Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Monday, July 14, 2014

Setelah Hujan

Baca dulu, sebelum hujan

"Dira, kamu mau nggak jadi pacarku?"

let's give it a shot

"Aku nggak tau...mau jawab apa."

"Yaudah, terserah. Aku mau pulang..."

***

17.00, 18 derajat selsius, Stasiun Tugu

Saya sangat berharap ada servis valet atau semacamnya disini, karena mungkin bukan hanya saya yang susah-susah bangun dari tempat tidur untuk bilang 'iya' pada pria ini. Sungguh. Mungkin karena dia lebih dari sekedar itu. Mungkin. Dan saya bisa-bisanya bertaruh kalau dia tidak sama dengan yang lain. 

Kamu bela-belain kesini untuk orang yang baru kamu kenal seminggu? Come on.

Pemikiran saya barusan berhasil membuat saya berhenti berlari menuju ruang tunggu stasiun. Saya tertawa dalam hati. 

Gue mikir apaan barusan? Hahahaha..

Saya berbalik arah, menuju mobil saya yang saya parkir di ujung jalan, lumayan jauh ngomong-ngomong sambil tertawa dalam hati. Saya berpikir untuk mengirim sms, mengucapkan selamat tinggal, maaf, dan bla bla yang lain. Lalu saya mengeluarkan ponsel saya untuk mulai mengetik isi pesannya.

Yakin mau melewatkan yang satu ini?

"Scew this." Saya berlari menuju ruang tunggu sambil menelpon mas Gilang. Saya mencoba mendongak mencari pria itu tapi dia memang sulit ditemukan. Secara harfiah. Karena dia tidak jangkung, tidak keliatan berbeda, dan terlalu biasa, tapi tetap bisa membuat saya jatuh cinta. 

Saya kembali tertawa dalam hati. Sebenarnya apa yang saya lakukan disini? Mungkin kalau di'iya'kan, kami tak akan kemana-mana. Mungkin tidak akan sampai setahun. Mungkin kata bosan akan jadi senjata pamungkasnya 10 bulan kemudian. Mungkin hanya teriakan dan celaan yang akan ada setelah 6 bulan pertama. Mungkin toleransi dan komunikasi hanya ampuh saat kami rajin bertemu, saat tidak ada tugas menghimpit, saat tidak ada rapat organisasi tiba-tiba, saat kami memang berusaha untuk bertemu. Bagaimana jika dia berhenti? Bagaimana jika bukan ini akhirnya? Bagaimana jika, bagaimana jika....

"Dira... Kamu ngapain disini?" 

AH, suara itu. Saya berbalik dan menemukan pria itu disana. Pria yang berhasil meratakan 'dinding kasat mata' milik saya. "Hai." Saya tersenyum canggung. "Kamu...mau balik sekarang ke Jakarta?" Mas Gilang bertanya sambil mendekat ke arah saya. "Emm...nggak. Aku berangkat besok, Mas." Dia mengangguk-angguk mengerti. "Terus...?" Dia sepertinya menunggu penjelasan saya. "Mas jam berapa keretanya?" Saya bertanya hati-hati. "Kamu kesini..mau nyegat aku naik kereta atau gimana?" Dia gagal menahan tawanya, tapi berhasil meperlihatkan gigi-gigi lucunya. Giliran saya yang harus menahan tawa. 

"Aku harus naik kereta sekarang.." Mas Gilang melambaikan tiketnya kepada saya.

Rasanya seperti dicubit, tapi rasa memarnya langsung terasa. Sakit. 

"Oh, iya. Ati-ati ya, Mas." Aku tersenyum canggung, lagi. "Kamu mau oleh-oleh apa?" Mas Gilang bertanya sambil menggamit tangan saya. Ada rasa hangat tak biasa yang berhasil membuat pipi saya bersemu merah. 

"Nggak usah oleh-oleh, kamu balik kesini aja aku udah seneng." 

Saya setengah tidak percaya saya mengatakannya barusan. Tapi saya melihat dia tergelak sambil menutupi wajahnya, malu. Mungkin ini perlawanan yang saya maksud.

"Hahahahaha, kamu tuh."

"Just..come back for me. I'll be right here." Saya mengatakannya, akhirnya. Mungkin terdengar lebih memohon daripada yang seharusnya. Tapi dia tersenyum, mengerti. 

"Kamu nggak perlu nunggu disini, kamu di Jakarta pun, aku bakal tetep kesana." Jawabnya. Kelihatan lebih serius jika kalian melihatnya sendiri.

***

Sore menjelang malam di Malang, hujan reda dan petrichor naik ke udara, keretanya sudah berangkat, dan saya sudah menyetir pulang, mendengarkan lagu yang entah sejak kapan menjadi lagu favorit saya. 

Sayang kamu :)

Sent.

Don't keep the problem inside
Just tell me and we'll try to fix it up
we gonna going through this together
I'll be there for you anytime you want
Ten 2 Five - I Do

No comments:

Post a Comment