Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Saturday, May 23, 2015

Dinding Setebal Tiga Inchi

Malang, 2010 

“Belom pulang?” 

Aku yang sibuk membereskan stirofoam bekas di ruang mading menoleh ke asal suara. “Bentar lagi pulang.” Jawabku sambil melirik jam dinding bergambar sponsor salah satu kartu jaringan telepon dengan warna kuning terang. Aku mendengar langkahnya mendekat. 

“Mau aku bantuin nggak?” Aku buru-buru menjejalkan barang-barangku sendiri ke dalam tas selempang kumal lengseran abang-ku. 

“Aku duluan ya, Mas.” Tanpa menoleh ke belakang, aku mempercepat langkahku. Aku harap dia tidak punya ide untuk menyusul. Aku punya masalah membiasakan diri tinggal di Malang. Jadi anak pindahan tengah semester sama sekali tidak menyenangkan, karena kebanyakan murid-murid disini sudah membiasakan diri dengan satu sama lain, aku harus bersusah payah untuk beramah – tamah. Dan aku harus akui, itu bukan salah satu keahlianku. 

Susah mencari alasan untuk membenci kota ini karena sebenarnya tidak ada yang harus dibenci. Aku saja yang tidak mencoba betah. Orang – orangnya ramah, makanannya MURAH sekali, jarang sekali macet kecuali ada acara tahunan seperti Malang Tempoe Doeloe atau Arema menang (telak atau tipis tidak ada bedanya). 

Aku ingat hari itu klub sepakbola 'biru' asal Malang ini menang suatu pertandingan (aku tidak bisa ingat pertandingan yang mana karena dasarnya aku tidak pernah peduli), datang dengan konvoi dari Kanjuruhan, mereka melewati sekolahku. Bunyi klakson dan derum motor yang sengaja dibuat-buat menjadi suara latar aku belajar mata pelajaran matematika siang itu. Seperti bukan hal yang mengganggu, teman-teman sekelasku malah berlari keluar kelas dan melihat konvoinya. Maksudku, apa yang spesial dari konvoi motor selain buang-buang bensin? Plus, klub sepakbola mana yang akan mengganti bensin mereka? Jadi, apa untungnya? 

Yah, setidaknya aku menyadari ada satu hal yang tidak aku suka di Malang. 

“Kok buru-buru, sih?” Aku berbalik dan melihat dia sudah ada di belakangku. “Oh, lo bisa manggil gue ‘kak’ kok atau kalo perlu manggil nama aja, nggak perlu pake manggil Mas segala. Gue tinggal di Jakarta sampai dua tahun lalu.” Katanya nyengir. Logat memang tidak bisa bohong. Aku pernah mendengar orang dengan logat kental Jawa Timur berbincang-bincang dengan bahasa ‘lo-gue’. Lucu, sekaligus menyedihkan. 

“Oh, oke.” Kataku acuh. Sebagai pembelaan atas sikapku yang seakan tidak peduli adalah aku tidak suka orang asing yang tanpa angin tanpa hujan datang menyapaku. Itu tidak terjadi di dunia nyata. Ini orang pasti ada maunya. 

“Nama gue Eki. Lo barusan pindah kan ya?” Aku mengangguk. “Nama lo siapa?” Pertanyaan Eki sangat enggan aku jawab. Bukannya sok jual mahal atau tidak suka beramah-tamah tapi cowok bernama Eki ini tidak kelihatan legit. Aku yakin dia pedofil yang sukarela memakai seragam SMA-nya lagi, masuk ke sekolah-sekolah untuk menculik anak dibawah umur. Seperti sekarang. 

“Maaf, aku harus pulang.” 

“Oh, oke, nggak apa-apa. Besok masih ada waktu. Dah anak baru!” 

Aku menarik nafas lega. Akhirnya. 

KEESOKAN HARINYA

“Lo kangen gedung Pen ya?” Kata Eki keesokan harinya saat jam istirahat yang kedua. Sebelum bereaksi, Eki sudah duduk di sampingku. “Sori, apaan?”

Eki mengulang pertanyaannya. Aku mengernyit. “Itu loh gedung BNI 46.” Katanya gemas. Aku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. “Oh! Hahaha, nggak kok. Kangen Bunderan HI.”

Giliran dia yang tergelak dan memperlihatkan deretan giginya yang dipagar. “Udah nyoba mi gorengnya Bu Sum belom?” “Indomie maksud lo?” “Hahaha iya. Enak banget tau.” “Bukannya semua Indomie goreng sama aja ya?” “Wah, merendahkan itu namanya. Gue traktir deh. Bentar ya.” Sebelum aku bisa menolak, Eki sudah berjalan setengah lari ke arah counter Bu Sum.

Kantin di SMA ini bisa dibilang lumayan besar dengan lebih dari tiga counter berbeda, aku tidak kehabisan pilihan makanan tiap siang, walaupun lebih seperti antri sembako karena kurang lebih ada 1000 anak istirahat di jam yang sama. Harus aku ralat, kantin ini tidak cukup besar.

5 menit kemudian Eki datang dengan dua mangkok mie goreng dan dua gelas es teh manis. “Bon appetite!” Kata Eki semangat. “Merci.” Jawabku tidak mau kalah.

“Anjrit! Ini enak banget! Gue dari mana aja deh baru tau sekarang!” Aku histeris. Eki tersenyum puas. “Ini enak banget, woy!” Kataku tidak santai. “Akhirnya..”

“Akhirnya apa?” Tanyaku bingung. “Akhirnya lo senyum juga.” Katanya santai. “Gue kira lo pedofil, soalnya.” Eki terbatuk – batuk sesaat setelah aku menyelesaikan kalimatku. “Hah?!”

“Muka lo tua sih. Kayak bukan anak SMA aja.”

Eki tergelak. “Pantes aja kemaren lo takut-takut gitu ngeliat gue.”

“Eki!” Salah satu temannya memanggil. “Ya?”

Kon ikut main futsal ora?”

“Oh iya, sip!” Eki membuat gesture ‘ok’ dengan jarinya. “Lo mau ikut gue main futsal nggak?”

“Gue nggak bisa main futsal.” Aku menjawab asal. “Yeh, nggak usah ikutan main, ngeliatin gue main aja.”

“Lah, ngapain banget ngeliat lo main futsal.” “Habis itu gue ajakin makan cwie mie enak, deh.” Katanya membujukku dengan makanan. Aku yakin bukan cwie mie-nya atau bayangan dia berlari menggiring bola di lapangan futsal yang membuat aku mengangguk.

Dan aku bisa merasakan dinding kokoh itu retak. 

No comments:

Post a Comment