Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Sunday, July 27, 2014

Setahun Sekali

Rasanya baru kemarin saya mematikan alarm saya untuk sahur di hari pertama puasa. Katanya, yang pertama selalu yang terberat, ternyata itu juga berlaku di bulan Ramadhan. Alarm yang sengaja saya buat 'beranak' karena saya sulit bangun. Bangun pagi aja susah, apalagi bangun sebelum Subuh. Seperti kebanyakan orang, saya juga mudik ke kampung halaman, naik pesawat pertama di H-4 lebaran dan sadar Bandara Soekarno-Hatta bukan yang dulu lagi; yang lengang, dingin, dan.....tidak seperti pasar. Menyempatkan diri untuk bertemu teman-teman lama esok harinya membuat saya ingin kembali ke masa SMA. Bukan, bukan untuk sekolah atau mengulang 3 tahun di kelas, tetapi lebih seperti jalan setelah pulang sekolah, atau jam istirahat yang harusnya saya syukuri sebelum terlambat, mungkin juga seseorang yang hanya bisa saya kirimkan sms 'Minal Aidzin Wal Faizin' setahun sekali. Kalau lebaran ada setiap bulan, mungkin saya akan lebih mudah mencari topik pembicaraan, tapi nyatanya saya hanya punya nyali saat Malam Takbir tiba. Dan untuk menekan tombol send saya sadari lebih sulit daripada yang saya bayangkan.

Ada 50% senang karena akhirnya bisa 'merasa dekat' lagi, karena pasti akan dibalas walaupun hanya 'Iya sama-sama :)'. Juga rasa deg-degan yang entah kenapa selalu mampir walaupun saya sudah melakukannya berkali-kali. Saya juga heran, dia datang dari mana. 50%-nya lagi adalah sedih yang sayangnya tidak bisa saya deskripsikan, hanya ada rasa melilit di perut dan dingin merambat dari punggung. Ada juga rasa kecewa duluan karena kami tidak bisa seperti dulu, sesak karena ternyata hanya saya yang masih mau menyapa. Marah karena ada kata-kata yang ingin saya ucapkan tapi berhenti di jemari saya, enggan untuk membuatnya mengerti. Ada lagi rindu yang tiba-tiba muncul karena setelah ini, saya harus menunggu sampai tahun depan.

Saya menghela nafas panjang. Apa besok aja ya? Tanya saya pada diri sendiri. Sebelum saya selesai menimbang-nimbang, jempol nakal saya sudah menekan tombol send. Saya berteriak dalam hati. Hasilnya saya mengeluarkan bunyi pekikan aneh yang tertahan. Saya refleks melempar ponsel saya ke kasur, menarik selimut dan mengutuk diri saya, terutama jempol saya. Kalau bukan jempol, kamu udah aku potong! Saya menggerutu dalam hati.

Saya sudah berusaha untuk tidak menunggu, tapi nyatanya saya meraih ponsel saya dan tidak menemukan satu pun balasan. "Kratak tak tak..." Saya bicara pada diri saya sendiri.

Cting!

Satu pesan masuk dari inisial nama favorit saya. Saya tersenyum. Halo, kamu.

Iya, mohon maaf lahir batin ya. Kamu apa kabar?
       

Catching Up Session

Hello everyone, i just got back from having dinner (breakfasting, actually) with my high school basic best friends, we had sushi and i am glad that we had a nice long catching up session because i didn't meet them for...year. It's always good to spend time talking about everything, everyone, or random things. We didn't take any photo because we were busy....eating. Anyway, there is one tea house just opened in Malang not so long ago, and i have been craving to go there. So we decided to have some tea time there and the tea house was super cute. I considered it a big tea house because most of local cafes in Malang are not that big. It designed commonly vintage with many properties like popcorn maker and cotton-candy maker (if i was not mistaken) but i don't really think it suits the concept, tho. But still, it's cute. There are two main colors, baby pink and turquoise and floral patterns were everywhere, even in the bathroom. I personally thought it has the same concept as Nanny's Pavillon. Because i am still sick i couldn't order ice cream so i went with Hot Avocado Tea (it really tasted like avocado *o*) and Oreo Cheesecake in Jar. Don't worry about the price, it's very very affordable. I just can't imagine how they can sell it so cheap, man. Three of us only spent less than IDR 100,000 for three drinks and two cakes. It was 9 p.m so we decided to go home (but it's not close yet) we set a plan to meet another time. I think that's a wrap. Oh, and i currently love this brand from Australia, they have cute shoes omg i love the pattern. So adorable. It definitely can get in to my forever wish-list. Hehehehe.




the shoes i was talking about, cute yes?

Friday, July 25, 2014

Holiday In Disguise

Hello! It's me again, hehe. So i am already in Malang for a very short holiday (not actually holiday, tho) but i will call it that way. Since the project we're been working on is going well, i want to say that i was really thrilled by the peoples' reaction towards our brand, and it was such a dream came true. Not only me, we were all thrilled and i apologise before because we couldn't directly send the catalog due to the delay of pricing decision, but we will get back to you soon. And you guys can check our instagram account and you can drop your e-mail to get our catalog. Oh, and Malang isn't that cold, 28 degree celcius ain't that cold, yes? I know it will get worse so yah. Oh, i almost forget, i am sick, literally sick. I just don't know how but i am pretty sure because i ate too many fried food this last two days. And don't forget about Nasi Padang the day before yesterday. I am so done with this flu. Oh and my friend sent her dinner which is popcorn fried rice (??) (i still wonder where that idea comes from), it's not very common but she said it tasted good. Will try it another time. I guess i don't know what to write and i have to get back to my merchandising plan, so, that's all.

Love.    

Monday, July 14, 2014

Setelah Hujan

Baca dulu, sebelum hujan

"Dira, kamu mau nggak jadi pacarku?"

let's give it a shot

"Aku nggak tau...mau jawab apa."

"Yaudah, terserah. Aku mau pulang..."

***

17.00, 18 derajat selsius, Stasiun Tugu

Saya sangat berharap ada servis valet atau semacamnya disini, karena mungkin bukan hanya saya yang susah-susah bangun dari tempat tidur untuk bilang 'iya' pada pria ini. Sungguh. Mungkin karena dia lebih dari sekedar itu. Mungkin. Dan saya bisa-bisanya bertaruh kalau dia tidak sama dengan yang lain. 

Kamu bela-belain kesini untuk orang yang baru kamu kenal seminggu? Come on.

Pemikiran saya barusan berhasil membuat saya berhenti berlari menuju ruang tunggu stasiun. Saya tertawa dalam hati. 

Gue mikir apaan barusan? Hahahaha..

Saya berbalik arah, menuju mobil saya yang saya parkir di ujung jalan, lumayan jauh ngomong-ngomong sambil tertawa dalam hati. Saya berpikir untuk mengirim sms, mengucapkan selamat tinggal, maaf, dan bla bla yang lain. Lalu saya mengeluarkan ponsel saya untuk mulai mengetik isi pesannya.

Yakin mau melewatkan yang satu ini?

"Scew this." Saya berlari menuju ruang tunggu sambil menelpon mas Gilang. Saya mencoba mendongak mencari pria itu tapi dia memang sulit ditemukan. Secara harfiah. Karena dia tidak jangkung, tidak keliatan berbeda, dan terlalu biasa, tapi tetap bisa membuat saya jatuh cinta. 

Saya kembali tertawa dalam hati. Sebenarnya apa yang saya lakukan disini? Mungkin kalau di'iya'kan, kami tak akan kemana-mana. Mungkin tidak akan sampai setahun. Mungkin kata bosan akan jadi senjata pamungkasnya 10 bulan kemudian. Mungkin hanya teriakan dan celaan yang akan ada setelah 6 bulan pertama. Mungkin toleransi dan komunikasi hanya ampuh saat kami rajin bertemu, saat tidak ada tugas menghimpit, saat tidak ada rapat organisasi tiba-tiba, saat kami memang berusaha untuk bertemu. Bagaimana jika dia berhenti? Bagaimana jika bukan ini akhirnya? Bagaimana jika, bagaimana jika....

"Dira... Kamu ngapain disini?" 

AH, suara itu. Saya berbalik dan menemukan pria itu disana. Pria yang berhasil meratakan 'dinding kasat mata' milik saya. "Hai." Saya tersenyum canggung. "Kamu...mau balik sekarang ke Jakarta?" Mas Gilang bertanya sambil mendekat ke arah saya. "Emm...nggak. Aku berangkat besok, Mas." Dia mengangguk-angguk mengerti. "Terus...?" Dia sepertinya menunggu penjelasan saya. "Mas jam berapa keretanya?" Saya bertanya hati-hati. "Kamu kesini..mau nyegat aku naik kereta atau gimana?" Dia gagal menahan tawanya, tapi berhasil meperlihatkan gigi-gigi lucunya. Giliran saya yang harus menahan tawa. 

"Aku harus naik kereta sekarang.." Mas Gilang melambaikan tiketnya kepada saya.

Rasanya seperti dicubit, tapi rasa memarnya langsung terasa. Sakit. 

"Oh, iya. Ati-ati ya, Mas." Aku tersenyum canggung, lagi. "Kamu mau oleh-oleh apa?" Mas Gilang bertanya sambil menggamit tangan saya. Ada rasa hangat tak biasa yang berhasil membuat pipi saya bersemu merah. 

"Nggak usah oleh-oleh, kamu balik kesini aja aku udah seneng." 

Saya setengah tidak percaya saya mengatakannya barusan. Tapi saya melihat dia tergelak sambil menutupi wajahnya, malu. Mungkin ini perlawanan yang saya maksud.

"Hahahahaha, kamu tuh."

"Just..come back for me. I'll be right here." Saya mengatakannya, akhirnya. Mungkin terdengar lebih memohon daripada yang seharusnya. Tapi dia tersenyum, mengerti. 

"Kamu nggak perlu nunggu disini, kamu di Jakarta pun, aku bakal tetep kesana." Jawabnya. Kelihatan lebih serius jika kalian melihatnya sendiri.

***

Sore menjelang malam di Malang, hujan reda dan petrichor naik ke udara, keretanya sudah berangkat, dan saya sudah menyetir pulang, mendengarkan lagu yang entah sejak kapan menjadi lagu favorit saya. 

Sayang kamu :)

Sent.

Don't keep the problem inside
Just tell me and we'll try to fix it up
we gonna going through this together
I'll be there for you anytime you want
Ten 2 Five - I Do

Sunday, July 13, 2014

Sebelum Hujan

Baca dulu, yang ini
***

Seminggu yang lalu, sebelum hujan dengan seenak hati mengguyur kota ini, saya berada di dekat SMA saya dulu, tidak jauh dari kantor walikota dan Stasiun Tugu. Saya baru saja selesai memesan satu porsi bakso malang favorit saya (yang tepatnya hanya berisi 5 bakso urat dan 1 tahu putih) lalu dia berjalan masuk memesan satu porsi bakso malang, yang tidak seperti saya, dia memesan lengkap dengan gorengan dan...ah saya tidak tahu namanya. Pangsit, mungkin? Tidak lupa ia mencium tangan bapak penjual bakso yang sudah jadi kebiasaannya 3 tahun di SMA, lalu melempar satu-dua canda sebelum membawa mangkok baksonya ke tempat duduk. 

"Eh, kamu. Apa kabar?" Tanyanya canggung, baru sadar kalau saya juga ada disana. "Baik.." Saya tersenyum sambil menjawab pertanyaan satu arah miliknya. "Kok sendirian aja, Ra?" Saya selalu suka logat jawa-nya. Lucu. "Emang lagi nggak janjian sama siapa-siapa, sih." Lalu satu jam berlalu, matahari mulai menutup diri digantikan awan kelabu, tapi kami masih disana dengan gelak tawa yang masih sama. Lalu, saya melihat dia melirik jam tangannya,

"Lagi buru-buru ya?" Saya bertanya. "Hehe..nggak sih, cuma tadi janji jemput bapak." Jawabnya kelihatan tidak enak hati. "Eh, nyantai aja kali. Ceritanya masih bisa dilanjutin lain kali." "Nggak apa-apa kamu kutinggal?" Tanyanya. Aslinya terdengar lebih protektif, sungguh. Saya tersenyum. "Hahaha..nyantai aja, Mas."

"Yaudah, duluan ya.. Assalamualaikum,"
"Walaikumsalam..." Saya melihatnya berlari ke arah parkiran motor di halaman sekolah. Saya menunduk sebentar lalu tiba-tiba dia sudah berada di depan saya dengan motor di parkir ala kadarnya. "Lupa minta nomer HP kamu, hehehe.."  "Oh, hahaha.. 0813-45-789-xx.." "Makasih ya, entar aku telepon.." "Sure.." Saya harap dia tidak sadar ada semu merah di pipi. 

***

"Kamu minggu ini pulang?" Dia bertanya saat kami bertemu lagi di warung bakso depan sekolah 4 hari kemudian. Itu bukan lagi ketidak-sengajaan. Saya mengangguk. "Nggak bisa lebih lama lagi?" Dia bertanya lagi, wajahnya dibuat sedih. 
"Nggak ngaruh, ah muka kamu dibuat-buat begitu, aku tetep pulang." 
"Yaudah, aku yang nyusul kamu kesana. Boleh nggak?" Saya tergelak. "Ya, nggak ada yang ngelarang." 

"Pacar kamu nggak marah?" Mas Gilang bertanya blak-blakan. Aku tersenyum miris menanggapi pertanyaannya. Tidak, saya tidak punya pacar di Jakarta. Yang barusan dia tanyakan di pertanyaan retoriknya adalah Dimas. Dimas bukan pacar saya, hanya tidak disalahkan juga jika orang menganggap kami punya hubungan khusus. Hanya dia yang selalu ada buat saya 1 tahun ini, sebelum saya memutuskan untuk bolos kuliah seminggu dan minggat ke Malang. Sebelum saya tidak sengaja bertemu Mas Gilang. Sebelum ini. 

"Dimas itu temen, Mas." Sudah saya coba jelaskan setiap kali ada sms dari Dimas atau beberapa telepon dari dia dalam sehari kalau kami hanya teman. "Kalau kamu emang nggak ada apa-apa sama Dimas, kok aku ditolak kemaren?" 

Aku tergelak mendengar pertanyaannya. "Kan udah aku jelasin kenapa. Aduh...Kok jadi ngomongin Dimas, sih."

"Nggak, kita lagi ngomongin kenapa kamu nggak bilang 'iya' kemaren." 

Ada hening panjang. "Ke mobil aja, yuk." Saya mengajaknya mengitari Monumen Tugu dengan mobil. Buang-buang bensin memang, tapi saya tidak terlalu peduli. 

"Aku udah bilang, aku balik kesini belom tentu sebulan sekali, Mas. Gimana caranya pacaran kayak gitu?" 

"Kan aku bisa kesana nengokin kamu. Kamu cuma cari alasan buat nolak aku, kan?" 

Really....?

"I just.. I am just not ready for relationship. That's all.

Mas Gilang menatap saya tidak percaya. "Kamu udah terlalu nyaman sama Dimas. Mungkin itu alasannya." Dimas lagi

"Yaudah, terserah. Aku mau pulang..." Saya berhenti di depan sekolah, membuka kunci mobil lalu ada hening panjang yang tidak saya harapkan.

***



Saturday, July 12, 2014

Yang Ini

Hanya sore yang biasa di Malang, hujan mengguyurnya tanpa ampun, suhu turun drastis menjadi 18 derajat selsius, membuat saya ingin menyaut cardigan biru tua di jok belakang mobil. Saya harus menurunkan kecepatan sebelum mobil ini tergelincir, sepertinya. Tapi Malang memang pengecualian. Hujan disini bisa semalaman, bisa dua hari kalau dia mau. Mungkin akan lebih baik jika saya tetap berada di bawah selimut tidak lupa dengan kaos kaki tebal favorit yang selalu saya bawa setiap kali saya punya rencana untuk ke kota ini. Tapi sore ini berbeda. Well, memang tidak terlihat seperti sore yang ideal dengan matahari nyaris ditarik gravitasi tapi ya ini masih sore.

Jam kulit di pergelangan tangan kiri milik saya menunjukan pukul 16.55 dan saya harus sampai di Stasiun Tugu. Oh, bukan. Saya tidak sedang mengejar kereta untuk pulang ke ibukota, hanya saja saya tidak ingin melewatkan yang satu ini. Tidak kali ini.


***

"Dira, kamu mau nggak jadi pacarku?" Saya menatapnya, 1/3 dari diri saya bilang "let's give it a shot", 1/3 yang lain bilang "it's wasting your time", dan 1/3 sisanya bilang "Yakin kamu mau melewatkan yang ini?"

Nggak ada yang bener.

"Aku nggak tau...mau jawab apa." Sebelum saya bisa jelaskan maksud saya barusan, dia sudah keluar, berjalan ke arah sepeda motornya, dan tidak pernah melihat ke belakang, tidak ada salam atau lambai tangan.

***

Saya tahu dia akan kembali ke Jogja sore ini naik kereta (entah apa nama keretanya). dan saya tidak mau melewatkannya begitu saja tanpa perlawanan. Tidak yang ini. Tidak sekarang.  

Friday, July 11, 2014

A Sudden Turn

Today was a nice day and started in Tanah Abang (I have to admit that Tanah Abang's been our place to hang out lol just kidding), we bought some fabrics for our project and after that we had plan to go to Pasar Mayestik, but since it's too early and we wanted to - you know - have a snack time, we decided to go to Trafique Coffee which is a huge cozy coffee house placed near in Senayan City. Designed simple and homey with white brick walls and yellow cute door with unorthodox door panel. And inside it did look like a house. Not literally a house with bedroom but living room with many chairs and tables to surround the barista's spot (you know, an area to prepare our order) and there are also paintings most of them try to embrace the love of the owner for Indonesian's heritage. And we sat next to the window where we could small outdoor area that used to plant green plants everywhere (i can't say it's a garden but it looked like one, but it's not). So green and relaxing, i must say. Since i never fancy coffee and have no plan to fancy in any time soon, i ordered Ice Green Tea which tasted like green tea. It tasted nice. And my friend recommended Nutella and Banana Bread (it's a strong name, don't you think?), and i took her suggestion to try one, and i don't regret it. It's delicious and it only costs me less than IDR 30.000. We had a great time there and since it's a big house you guys don't need to worry about choosing your best spot to work or to chat. Anyway, it's the coziest coffee house i have ever been so i won't hesitate to come back for more Nutella and Banana Breads. But if you expect they serve main course, just don't put your expectation too high. Just don't. Oh, they also have their own website! And i forgot to say that they played my favorite songs from Tulus. Happy!