Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Tuesday, August 25, 2015

Skenario

Skenarionya, kami berada di kafe kecil tanpa banyak orang, sepulang dari kantor atau sepulang kuliah atau… waktu tidak pernah menjadi masalah besar buat skenario saya. Kami akan memilih tempat duduk jauh dari pintu masuk dan dari pramusajinya karena yang ada di bayangan saya, rindu akan menyerap semua sunyi dan dunia ini akan terasa milik berdua. Salah satu dari kami akan datang lebih cepat. Gugup menunggu satu sama lain. Itu biasanya saya.
Percakapan kami akan dimulai dengan, “Hai, udah nunggu lama ya?” Katanya sambil duduk menghadap saya. Saya menggeleng sambil sibuk menyembunyikan rasa lega saya karena kemunculannya. Lalu percakapan kami pun akan berlanjut seputar bagaimana kemacetan Jakarta membuat dirinya datang tidak tepat waktu, lalu pekerjaannya di kantor, lalu bagaimana kecelakaan kecil yang dialaminya minggu lalu meninggalkan bekas luka di sekitar lengannya. Saya akan terus melihatnya bercerita walaupun kenyataannya akan sulit dilakukan tanpa terus berusaha untuk mengalihkan perhatian saya pada caranya melipat lengan bajunya, memperlihatkan jenjang lengannya.
Lalu dia akan bertanya bagaimana hari saya saat makanan pesanan kami datang, dan setelahnya saya tahu dia tidak benar-benar ingin bertanya. Tapi itu tidak menghentikan saya dari mengaguminya dari jarak sebegini dekat. Caranya dia tertawa, atau membenarkan letak kacamatanya, bahkan caranya melipat tangan di atas meja.
Dua atau tiga jam tidak pernah cukup, setidaknya di skenario saya. Mulai dari film yang sedang ia tunggu-tunggu, atau makanan favorit barunya, atau doppelganger yang tidak sengaja saya temukan saat menekan tombol explore di Instagram. Sebanyak apa pun topik pembicaraan kami, tidak akan pernah cukup untuk meluapkan kangen saya pada orang ini. Tapi dia tidak akan pernah tahu karena saya tidak pernah gagal menyembunyikannya. Bukannya saya tidak percaya emansipasi wanita, bahwa tidak akan pernah jadi soal untuk menyatakan perasaan saya duluan, tapi saya tidak pernah siap dengan responnya. Bagaimana pun cara dia mengatakannya, bertele-tele dengan kata ‘maaf’ atau lugas tanpa ‘babibu’, jawabannya tidak.

Tidak lupa sedikit petunjuk dia sedang tidak sendiri. Tidak pernah lugas, tapi tidak buram. Cukup untuk membuat saya menjaga jarak. Saya akan berlagak tidak peduli lalu dengan ringannya melempar canda.
Setelahnya saya akan bercerita tentang kepindahan saya sambil sibuk mencari kehilangan yang seandainya ada, akan saya temukan di matanya, di caranya menatap saya setelah cerita saya.
Untuk beberapa saat, kami akan melihat jam tangan masing-masing, memutuskan untuk lekas pulang. Saya pamit duluan, sambil berkata, “Hati-hati di jalan ya. Semoga betah di kantor baru.” Tidak lupa sambil menjaga jarak, tanpa gestur perhatian yang dulu biasa saya berikan. Dia akan tersenyum sambil menjawab, “Iya, kamu juga.”
Tapi tidak satu pun dari kami akan beranjak pergi. Karena untuk saya, hanya butuh beberapa jam untuk kembali jatuh hati. Sempat terbesit di pikiran saya bahwa saya tidak pernah berhenti mencintai tapi saya lebih suka menyalahkan lembeknya hati kalau perkara pria satu ini.
Dengan satu helaan nafas, saya beranjak pergi. Dia mengikuti saya keluar dari kafe. “Pulang naik apa kamu?” Tanyanya berbaik hati. “Mobil aku parkir di sana.”
“Yaudah ayo, aku anter ke mobil kamu.”
Saya tergelak. “Nggak usah, ah. Kamu naik apa pulang?”
“Gampanglah kalo aku. Kamu malem-malem gini dicariin orang rumah entar.” Katanya acuh sambil berjalan ke arah mobil saya. Sesampainya di depan mobil saya, saya akan menawarkan mengantarnya pulang, yang akan ditolaknya baik-baik. Saya harap saya tidak melukai egonya, karena kebanyakan pria punya hubungan khusus dengan ego mereka, dan mereka akan marah jika egonya diganggu.
“Aku pamit, ya.” Saya memutuskan untuk menjabat tangannya. 

“Kamu baik-baik ya.” Katanya sambil menjabat tangan saya erat sebelum akhirnya berjalan balik menjauh dari saya.
___

Hai. Jadi ketemu hari ini?
Pesan saya kirimkan. Tidak lama kemudian, dia merespon. 

hai, sorry, aku nggak bisa, next week aja gimana?

Dan pertemuan barusan harus menunggu sampai minggu depan untuk jadi kenyataan.