Skenarionya,
kami berada di kafe kecil tanpa banyak orang, sepulang dari kantor atau
sepulang kuliah atau… waktu tidak pernah menjadi masalah besar buat skenario
saya. Kami akan memilih tempat duduk jauh dari pintu masuk dan dari
pramusajinya karena yang ada di bayangan saya, rindu akan menyerap semua sunyi
dan dunia ini akan terasa milik berdua. Salah satu dari kami akan datang lebih
cepat. Gugup menunggu satu sama lain. Itu biasanya saya.
Percakapan
kami akan dimulai dengan, “Hai, udah nunggu lama ya?” Katanya sambil duduk
menghadap saya. Saya menggeleng sambil sibuk menyembunyikan rasa lega saya
karena kemunculannya. Lalu percakapan kami pun akan berlanjut seputar bagaimana
kemacetan Jakarta membuat dirinya datang tidak tepat waktu, lalu pekerjaannya
di kantor, lalu bagaimana kecelakaan kecil yang dialaminya minggu lalu
meninggalkan bekas luka di sekitar lengannya. Saya akan terus melihatnya
bercerita walaupun kenyataannya akan sulit dilakukan tanpa terus berusaha untuk
mengalihkan perhatian saya pada caranya melipat lengan bajunya, memperlihatkan
jenjang lengannya.
Lalu
dia akan bertanya bagaimana hari saya saat makanan pesanan kami datang, dan
setelahnya saya tahu dia tidak benar-benar ingin bertanya. Tapi itu tidak menghentikan
saya dari mengaguminya dari jarak sebegini dekat. Caranya dia tertawa, atau
membenarkan letak kacamatanya, bahkan caranya melipat tangan di atas meja.
Dua
atau tiga jam tidak pernah cukup, setidaknya di skenario saya. Mulai dari film
yang sedang ia tunggu-tunggu, atau makanan favorit barunya, atau doppelganger
yang tidak sengaja saya temukan saat menekan tombol explore di Instagram.
Sebanyak apa pun topik pembicaraan kami, tidak akan pernah cukup untuk
meluapkan kangen saya pada orang ini. Tapi dia tidak akan pernah tahu karena
saya tidak pernah gagal menyembunyikannya. Bukannya saya tidak percaya
emansipasi wanita, bahwa tidak akan pernah jadi soal untuk menyatakan perasaan
saya duluan, tapi saya tidak pernah siap dengan responnya. Bagaimana pun cara
dia mengatakannya, bertele-tele dengan kata ‘maaf’ atau lugas tanpa ‘babibu’,
jawabannya tidak.
Tidak
lupa sedikit petunjuk dia sedang tidak sendiri. Tidak pernah lugas, tapi tidak
buram. Cukup untuk membuat saya menjaga jarak. Saya akan berlagak tidak peduli
lalu dengan ringannya melempar canda.
Setelahnya
saya akan bercerita tentang kepindahan saya sambil sibuk mencari kehilangan
yang seandainya ada, akan saya temukan di matanya, di caranya menatap saya
setelah cerita saya.
Untuk
beberapa saat, kami akan melihat jam tangan masing-masing, memutuskan untuk
lekas pulang. Saya pamit duluan, sambil berkata, “Hati-hati di jalan ya. Semoga
betah di kantor baru.” Tidak lupa sambil menjaga jarak, tanpa gestur perhatian
yang dulu biasa saya berikan. Dia akan tersenyum sambil menjawab, “Iya, kamu
juga.”
Tapi
tidak satu pun dari kami akan beranjak pergi. Karena untuk saya, hanya butuh
beberapa jam untuk kembali jatuh hati. Sempat terbesit di pikiran saya bahwa
saya tidak pernah berhenti mencintai tapi saya lebih suka menyalahkan lembeknya
hati kalau perkara pria satu ini.
Dengan
satu helaan nafas, saya beranjak pergi. Dia mengikuti saya keluar dari kafe.
“Pulang naik apa kamu?” Tanyanya berbaik hati. “Mobil aku parkir di sana.”
“Yaudah
ayo, aku anter ke mobil kamu.”
Saya
tergelak. “Nggak usah, ah. Kamu naik apa pulang?”
“Gampanglah
kalo aku. Kamu malem-malem gini dicariin orang rumah entar.” Katanya acuh
sambil berjalan ke arah mobil saya. Sesampainya di depan mobil saya, saya akan
menawarkan mengantarnya pulang, yang akan ditolaknya baik-baik. Saya harap saya
tidak melukai egonya, karena kebanyakan pria punya hubungan khusus dengan ego
mereka, dan mereka akan marah jika egonya diganggu.
“Aku
pamit, ya.” Saya memutuskan untuk menjabat tangannya.
“Kamu baik-baik ya.”
Katanya sambil menjabat tangan saya erat sebelum akhirnya berjalan balik
menjauh dari saya.
___
Hai. Jadi ketemu hari ini?
Pesan saya kirimkan. Tidak lama kemudian, dia merespon.
hai, sorry, aku nggak bisa, next week aja gimana?
Dan pertemuan barusan harus menunggu sampai minggu depan untuk jadi kenyataan.
No comments:
Post a Comment