Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Wednesday, January 7, 2015

Kado

Baca dulu: Prioritas (1)

Januari 2015

"Pagi, Ras.." Saya reflek tersenyum mendengar suara berat itu pagi ini. Sayangnya saat saya menoleh, ada satu buket bunga aster menutupi wajahnya. "Ini buat kamu.." Katanya sambil mencium pipi saya buru-buru, karena kantor tempat kami bekerja tidak mentolerir PDA sama sekali. "Makasih ya.."

"Nanti ada meeting nggak, kamu?" Gilang bertanya lagi. Dan dari jarak sedekat ini, saya bisa menikmati binar matanya lebih lama dan alis tebal tapi berantakan miliknya yang membuat saya iri. 

"Ada sih entar jam 16.30. Kenapa?" 

"Kamu balik lagi ke kantor?" Gilang bertanya lagi.

Saya mengernyitkan dahi bingung. "Maunya sih.....langsung pulang. Ada apa?" 

"Yaudah, kalo gitu aku tunggu di kosan aja ya." Dia tersenyum. Lalu berjalan ke kubikelnya sambil meninggalkan aroma parfum familiar yang akhir-akhir ini jadi aroma favorit saya. Saya melirik buket bunga yang dibawa Gilang setiap hari sebulan terakhir. 

Kata 'jadian' mungkin lebih cocok diperuntukkan bocah SMA ketimbang kami yang sudah menginjak kepala dua. Tapi dia tetap menyebutnya begitu. Kali ini tanpa perlu update status di Facebook, karena kami berdua memutuskan untuk menon-aktifkan akun kami jauh sebelum kami berdua menjadi 'tetangga' di kantor. Tanpa perlu heboh tag sana sini di Path atau ribet menulis inisial satu sama lain di media sosial kami. Dan ternyata lebih nyaman seperti ini. Berada di dalam gelembung kami tanpa harus terusik oleh pertanyaan standar orang-orang. 

Buket bunga itu saya letakkan di lemari samping meja. Menunggu jam pulang kantor, lalu saya bisa membawanya pulang bersama saya. 


"Kamu suka bunga gitu nggak, sih?" Tanya Gilang satu hari setelah kami jadian. "I always love daisies. So pretty."

"Typical..." Sindirian halus miliknya herannya tidak pernah membuat saya tersinggung. Sama sekali. Mungkin karena saya orang skeptikal dan jarang peduli apa kata orang. 

"Tapi aku belum pernah dikasi bunga sama cowok, hehe.." Entah maksud saya menyatakannya sebagai kode atau bukan, tapi itu jujur. 

"Hah?" Saya tergelak melihat wajah kagetnya. "Aku lebih suka beli sendiri.." 

"Kenapa?" 

"Aku bisa milih bunga yang mana yang aku suka, dan nggak ngerepotin orang." 

"But you love daisies..." Pernyataannya menggantung. 

"Yep, I love daisies."

Lalu keesokan harinya sampai hari ini, ada satu buket bunga sederhana berisi sepuluh bunga aster untuk saya setiap pagi. 

Le Cafe Gourmand, 18.00

Saya menutup laptop saya setelah membiarkan mati perlahan kehabisan baterai, lalu merapikan kertas-kertas pasca meeting melelahkan. Mungkin tempatnya nyaman dan bikin betah, tapi agenda meeting sama sekali tidak menenangkan. Sebelum pulang saya menyempatkan diri memesan gelato rasa matcha di atas cone berwarna merah. 

Tiba-tiba seseorang menepuk pundak saya dan saya menemukan Putra dengan raut muka tak biasa berdiri di belakang saya. "Halo, Ras."

Saya merasakan keringat dingin mengucur dari punggung saya. Seberapa pun kerasnya saya berusaha berjalan maju, Putra selalu ada di depan saya, membuat saya lupa sakitnya ditinggalkan dan tidak diprioritaskan. Heran merasakan hangat merambati hati saya seperti ini. Wangi maskulinnya juga tidak pernah mempermudah saya untuk langsung pergi. "Kamu apa kabar?" Tanyanya sambil menyentuh lengan saya. 

Saya tersenyum. "Baik, Putra.. Aku pamit pulang ya. Udah ditungguin soalnya." 

"Aku kesini buat ketemu kamu, Ras. Bisa stay sebentar, nggak?" 

"Kamu tau darimana aku disini?"

"Aku tanya orang kantor, katanya kamu lagi meeting disini. Aku langsung buru-buru kesini. Untung ketemu." Ada lega di wajahnya saat menjawab pertanyaan saya. 

"Mau ngomongin apa? Nggak bisa lewat telepon aja?" Saya menawar sambil melirik jam tangan saya. Takut Gilang lama menunggu. 

"Kamu udah nggak pernah mampir sekarang."

"Sibuk, Put." Jelas saya tidak mau menyebut 'ada pacar' sebagai alasan. Saya tidak mau Gilang diikut-ikut-kan ke dalam drama yang tidak ada ujungnya ini. 

"Kapan-kapan mampir, Ras. Aku kangen."

Saya menghela nafas panjang. Merasa lelah menerka-nerka maksud Putra. Lelah karena tidak pernah ada hitam atau putih, hanya ada abu-abu. 

"Aku harus pulang, Put." Saat saya beranjak, dia reflek menggenggam tangan saya, menahan saya pergi. 

"Ras.." Saya melihat dari arah pintu masuk Gilang berjalan ke arah kami dengan keadaan basah kuyup membawa satu buket bunga yang tidak sengaja saya tinggalkan di kantor. Saya konstan melepas genggaman tangan Putra dan berjalan ke arah Gilang. "Kamu kok hujan-hujanan..?"

"Pas tadi mau pulang aku lihat ini ketinggalan, terus pas mau berangkat hujan, hujannya kelamaan, yaudah aku terobos aja. Ternyata kamu masih disini." Banyak kata di kalimat Gilang dan saya berusaha mengerti. Tapi saya memang bukan penyandang multitask yang baik. Saya hanya mengerti dia kehujanan. "Entar pulang sama aku ya. Terus mandi dulu. Biar nggak sakit."

Dia tergelak. "I am fine. Besok aku bawain dua buketnya, Yang ini rusak." Dan dengan keadaan dirinya basah kuyup begini, dia pikir saya masih peduli dengan buketnya.  

"Halo, saya Gilang.." Gilang berinisiatif memperkenalkan diri pada Putra. Dibalas lambaian dingin oleh Putra. 

"Ras, ini kado ulang taun kamu. Selamat ulang taun, ya. Maaf kemarin nggak sempat ngucapin." Kotak kecil berwarna hitam disodorkan kepada saya. "Terima kasih, Put." 

Dan kepergian Putra menyisakan raut wajah Gilang penuh pertanyaan. "Mantan kamu ya?"

"Maaf ya.."

Gilang tersenyum. "Nggak apa-apa ketemu mantan, asal nggak balikan aja." Jawabnya penuh canda. "Kan bukan bocah lagi, Ras. Masa ketemu mantan aja nggak boleh? Aku percaya kamu, kok." Lalu dengan hangatnya Gilang mengecup kening saya. Ah, kamu.

Tapi seakan kecupan itu kurang menenangkan, sekali lagi saya bisa merasakan keringat dingin saya mengucur dari balik kemeja. Juga rasa bersalah. Ternyata masih ada Putra dalam pikiran. 


No comments:

Post a Comment