsikan sejak hari itu.
Sebulan
setelah pertemuan kami di kapel itu, ibunya meninggal. Kankernya ternyata lebih
akut dari dugaanku. Meskipun masih ada sunggingan senyum di wajahnya saat
mengatakan “Tuhan selalu punya rencana” aku tahu dunianya hancur.
Yang
bisa aku lakukan hanyalah menitipkannya di asrama suster yang dekat dengan
gereja. Agar imannya tidak goyah, agar ia selalu dekat dengan Rumah Tuhan dan
agar kami....selalu dekat.
Pertama,
dengan munafiknya aku lari dari perasaan ini. Sampai-sampai aku menghindarinya,
pergi dari kenyataan. Namun lalu aku sadar saat aku menghindarinya, aku juga
lari menghindari Tuhan.
***
Setelah Misa, Maria mengajakku
ke Kapel, katanya dia ingin menceritakan sesuatu. Tidak tahu mengapa, hatiku
berdebar tidak menentu. “Ada apa Maria?” Aku bertanya, memulai pembicaraan. Aku
mengepalkan tanganku yang berkeringat karena gugup. Ini selalu terjadi jika aku
bertemu dengan Maria.
“Frater adalah satu-satunya
orang yang aku percaya setelah Ibu.” Air mukanya berubah sedih. “Ada apa?” Aku
bertanya lagi. “Aku... hamil, Frater.”
Sekarang giliran nadiku yang
seakan terpotong. Kosong. Duniaku seakan terbagi dua, hancur dan runtuh ke
lubang tidak berujung. “Kamu...hamil...” kalimatku sekali lagi menggantung.
Kalimat barusan bukan pertanyaan, bukan juga pernyataan.
Maria mengangguk. Aku kalap. Aku
mengguncang pundaknya dengan kasar, “Siapa Maria? SIAPA!?” Aku membentaknya.
“ARRGH!” Teriakanku
menimbulkan gaung di dalam kapel. Maria
tahu aku kecewa. Tapi dia tidak tahu betapa remuk hatiku. Betapa merasa
bersalahnya aku karena tidak bisa menjaganya. “Kami melakukannya dengan cinta,
Frater! Dia akan bertanggung jawab!” Maria membela diri. “Cinta katamu!?
Laki-laki itu tidak mengerti apa itu cinta! Jika dia memang mencintaimu, dia
akan menjagamu!” Aku semakin meradang. Aku merasakan keringat menetes dari
pelipisku. Jantungku berdetak semakin cepat. Semuanya tiba-tiba kabur. Kepalaku
pening.
“Aku akan memintanya bertanggung
jawab, Frater.” Maria berkata dingin. Lalu ia gadis itu pun berlalu. Dia
meninggalkanku, meninggalkan duniaku.
“Tuhanku...” Aku merebahkan diri
di kursi. Sambil menggenggam erat kalung Salib di dadaku, aku menangis. Rasanya
sakit. Tapi tidak ada luka.
Setelah hari itu aku mengunci
diriku di kamar. Tidak hadir di setiap Misa Pagi. Dua minggu berlalu, aku
melihat diriku di cermin. Kusut, tidak teratur dan hancur. Apa ini yang namanya
patah hati? Mengapa begini sakitnya. Ada sesuatu yang hilang disini. Di dadaku.
Seperti ikut hancur bersama rasaku pada Maria. Ah.. gadis itu... Aku
merindukannya.
Suatu malam, aku membuka pintu
kamarku lalu berjalan di sekitar asrama. Aku mendengar suara tapak kaki
mendekat. Saat aku berbalik aku mendapati Pastor Imanuel tersenyum. Senyuman
hangat yang ingin aku lihat. Senyuman itu, entah mengapa, membuatku hangat.
Senyuman sederhana yang mengingatkanku untuk selalu menghargai hidup.
Mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri. Tanpa diminta, aku menceritakan
segalanya. Maria. Kupu-kupu. Dan perasaan aneh tapi nyata itu. Juga peristiwa
yang membuat duniaku remuk.
“Aku mencintainya, Pastor. Dan
aku sudah menduakan Tuhan.” Pastor Imanuel tersenyum. “Dan sekarang akan ada
pemuda tidak bertanggung jawab hidup bersamanya.” Pastor menepuk pundakku,
menenangkanku. “Rupanya kamu sudah melupakan Tuhan, Nak.” Kata-kata Pastor
menusuk jantungku.
“Ya Pastor, aku melupakan
Tuhan..” dengan berat hati, aku mengakui dosaku. “Tidakkah kamu ingat Tuhan
mendengar semua keluh kesahmu.. Apakah imanmu sudah terkikis oleh nafsu?
Datanglah pada-Nya, Nak. Dia tau jawabannya..” lalu Pastor Imanuel berlalu.
Meninggalkan aku sendiri.
Subuh, aku pergi ke kapel.
Tempat penuh kenangan itu. Lalu aku berdoa. Meminta. Mengaku dosa. “Tuhan Yesus
Maha Baik, aku mencintainya, tapi Engkau tahu aku berjanji pada-Mu. Tolong beri
aku jawaban, Ya Tuhan..”
Tiba-tiba pintu kapel terbuka,
aku menemukan Maria dengan wajah kusam di baliknya. “Dia...pergi Frater. Dia
meninggalkanku.” Lalu kudengar isak tangis.
Perasaan di dadaku berkecamuk.
Rasa rindu dan hangat yang entah dari mana masuk meresap disini, mengisi relung
kosong berdebu yang diabaikan. Aku seperti hidup kembali. Separuh jiwaku
kembali. Dia pulang.
Ya Tuhan.. apakah ini jawaban-Mu?
Biarkanlah
aku menepati janjiku dengan menjaganya..
Aku datang merengkuh Maria. Mengusap tangis di pipinya. Semua rasa itu
semakin membuncah tidak dapat dibendung.
“Aku yang akan bertanggung
jawab, Maria.” Aku meyakinkan hati. Ya,
aku yakin!
“Frater...” Maria melihatku tidak percaya.
“Jangan panggil aku Frater,
Maria. Namaku Josef.”
Nggik... keren. Aaaak rasanya jleb baaaanget :')
ReplyDeleteAihh makasih diovinn!! <3
DeleteIts real? Amazing bgt...
ReplyDelete