Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Monday, December 8, 2014

Prioritas (1)

Baca dulu: 1/7

***

Malam minggu kali ini lebih berasa seperti malam jumat minus kedatangan tamu mahluk halus. Sepi layaknya kuburan. Saya tidak bisa ke Bandung hari ini. Bukan, bukan karena ada kerjaan. Hanya saja sekarang gilirannya Kirana. Saya tersenyum miris mengingat kemarin sore Putra melarang saya untuk membeli tiket kereta ke Bandung. Banyak basa-basinya sebelum akhirnya dia bilang, "Besok Kirana ngajak ke rumahnya, Ras." Katanya hati-hati sekali, takut saya akan pecah berkeping-keping.  

Tapi seperti yang saya bilang, semua orang punya prioritasnya masing-masing, dan kebetulan saya tidak pernah berdiri di urutan pertama dalam daftar panjang prioritas Putra. Kebetulan saja, Kirana dan keluarganya berbarengan duduk disana, merasa tenang dan berbahagia karena mereka akan selalu dipilih oleh Putra dalam situasi apapun. Lalu kuliah. Lalu teman-temannya. Lalu saya. Yang kesekian. Untuk menghibur diri saya sendiri, saya akan menambahkan hobi setelah saya, yang sebenarnya hanya main game di komputer atau nonton film. 

Itu bukan bagian terburuknya, teman-teman. Karena duduk diam di kamar kos menonton acara reality show berisi satu keluarga besar dengan keseharian mereka yang tidak pernah saya pedulikan dengan satu cangkir teh panas terasa memperburuk kenyataan bahwa saya jadi yang kesekian di dalam kasta prioritas Putra.

Tiba-tiba ponsel saya berdering. Saya melirik layar ponsel saya malas. Nama Gilang muncul di layar dengan wajahnya yang entah sejak kapan ada disana. "Hoi." Saya menjawab malas. "Makan yuk." Jawab Gilang di ujung telepon sana. Makan........?

"Udah jam berapa woy, ini?" Saya bertanya balik, enggan menjawab ajakannya. Gilang malah tergelak. Kalau dipikir-pikir hanya dia yang mengacuhkan sifat moody saya. "Makan seafood enak nih, Ras." Timpal Gilang ringan. Seakan dia tahu saya akan langsung mengiyakan ajakannya. Seafood is not a bad idea, actually.

"Seafood mana?"

"Sabang aja, yang buka sampe malem."

"Yaudah, ketemu disana ya.." Sebelum saya menekan tombol merah untuk mengakhiri percakapan, Gilang menjawab, "Gue jemput aja." Klik. Dia menutup teleponnya duluan.

Dua jam kemudian, kepala-kepala udang tanpa otak menumpuk di depan kami, ditemani kepiting-kepiting tanpa daging dan empat gelas es teh manis.

Saya melirik jam yang menunjukkan waktunya pulang. Sudah larut. "Pulang yuk." Saya mengajak Gilang pamit kepada sisa-sisa makan malam kami. "Bentar lah. Baru juga jam 12." Tolak Gilang terang-terangan.

Saya enggan protes. "Buru-buru banget sih, ada siapa di kosan?" Tanya Gilang sambil menatap saya. Sekarang saya bisa melihat kaos band Monkey Magic dibalik jaket berbahan nilon yang selalu dia pakai kemana-mana. Reflek, saya tersenyum. "Suka lagunya yang mana?" Saya bertanya, mengacuhkan pertanyaannya barusan. "Hah?" Dia mungkin bingung kenapa tiap pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan oleh saya.

"Suka lagunya Monkey Magic yang mana?" Saya memperjelas pertanyaan saya.

"Oh, hahaha. Kaos ini maksudnya. Ini kado. Tapi gue suka semuanya, sih. Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Cuman nanya."

"Lo kok buru-buru, ada siapa di kosan? Pacar kesini?"

Saya kaget dan geli ditanya begitu. "Hahahahaha.. ndak punya pacar, Gilang."

"Hoooo.." Bukan respon yang saya harapkan sebenarnya, tapi siapa peduli.

"Boleh daftar dong kalo gitu?"

Eh...?

No comments:

Post a Comment