Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Tuesday, December 15, 2015

Obrolan di Warung Pecel

Saya bersandar ke pilar tembok di area depan Stasiun Tugu Malang. Jam tangan saya menunjukkan pukul 08.25. Beberapa menit yang lalu pemberitahuan kereta api Gajayana dari Jakarta sudah sampai. Saya kembali melihat jam tangan saya.

"Halo!" Dia menyapa saya dari jauh. "Hai!"

Mungkin salah, tapi saya mau menariknya ke dekapan saya. Keinginan itu langsung saya simpan rapat-rapat saat dia sudah sampai di depan saya.

"Lama ya tadi nunggunya?" Perempuan dengan potongan rambut asing di depan saya bertanya. "Nggak kok. Tadi aku juga baru dateng." Jawab saya berbohong. Saya sampai di stasiun pukul 07.30 saking semangatnya.

"Tangan kamu dingin banget!" Katanya sambil mendekap telapak tangan saya. "Tangan kamu yang hangat mungkin." Saya melepaskan genggaman saya perlahan.

"Mau makan apa?" Saya mengalihkan pembicaraan. "Kamu masih suka nasi pecel? Ada warung pecel enak di deket sini."


__


15 menit sesudah kami duduk di warung pecel sebelah stasiun, dua piring nasi sudah ada di meja, tapi kami masih sibuk berbincang-bincang, membicarakan masa yang sebentar lagi kami tinggalkan.

"Kamu kapan berangkat?" Saya bertanya. Rencananya untuk pergi ke belahan dunia lain sempat menganggetkan saya, tapi butuh lebih dari status saya sebagai mantan untuk mencegahnya pergi.

"Bulan depan. Cepet banget berasanya. Kamu wisuda udah ada gandengan belom?"

"Hahahah aku ditemenin Ibuk aja."

Dia tersenyum. "Rencana kerja di Malang?"

"Nggak, kemarin aku udah diterima di tempat aku magang kemarin. Di Jakarta."

"Oh, Selamat ya!"

"Iya makasih. Hahaha lucu ya, aku ke Jakarta, kamu malah cabut ke beda benua." Cetus saya jenaka. Sembunyi dari rasa penasaran saya atas responnya.

"Itu namanya nggak jodoh." Jawabnya sambil tersenyum. Saya tersenyum miris.

Rasanya tidak se-nyelekit ini saat kami berdua putus. Tidak sesakit saat dia bilang "semuanya emang butuh waktu, termasuk buat ngelupain kamu," atau saat dia bilang "kamu yang langgeng ya sama pacar."

"Kamu nggak ada rencana balik ke Indo?"

"Belum tau."

"Well, aku harap kamu balik ke Indo kalau gitu."

Mungkin ini waktunya untuk menunjukkan sedikit perlawanan yang dia inginkan. Mungkin pergi adalah caranya untuk memberitahu saya untuk memaksa dia tinggal. Saya mengerti berjuang tidak sebercanda itu, tapi tidak akan sulit jika dia satu-satunya orang yang saya ingin habiskan hidup bersama. Dia yang selalu saya cari di pacar-pacar saya setelah dia. Tapi nyatanya saya harus kembali untuk menemukan yang saya cari. Dulu saya enggan untuk memaksa, memberitahukan keinginan saya, karena saya pikir dia tidak akan peduli. Tapi lihat keadaannya sekarang? Dia harus kabur ke luar benua dulu untuk menyadarkan saya.

Kali ini, saya mengerti.

Dia tergelak mendengar jawaban saya. "Insyaallah, ya. Tapi aku nggak janji."

"Entar yang aku gandeng pas wisuda siapa kalau bukan kamu?"

Dia memerhatikan wajah saya, mencari mimik guyon - yang saya yakinkan - tidak disana.

Sebelum dia menjawab, saya berkata, "saya butuh 2 tahun untuk saya ngelupain kamu. Kamu nggak pernah tau, saya nggak pernah ngasih tunjuk ke kamu. Itu salah saya. Salah saya tidak pernah berusaha buat meminta kamu tinggal. Yang kamu tau, saya bahagia sama pacar saya sekarang. Lalu kamu pergi ke Jakarta. Kita tambah jauh. Saya nyerah untuk membuat kamu kembali. Lalu sekarang kamu tiba-tiba mau ke Palermo. Saya aja nggak tahu itu ada di bagian peta sebelah mana. Tapi saya mau kamu balik lagi buat wisuda saya. Saya mau kamu. Because you are my worth suffering for."

Lama kami berpandangan dan dia sama sekali tidak mengeluarkan suara. Tiba-tiba saya mendengar Ibu penjual pecel berdeham di meja sebrang kami. Kami sontak menoleh ke arah asal suara.

"Maaf Mbak, Mas, kami cuma buka sampai setengah 10 pagi saja." Kata Ibu penjual pecel malu sambil tidak bisa menyembunyikan wajah merahnya ingin tertawa.

Jam menunjukkan pukul 09.25. "Oh iya maaf Bu, berapa semuanya?" Tanya Saya sambil menarik dompet dari saku belakang.

__


Malang, 19 September 2016

Saya kembali membetulkan letak Toga saya. Rasanya gerah sekali. Gugup untuk segera menambah S.E di belakang nama saya. Ibuk sibuk menyeka keringatnya sambil terus menggoyangkan kipas di tangan kiri. Saya melirik jam tangan, acara sebentar lagi dimulai dan dia belum kelihatan batang hidungnya. Pembawa acara sudah siap-siap di depan mic dan dia masih belum kelihatan.

"Hai." Sapaan itu dibarengi kecupan ringan di pipi. "Selamat wisuda ya, Sayang." Katanya sambil duduk di samping kiri saya. "Makasih ya."

Mungkin memang semua sudah ada jalannya. Mungkin obrolan di warung pecel beberapa bulan lalu adalah turning point buat saya. Mungkin dia memang bukan untuk saya. Ini waktunya untuk merelakan.

Saya merasakan getar ponsel di dalam saku. Saya membuka pesan paling atas.


Selamat wisuda, Putra. Semoga selalu sukses untuk karier kamu. Dan selamat untuk pertunangannya. Semoga lancar sampai hari H. Doa terbaik saya buat kamu.

Laras


 

 




No comments:

Post a Comment