Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Tuesday, January 27, 2015

Weekend Getaway

Now I know what short getaway feels like. It feels so good to experience it. But then i feel miserable afterwards. I miss the good time I spent and the activities I done during getaway. It's not only about the place but also the companion. Lucky me, I had the best getaway companions. Even we didn't have exact schedules or plan, and this getaway was also planned in such a short time, but I found that it's more exciting. You will find this funny because we four planned to take second flight to Singapore in the morning, but somehow one of us was late to book her flight, so she took another flight 30 minutes after us.

We didn't choose hotel during our stay because beside it's more affordable, we didn't have plan to stay in the room. We chose a very nice loft at River Valley Road next to Tony's Pizza. The loft used sophisticated password door with codes and stuff, we had trouble remembering the password. hehe.

Anyway, I had nice new york style pizza with lemonade for lunch. Then I and a friend went to our first destination: Laneway Festival at The Meadow to watch one and only Goddess we know: Banks. Even there were bunch of artists on the list, I honestly don't know them which is very shameful because back in three days before I went, a friend mentioned his favorite musician that will be performing at Laneway Festival who I didn't know about. 

That was my first time went to The Meadow and after all, that trip was my first trip to SIngapore. I have never been to Singapore before and I finally found that Singapore is a very decent country with smaller size than Jakarta. The people are nice and they have this remarkable habit called 'mind their own business'. 

Yet we could walk peacefully. Peacefully without bothered by motorcycles that most of the time will take half of pedestrian road because they simply didn't want to experience the traffic. Oh, and I miss how SIngapore almost never had problem with traffic jam. 

We sit on the grass eating hot dogs. I also had salt caramel ice cream which I slightly regret. But it tasted good so yah..

Anyway, we finally watched Banks and Gaby wore the same outfit as Banks which is very funny because she has major girl crush on Banks. Well, we all do. 

She sang our favoritie and most played songs on my playlist. Started with This Is What It Feels Like, then Brain (!!!!), Warm Water, You Drove Me Crazy, Before I Even Met You, Change, Waiting Game, and Beggin' For Thread. I believe there are some songs I forgot. But she definitely missed Goddess and Under The Table and Alibi (hiks). There were two performances left after Banks and we decided to go home.

The next day started at 12.00p.m. We were very exhausted and woke up hungry. Since it was more proper to call it lunch, but we insisted to called it brunch. We had (tasty) gourmet burgers for brunch on Haji Lane street (if i was not mistaken). The burger was real. It worth every dollar I spent (I am not gonna lie). If you by chance go to SIngapore, just don't forget I tell you that the burger is worth it. The street had paintings on the wall and we could not miss it. 

Then we went to Bugis Junction where I bought sweets as souvenirs. No one could resist Kinder chocolate and Kitkat Green tea, I dare you. Then we went to Sentosa by Sentosa Express. We took one ride called Skyline Luge Sentosa. We screamed all the way up and down. Hahahaha. I just realised I have that height phobia. But I am telling you the ride down was very fun!! The ride was called Luge, I suppose. Originally invented in New Zealand years ago. It was like mini 'go cart' and fit for only one people. 

Then we took beach tram to go to Palawan Beach. But before that, I order Old Chang Kee nuggets. They were so good! We spent time watching sunset. 

When we starved at 11 p.m. we decided to go to Newton Food Centre and had seafood! Yeay-ness! 

.

.

And I have my good vibes battery charged for the next whole week.






















  
 



Friday, January 23, 2015

Prioritas (2)

Baca dulu: Hari Lahir

Jam tangan saya menunjukan pukul 19.00. Harusnya jam segini Laras udah pulang. Saya membatin. Kurang lebih 30 menit saya menunggu di ruang tamu kos Laras. Tapi saya maklum kalau dia telat. Saya bukan prioritas dia yang pertama. Ada keluarganya dan Gilang, lalu pekerjaannya. Agak miris memang. Karena kita semua tahu, jika seseorang benar-benar mencintai kita, selalu ada waktu dalam kesempatan sempit untuk memberi kabar. Selalu ada celah untuk pulang tepat waktu. Saya mencoba membendung perasaan ngilu itu tapi faktanya memang begitu.

Tapi saya harus maklum.

"Halo Put!" Laras menaiki anak tangga terakhir dan menghampiri saya. "Udah lama?" 

"Nggak kok.." Saya nyengir. "Mau makan kemana nih kita?" Tanya Laras antusias. Rona pipinya tidak pernah gagal membuat saya jatuh hati. Matanya yang seakan berbinar saat menatap saya juga selalu berhasil membuat saya salah tingkah. Entah bagaimana harus memenangkan hatinya lagi. 

"Nggak usah fancy-fancy, ya. Aku kucel banget nih." Tambah Laras sambil manyun. Gemas.

Saya tergelak. Saya tahu alasan Laras bilang begitu. Tidak bisa disalahkan karena saya ingin terlihat mempesona di depan dia. Menghabiskan waktu 1 jam lebih 30 menit untuk memilih kemeja yang pas. Membuat saya teringat dengan film favorit kami. Flipped. Saya sekarang mengerti perasaan Bryce yang ingin terlihat mempesona di depan Juli tapi tidak ingin terlihat 'berusaha' untuk mempesona. Tidak semudah yang saya bayangkan, ternyata. 

"Kamu yang pilih tempat ya, Ras." Jawab saya sambil membukakan pintu mobil. 

"Anu...aku bisa buka sendiri, sebenernya." Kata Laras kikuk. "Tapi makasih.." Buru-buru ia tambahkan sebelum ia masuk ke dalam mobil. 

"Kamu lagi mau makan apa?" Saya bertanya lagi. 

"Lagi ngidam sushi."

"Sushi tei mau?" 

"Hehehehe mau...." 

Fly me to the moon /  Let me play among the stars /..

Laras buru-buru mengangkat telepon dengan ringtone favoritnya sedari dulu. Membuat saya ingin ikut bersenandung. 

"Halo...Ini lagi sama Putra..Makan...sushi."

Gilang.

"Iya, nggak malem-malem. Iya, dia kalo bawa mobil nggak suka ngebut kok. Iya sayaang..Bye, love you too."

Rasa nyelekit itu menyusup masuk. Bukan, bukan ngilu. Tepatnya cemburu yang menyusup masuk.

"Gilang ya?" Saya bertanya memastikan. Laras mengangguk. "Dia nggak jealous...?"

"Asal kita nggak balikan aja, Put." Jawabnya sambil tersenyum masam. 

"Yah, susah dong." Jawab saya memberi kode sambil tergelak. Laras konstan tertawa.

Sushi Tei, 21.00

"Pulang yuk.." Laras melirik jam tangannya. 

"Bentar dong...Aku jauh-jauh dari Bandung loh, Ras." 

"Kamu nggak mau nginep aja? Tante kamu masih tinggal di Jakarta, kan?"

Saya menggeleng. "Nggak, ah."

"Setengah 10 ya cabutnya. Nggak balikan ini." Jawab saya lalu tertawa sendiri. Menghibur hati. Berharap kode saya tersampaikan dengan rapi.


Kos Laras, 22.00

"Makasih ya Putra!" Kata Laras sumringah. Senyum itu entah untuk siapa. Saya atau sushi. Tapi rasanya hangat bisa melihat ia kembali seperti ini. Seperti saya tidak pernah pergi. "Hehehe seneng deh ngeliat kamu senyum gini."

Lalu saya lihat rona itu merekah di pipi. Ah, kamu.

"Sampai ketemu lagi ya, Put."

"Minggu depan gimana?" Saya buru-buru membuat janji. Biar tidak didahului.

"Minggu depan nggak bisa. Gilang ngajakin ke Bogor." Jawabnya. Dan kali ini saya yang harus maklum.

"Oke, nggak apa-apa. Sebisanya kamu kapan, aku siap aja."

"Yauda ya. Pamit dulu, Put. Hati-hati di jalan, ya." Kata Laras sambil membuka pintu.

Dan ada rasa tidak ikhlas. Ada rasa tidak ingin ditinggal.

Sebelum Laras sempat membuka pintu gerbang, saya turun dari mobil, menghampirinya.

"Ada apa, Put? Ada yang ketinggalan?"

"Hati aku." Tidak sadar saya menjawab pertanyaan Laras. Malu, saya diam mematung.

"Hahahahah kamu tuh!" Dan dipikir hanya canda oleh pencurinya.

Saya hanya bisa mematung disana saat Laras mulai berjalan menjauh. Tidak ada kecupan atau pelukan. Bahkan genggaman tangan.

.

.

Susah ya naksir sama pacar orang. Dengus saya dalam hati.

Friday, January 9, 2015

Hari Lahir

Jakarta, 27 Desember 2014

Saya baru sampai di kosan dengan baju basah. Hujan turun deras hari ini, dan saya tidak pernah ingat untuk membawa payung. Kebiasaan tidak percayaan dengan cuaca labil di Jakarta. Sekali waktu saya rela membawa beban lebih untuk satu payung di tas saya. Malah saya basah dengan keringat karena hujan batal datang. Sekalinya saya tidak bawa payung, hujan datang tidak diundang.

Sekalinya menggerutu pada Gilang, yang saya dengar malah, "Makanya, hape canggih tuh dipake. Orang ada tuh app-nya." Katanya sambil menunjukkan aplikasi prakiraan cuaca di ponsel saya. Saya manyun. Sebal.

Saya melihat kalender di dinding kamar kos saya. Ada lingkaran merah di tanggal 1 Januari. Saya tersenyum. Gilang yang melingkarinya. Untuk mengingatkan kalau saya ulang tahun. Agak heran kenapa dia melingkarinya di kalender milik saya. Katanya waktu itu, "Biar kamu inget. Kasian, tanggal ulang tahun kamu dikacangin, semua orang sibuk ngucapin selamat tahun baru." Saya tergelak. 

Sebenarnya saya tidak terlalu peduli. Tapi rasanya senang juga kalau ada yang ingat. Lalu tanpa permisi, memori tentang Putra menyusup masuk berbarengan dengan rasa ngilu gigitan semut. 

Tahun lalu, hanya ada satu chat bertuliskan 'HBD Laras' tepat satu hari setelah saya ulang tahun. 

Dan rasa ngilu itu muncul saat ada telepon masuk dari Putra. Obrolan lama, gelak tawa saya, permintaan maafnya karena nyaris lupa, dan logat jawanya yang selalu ada membuat saya tidak ingin menutup telepon. Tapi 22 menit kemudian, "Ras, udah dulu ya. Diajak makan sama temen." Katanya memberi alasan.

Dan untuk satu detik saja, saya ingin mencoba menahannya disana, tapi itu terdengar egois dan kekanak-kanakan. "Oh oke.." Jawab saya akhirnya sebelum menekan tombol merah di layar ponsel saya. Lalu saya menangis semalaman. Bukan memori yang enak untuk diingat setiap menjelang ulang tahun sebetulnya. Tapi saya tidak punya rencana untuk jadi amnesia akhir-akhir ini. 

Jakarta, 1 Januari 2015

"Selamat ulang tahun, Sayang.." Pagi itu kubikel saya penuh dengan hiasan ulang tahun ala Gilang. Ada balon, serbet ulang tahun, dan hiasan dinding yang ia pasang mengitari kubikel saya. Saya terharu nyaris menangis, sebetulnya tapi itu bukan waktu yang tepat untuk dijadikan bahan ledekan Gilang. Oh, tidak lupa kue ulang tahun. Kue red velvet bediameter 7 cm favorit saya ada di tengah meja saya dengan lilin siap ditiup, bersandingan dengan satu kado ulang tahun dibungkus kertas berwarna hitam. "Hahahah makasih ya!" Saya memeluk Gilang gemas. 

Tapi sebetulnya hadiah paling membahagiakan adalah kesempatan untuk membuka mata saat berulang tahun. Ini lebih dari cukup. Sampai siang telepon berdering dan ucapan berdatangan. Ternyata ada yang ingat. Terharu.

1 Januari 2015, 23.00

Melempar diri saya sendiri ke atas kasur, dan membiarkan kasur menenggelamkan saya adalah ide bagus. Saya melirik satu buket besar bunga aster di pojok ruangan lalu tersenyum. Somebody's being cute, today. Saya tersipu. Kata Gilang saat memberikan buket bunga itu, "Kan sekarang ulang tahun, jadi harus besar buketnya. Besok balik lagi ke buket mini, ya." Ah, kamu.

Saya menghela napas panjang. Dan sekali lagi tanpa permisi, sisipan memori tentang Putra membuat saya memeriksa semua pengirim ucapan selamat ulang tahun di ponsel saya. Melihat kontak Putra diam disana tanpa ucapan. 

"Dia lupa." Kata saya pada diri saya sendiri. 

"Ah, nggak apa-apa." Saya mencoba menghibur diri. Saya menghela napas panjang 15 menit kemudian, membiarkan pertahanan di bendungan mata saya bocor. Dan saya bisa merasakan hangat air mata mengalir turun. 

Lalu rasa ngilu itu masuk merusak satu hari istimewa yang hanya datang setahun sekali. Lagi. 







Thursday, January 8, 2015

Kejutan

Baca dulu: Kado

Bandung, 7 Januari 2015.

Saya merebahkan diri di atas kasur, berusaha untuk tidak berpikir macam-macam. Memutuskan untuk langsung pulang ke Bandung ternyata bukan ide yang bijaksana. Saya bisa merasakan kepala saya berat dan badan mulai meriang. Sial.

Dan saat ini yang saya ingat hanya Laras dan wajah lelahnya. Juga gerak perhatiannya pada Gilang. Dan disini saya hanya bisa cemburu. Ego tidak lagi terluka. Dia remuk berkeping-keping. Belum lagi rasa ngilu di ulu yang entah darimana asalnya membuat saya sesak napas.

Disini saya hanya bisa menggerutu sendiri. Mengutuk diri. Memarahi hati.

Bandung, 24 Desember 2014. H-7 Ulang Tahun Laras.

Satu minggu sebelum ulang tahun Laras. Salah saya mengingat tanggal ulang tahunnya. Tapi bagaimana bisa lupa jika ulang tahun mantanmu bersamaan dengan lahirnya tahun baru? Butuh pindah planet dulu kalau maunya begitu.

Satu minggu sebelum ulang tahun Laras dan saya memutuskan untuk berhenti pura-pura. Pagi itu saya bertemu dengan Kirana.

"Halo, Sayang.."

Saya tersenyum saat perempuan itu datang. "Kok mukanya serius banget?" Tanyanya sambil mengerutkan dahi. Satu jam basa-basi, akhirnya dia berhasil tahu kemana arah pembicaraan saya. "It's been quite a year, ya Put." Katanya. Air mukanya berubah.

Saya mengangguk. "Kenapa?" Tanyanya lagi, saya bisa lihat gumulan air di pelupuk matanya. Dan yang saya rasakan adalah simpati. Maaf.

"Saya masih sayang Laras. Dan saya nggak mau bohong sama kamu."

"Oke..." Lalu dia pergi. Tanpa senyum. Sekali lagi, hanya simpati yang saya rasakan. Dan semenjak itu tidak ada lagi ucapan selamat pagi, kue bolu, atau susu Almond untuk saya. Tidak ada lagi kecup di pipi, apalagi rasa cemburunya yang kadang berlebihan tapi selalu bikin kangen. Dan saya sadar ada lobang besar di samping padang layu yang ditinggalkan Laras. Rasanya sakit.

1 Januari 2015

Tahun baru saya sibuk sendiri. Urusan kuliah menunda kepergian saya ke Jakarta. Dan ucapan ulang tahun pun tidak sempat saya kirimkan. Tunggu ya.

Jakarta, 7 Januari 2015, 17.10
Saya tiba di kantor Laras. Dan saya tidak menemukan Laras disana. Informasi lengkap saya dapatkan dari teman sekantor Laras. Dan tidak sengaja saya berpapasan dengan pria itu. Dia mondar-mandir di lobi kantor tidak sabaran. Sepertinya sedang menunggu hujan sambil sibuk menggenggam satu buket bunga aster untuk pacarnya. Romantis sekali.

Saya teringat hobi unik Laras membeli bunga untuk dirinya sendiri. Ada 1/8 penyesalan saya tidak pernah memberikan dia bunga. Tapi kado yang saya bawa pasti sepadan.

Saya melewati pria itu menuju ke arah parkiran mobil dan menuju Le Cafe Gourmand. Saya sempat bertemu Laras, dan dia kelihatan lebih dari kaget saat melihat saya. Datang tepat waktu tidak membuat Laras ingin tetap disana. Malah dia ingin buru-buru pulang.

"Aku harus pulang, Put." Katanya sambil beranjak pergi. Reflek, saya menahannya, mencoba menggamit lengannya dan memohonnya untuk menunggu sebentar. Ada banyak rindu di dalam sini dan saya tidak mau meledak karenanya. 

Sebelum saya bisa menyampaikan status saya dengan Kirana, Laras menoleh ke arah pintu dan berdirilah ia disana, pria dengan satu buket bunga yang tadi saya lihat di lobi sedang menunggu hujan, resah.

"Ras.." Kata pria itu memanggil Laras. Basah kuyup dia berusaha untuk tidak menggigil. Dan saya melihat raut wajah Laras. Raut wajah yang beberapa tahun lalu hanya untuk saya yang terkena demam atau saya yang tidak sengaja jatuh dari motor, atau saya yang jatuh karena tidak pernah hati-hati men-dribble bola. Raut wajah khawatir milik Laras. 

Buket bunganya hancur dan terlihat lebih basah dari empunya. Tapi Laras tidak kelihatan peduli. Perhatiannya tertuju pada pria dengan buket bunga itu. 

"Halo, saya Gilang..." Jabat tangan hangat itu saya acuhkan sampai saya dengar nama Gilang disebut. Pria ini resah menunggu hujan untuk menemui Laras. 

Buru-buru saya rogoh kantong celana saya untuk mengambil kotak mungil berwarna hitam diikat pita tipis berwarna putih, dan memberikannya pada Laras. "Ras, ini kado ulang taun kamu. Selamat ulang taun, ya. Maaf kemarin nggak sempat ngucapin." Lalu saya pergi.

Bukan lagi gusar atau resah. Hanya cemburu. 

Wednesday, January 7, 2015

Kado

Baca dulu: Prioritas (1)

Januari 2015

"Pagi, Ras.." Saya reflek tersenyum mendengar suara berat itu pagi ini. Sayangnya saat saya menoleh, ada satu buket bunga aster menutupi wajahnya. "Ini buat kamu.." Katanya sambil mencium pipi saya buru-buru, karena kantor tempat kami bekerja tidak mentolerir PDA sama sekali. "Makasih ya.."

"Nanti ada meeting nggak, kamu?" Gilang bertanya lagi. Dan dari jarak sedekat ini, saya bisa menikmati binar matanya lebih lama dan alis tebal tapi berantakan miliknya yang membuat saya iri. 

"Ada sih entar jam 16.30. Kenapa?" 

"Kamu balik lagi ke kantor?" Gilang bertanya lagi.

Saya mengernyitkan dahi bingung. "Maunya sih.....langsung pulang. Ada apa?" 

"Yaudah, kalo gitu aku tunggu di kosan aja ya." Dia tersenyum. Lalu berjalan ke kubikelnya sambil meninggalkan aroma parfum familiar yang akhir-akhir ini jadi aroma favorit saya. Saya melirik buket bunga yang dibawa Gilang setiap hari sebulan terakhir. 

Kata 'jadian' mungkin lebih cocok diperuntukkan bocah SMA ketimbang kami yang sudah menginjak kepala dua. Tapi dia tetap menyebutnya begitu. Kali ini tanpa perlu update status di Facebook, karena kami berdua memutuskan untuk menon-aktifkan akun kami jauh sebelum kami berdua menjadi 'tetangga' di kantor. Tanpa perlu heboh tag sana sini di Path atau ribet menulis inisial satu sama lain di media sosial kami. Dan ternyata lebih nyaman seperti ini. Berada di dalam gelembung kami tanpa harus terusik oleh pertanyaan standar orang-orang. 

Buket bunga itu saya letakkan di lemari samping meja. Menunggu jam pulang kantor, lalu saya bisa membawanya pulang bersama saya. 


"Kamu suka bunga gitu nggak, sih?" Tanya Gilang satu hari setelah kami jadian. "I always love daisies. So pretty."

"Typical..." Sindirian halus miliknya herannya tidak pernah membuat saya tersinggung. Sama sekali. Mungkin karena saya orang skeptikal dan jarang peduli apa kata orang. 

"Tapi aku belum pernah dikasi bunga sama cowok, hehe.." Entah maksud saya menyatakannya sebagai kode atau bukan, tapi itu jujur. 

"Hah?" Saya tergelak melihat wajah kagetnya. "Aku lebih suka beli sendiri.." 

"Kenapa?" 

"Aku bisa milih bunga yang mana yang aku suka, dan nggak ngerepotin orang." 

"But you love daisies..." Pernyataannya menggantung. 

"Yep, I love daisies."

Lalu keesokan harinya sampai hari ini, ada satu buket bunga sederhana berisi sepuluh bunga aster untuk saya setiap pagi. 

Le Cafe Gourmand, 18.00

Saya menutup laptop saya setelah membiarkan mati perlahan kehabisan baterai, lalu merapikan kertas-kertas pasca meeting melelahkan. Mungkin tempatnya nyaman dan bikin betah, tapi agenda meeting sama sekali tidak menenangkan. Sebelum pulang saya menyempatkan diri memesan gelato rasa matcha di atas cone berwarna merah. 

Tiba-tiba seseorang menepuk pundak saya dan saya menemukan Putra dengan raut muka tak biasa berdiri di belakang saya. "Halo, Ras."

Saya merasakan keringat dingin mengucur dari punggung saya. Seberapa pun kerasnya saya berusaha berjalan maju, Putra selalu ada di depan saya, membuat saya lupa sakitnya ditinggalkan dan tidak diprioritaskan. Heran merasakan hangat merambati hati saya seperti ini. Wangi maskulinnya juga tidak pernah mempermudah saya untuk langsung pergi. "Kamu apa kabar?" Tanyanya sambil menyentuh lengan saya. 

Saya tersenyum. "Baik, Putra.. Aku pamit pulang ya. Udah ditungguin soalnya." 

"Aku kesini buat ketemu kamu, Ras. Bisa stay sebentar, nggak?" 

"Kamu tau darimana aku disini?"

"Aku tanya orang kantor, katanya kamu lagi meeting disini. Aku langsung buru-buru kesini. Untung ketemu." Ada lega di wajahnya saat menjawab pertanyaan saya. 

"Mau ngomongin apa? Nggak bisa lewat telepon aja?" Saya menawar sambil melirik jam tangan saya. Takut Gilang lama menunggu. 

"Kamu udah nggak pernah mampir sekarang."

"Sibuk, Put." Jelas saya tidak mau menyebut 'ada pacar' sebagai alasan. Saya tidak mau Gilang diikut-ikut-kan ke dalam drama yang tidak ada ujungnya ini. 

"Kapan-kapan mampir, Ras. Aku kangen."

Saya menghela nafas panjang. Merasa lelah menerka-nerka maksud Putra. Lelah karena tidak pernah ada hitam atau putih, hanya ada abu-abu. 

"Aku harus pulang, Put." Saat saya beranjak, dia reflek menggenggam tangan saya, menahan saya pergi. 

"Ras.." Saya melihat dari arah pintu masuk Gilang berjalan ke arah kami dengan keadaan basah kuyup membawa satu buket bunga yang tidak sengaja saya tinggalkan di kantor. Saya konstan melepas genggaman tangan Putra dan berjalan ke arah Gilang. "Kamu kok hujan-hujanan..?"

"Pas tadi mau pulang aku lihat ini ketinggalan, terus pas mau berangkat hujan, hujannya kelamaan, yaudah aku terobos aja. Ternyata kamu masih disini." Banyak kata di kalimat Gilang dan saya berusaha mengerti. Tapi saya memang bukan penyandang multitask yang baik. Saya hanya mengerti dia kehujanan. "Entar pulang sama aku ya. Terus mandi dulu. Biar nggak sakit."

Dia tergelak. "I am fine. Besok aku bawain dua buketnya, Yang ini rusak." Dan dengan keadaan dirinya basah kuyup begini, dia pikir saya masih peduli dengan buketnya.  

"Halo, saya Gilang.." Gilang berinisiatif memperkenalkan diri pada Putra. Dibalas lambaian dingin oleh Putra. 

"Ras, ini kado ulang taun kamu. Selamat ulang taun, ya. Maaf kemarin nggak sempat ngucapin." Kotak kecil berwarna hitam disodorkan kepada saya. "Terima kasih, Put." 

Dan kepergian Putra menyisakan raut wajah Gilang penuh pertanyaan. "Mantan kamu ya?"

"Maaf ya.."

Gilang tersenyum. "Nggak apa-apa ketemu mantan, asal nggak balikan aja." Jawabnya penuh canda. "Kan bukan bocah lagi, Ras. Masa ketemu mantan aja nggak boleh? Aku percaya kamu, kok." Lalu dengan hangatnya Gilang mengecup kening saya. Ah, kamu.

Tapi seakan kecupan itu kurang menenangkan, sekali lagi saya bisa merasakan keringat dingin saya mengucur dari balik kemeja. Juga rasa bersalah. Ternyata masih ada Putra dalam pikiran. 


Monday, January 5, 2015

Honest Thought

Tomorrow is my birthday, and I can't be thankful enough to express how blessed I am to have such a wonderful life, surrounded by caring and great people, had my chance to meet thoughtful person and most of them teach me many life lessons. I told you that I am a very awkward person and (honestly) not a people person, but I always love birthday party. The small and intimate ones with my best people. I don't think I will celebrate it this year, but one birthday dinner won't hurt, yes?

Anyway, I just came back from....Umrah. And I have to face the (apparently) very common question from people: "How does it feel?"

The very honest answer is that despite the fact that I no longer can wear my not-very-short pants, I am generally blessed, but I also can't say I am willing to wear hijab soon. And I also can't say that I am not sad to give them (my beloved short pants) to others, but that's okay. It's okay now.

And despite that some people expect me to change drastically and wear those long clothes as my daily outfits, I'm sorry I have to say no. Since I haven't 'called' yet and I am not feeling very comfortable wearing those, I just don't want to be a basic hypocrite. To people and especially to myself.

I see Umrah as one of my duties as Moslems, tho. So when people told me that there will be many blessings I get for doing Umrah, I don't think that it will affect me too much. It won't do me any favour if I can't be a better person after.

That's the reason I don't post any of my looks, outfits, or face on my instagram during Umrah to avoid high expectations from others. That, and I honestly don't look nice wearing hijab *tehe*. Oh, and I still love my pinkish hair, so yeah..

Happy New Year 2015 Everyone!

No resolution this year, only solid solutions.

x