Wednesday, October 31, 2012
The Best Conversation
Jamie Randall:
I'm full of shit, okay? No I'm... I'm *knowingly* full of
shit. Because, uh... because uh, uh... I have... I have *never* cared
about anybody or anything in my entire life. And the thing is, everybody
just kind of accepted that. Like, "that's just Jamie." And then you!...
Jesus. *You*. You. You didn't see me that way. I have never known
anyone who actually believed that I was enough. Until I met you. And
then you made me believe it, too. So, uh... unfortunately... I need you.
And you need me.
Maggie Murdock: No, I don't.
Jamie: Yes, you do.
Maggie: No, I don't.
Jamie: *Yes*, you do.
Maggie: Stop it, stop saying that.
Jamie: You need someone to take care of you.
Maggie: No, I don't!
Jamie: Everybody does.
Maggie Murdock: No, I don't.
Jamie: Yes, you do.
Maggie: No, I don't.
Jamie: *Yes*, you do.
Maggie: Stop it, stop saying that.
Jamie: You need someone to take care of you.
Maggie: No, I don't!
Jamie: Everybody does.
Hello Again Matt
i dont remember when exactly i start adoring Matt but i remember when i watched Long Hair by The Drowners i just realised that he is so....i dont know, what we call cute guy sings a good song in band...charming? Yeah, sort of. Plus, i love his smile. I just love the way he smiles. Oh My God, i think i am in love. Oh, i almost forget to say thanks. Thanks for making me adore him. lol
What Breaks My Heart Easily
1. Love songs
2. Photos
3. Memories about you that goes streaming in my head like black and white movie
4. Sad quote
5. Your tweets
6. Your status
7. Your smile. (Makes me realise, that smile aint mine, anymore.)
8. Romantic movies. (Makes me wish i have that kind of love story with you)
9. The way you act that "you are really okay without me" or "Your life is so much better without me" or "Losing me aint your big deal"
10. You have new crush not very long after break up with me show me that "i am that replaceable." Yes, that hurts.
2. Photos
3. Memories about you that goes streaming in my head like black and white movie
4. Sad quote
5. Your tweets
6. Your status
7. Your smile. (Makes me realise, that smile aint mine, anymore.)
8. Romantic movies. (Makes me wish i have that kind of love story with you)
9. The way you act that "you are really okay without me" or "Your life is so much better without me" or "Losing me aint your big deal"
10. You have new crush not very long after break up with me show me that "i am that replaceable." Yes, that hurts.
Surat Untuk Layla
Layla, maaf aku pergi, karena hanya Arimbi
yang selalu ada di hati.
Layla jangan memintaku kembali, karena kamu
berhak mendapat yang lebih baik.
Layla, jangan beri aku kesempatan untuk
kembali, jangan maafkan aku.
Layla, aku pergi.
Layla, terima kasih untuk satu tahun ini. Tapi
Arimbi, dia selalu di hati, dan tidak pernah pergi. Bukan, kamu bukan selingan,
kamu bukan pelampiasan, kamu adalah bukti aku pernah menyerah untuk menanti.
Layla, maaf untuk segala janji yang tak sempat
aku tepati, karena aku kembali jatuh hati pada Arimbi. Kembali menyerah untuk
pergi.
Selamat tinggal hai kamu yang pernah ada di
hati.
***
Layla
“Nggak apa-apa Adit. I am fine.” Aku tersenyum mendengar cerita tentang mereka berdua.
Mungkin memang harus ada aku di antara mereka
sampai Tuhan mempertemukan mereka kembali.
Mungkin aku bukan pelampiasan, tapi
cerita cinta mereka tidak akan lengkap tanpaku.
Ah, kamu
menghibur diri, Layla. Kamu mencintai Adit.
Aku mencintainya. Tapi Arimbi cukup lama
menunggu.
Aku memeluknya. Salam perpisahan. “Jaga Arimbi
baik-baik.. Cukup aku, ya Dit.”
“Arimbi, maaf membuatmu menunggu terlalu
lama..” Aku melambaikan tangan pada sosok perempuan di belakang Adit.
Terima kasih untuk satu tahun. Indah, sayang hanya bisa dikenang tanpa pernah bisa diulang
Sampai Disini
Halo
Dungu..
“Panggil aku tidak tahu diri, tapi aku
mencintaimu, Arimbi.” Aku merasakan
keringat dingin mengucur dari dahiku. Aku tidak segugup ini saat meminta Layla
menjadi pacarku. Oh, tentu saja, ini Arimbi.
Aku duduk di sampingnya di dalam kubikel
miliknya di suatu sore.
Setelah ini penantianku selesai, setelah ini
semua cara penolakanmu akan aku telan, karena aku tidak pernah peduli. Setelah
ini, aku akan pergi, tidak akan kembali, tapi tolong mengerti, aku
mencintaimu...
“Ayo pergi, buktikan pada semesta, kita bisa
bersama..”
Sekian tahun penantian, satu tahun menyerah
dan memilih yang ada, kini aku kembali jatuh, untukmu.
“Please,
be mine, Arimbi..”
“I have always been yours.”
...Aku
mencintaimu..
Be Mine
Hei kamu
pemilik hati, jika kamu kembali, cobalah mengerti, aku tidak pernah pergi..
“Arimbi..” Suara milik Adit mengagetkanku sore
itu.
“Layla nggak masuk hari ini..”
“Aku tahu.. Aku mau ketemu kamu.” Dan seketika
jantungku lompat dari tempatnya. Butuh beberapa detik untuk membiasakan diri.
Jangan terlalu besar rasa. Pasti ada hal
menyangkut Layla yang ingin dia bicarakan.
“Ada apa?”
Tanpa disuruh dia duduk di sampingku, masuk ke
kubikelku. “Be mine, Ari.”
Hei kamu
yang selalu di hati, jangan pergi lagi..
Semesta, Kamu Tega
Semesta terlalu menyukai keadaan saat kita
bersama tapi tak saling berbagi cerita.
Semesta terlalu menyayangkan perginya kamu
mencari ilmu jauh ke negeri orang dan membuatku memilih Layla.
Semesta benci
kita jauh, tapi tidak membiarkan kita jadi satu utuh.
Dan sekarang dengan segala trik mistisnya,
Semesta menarik tali merah milik kita berdua dan mengikatnya kuat. Entah apa
aku bisa lepas dari ikatanmu, Semesta.
“Arimbi ini berbakat banget loh, Dit. Rajin
lagi..” Layla, untuk kesekian kalinya, memuji Arimbi. Perempuan di depanku
tersipu. Hari ini, tidak ada lagi kaca mata bundar miliknya. Tidak ada lagi
kawat memagari giginya. Tapi lugu itu masih ada. Masih disana. Dia masih
Arimbiku..
“Adit kerja dimana, La?” Arimbi menatapku. Aku
tak perlu lagi mencari binar matanya seperti dulu, karena binar itu sekarang
menatapku.
“General Manager di Tobuki Corp. Bagian
marketing..” Layla menjawab, mewakiliku.
Dan setelah pertanyaan itu, kami bertiga diam,
menikmati makan siangku yang entah kenapa, terasa hambar.
Di tengah makan siang, “Kamu disini aja, Ri,
temenin Adit makan. Aku harus ketemu klien.”
“Aku anter, La. Aku udah selesai kok.” Layla
tersenyum. Senyum “tidak apa-apa” milik Layla selalu menarikku kembali ke dunia
nyata, ke duniaku tanpa Arimbi.
“Aku sama Pak Man, kok, Dit. I am fine.” Layla menuju pintu keluar
sambil memegang gagang telepon.
Hei
Semesta, apakah ini juga rencanamu?
5 menit masih tidak ada percakapan, aku
menyerah.
Cukup
Semesta, kamu keterlaluan. Untuk apa kamu membuat aku dan dia duduk berdua
tanpa bicara?
Hai. Lagi.
Hei kamu yang tidak pernah hilang dari ingatan, apakah kamu masih ingat diriku dan hari Rabu?
Layla masuk ke kubikelku membawa berkas-berkas pekerjaan. Sudah tiga bulan aku bekerja bersama Layla di butik miliknya. Entah, dari pertama melihat Layla, ada hangatnya persahabatan yang mengendap di hati dan tidak mau keluar. Mungkin karena itu aku betah bekerja disini. Selain ramah, Layla tidak pernah membeda-bedakan pagawainya. Dia bilang aku teman pertamanya yang tidak melihat orang dari "lapisan luarnya saja". Teman? Ah, dia memang sebaik itu.
"Hari ini makan siang bareng yuk. Mumpung Adit bisa juga. Kita makan siang bertiga."
Dan rasa ngilu yang entah darimana merayapi hatiku. Air mata membumbung sampai pelupuk. Aku menunduk pura-pura mengerjakan sesuatu. "Makan siang dimana?"
"Sushi Groove yuk." Aku mengangguk mengiyakan. Dan untuk kedua kalinya aku akan bertemu dengan si pemilik hari Rabuku.
Yang pertama saat tidak sengaja aku baru keluar makan siang bersama Layla, tiba-tiba dia disana. Menunggu di dalam butik. Dan dengan jelas kulihat pemilik hari Rabuku tersenyum pada Layla. Sekali lagi senyum yang tidak pernah bisa kurengkuh itu kembali dimiliki. Tapi bukan aku.
Layla mengenalkan aku padanya. "Ari, ini tunanganku, namanya.." Adit.. "..Adit."
Aku membalas jabat tangannya sambil tersenyum artifisial.
Hei kamu, apa kamu tahu rasanya jatuh cinta diam-diam?
Ku tatap binar matanya.
Hei kamu, kini aku punya seluruh hari untuk terpaku melihat indahnya binar matamu, tidak hanya hari Rabu.
Hei, tidak mampukah kamu membaca rasaku? Begitu rumitkah mengartikan tatapanku padamu?
Layla masuk ke kubikelku membawa berkas-berkas pekerjaan. Sudah tiga bulan aku bekerja bersama Layla di butik miliknya. Entah, dari pertama melihat Layla, ada hangatnya persahabatan yang mengendap di hati dan tidak mau keluar. Mungkin karena itu aku betah bekerja disini. Selain ramah, Layla tidak pernah membeda-bedakan pagawainya. Dia bilang aku teman pertamanya yang tidak melihat orang dari "lapisan luarnya saja". Teman? Ah, dia memang sebaik itu.
"Hari ini makan siang bareng yuk. Mumpung Adit bisa juga. Kita makan siang bertiga."
Dan rasa ngilu yang entah darimana merayapi hatiku. Air mata membumbung sampai pelupuk. Aku menunduk pura-pura mengerjakan sesuatu. "Makan siang dimana?"
"Sushi Groove yuk." Aku mengangguk mengiyakan. Dan untuk kedua kalinya aku akan bertemu dengan si pemilik hari Rabuku.
Yang pertama saat tidak sengaja aku baru keluar makan siang bersama Layla, tiba-tiba dia disana. Menunggu di dalam butik. Dan dengan jelas kulihat pemilik hari Rabuku tersenyum pada Layla. Sekali lagi senyum yang tidak pernah bisa kurengkuh itu kembali dimiliki. Tapi bukan aku.
Layla mengenalkan aku padanya. "Ari, ini tunanganku, namanya.." Adit.. "..Adit."
Aku membalas jabat tangannya sambil tersenyum artifisial.
Hei kamu, apa kamu tahu rasanya jatuh cinta diam-diam?
Ku tatap binar matanya.
Hei kamu, kini aku punya seluruh hari untuk terpaku melihat indahnya binar matamu, tidak hanya hari Rabu.
Hei, tidak mampukah kamu membaca rasaku? Begitu rumitkah mengartikan tatapanku padamu?
Thursday, October 25, 2012
Layla
Adit duduk diam menatap foto dirinya dan tunangannya di satu pigura di atas meja kerjanya. Layla. Putri dari pengusaha batu bara sukses di Indonesia. Menjadi seorang putri orang terpandang tidak membuat Layla terus bermanja-manja di rumah menghabiskan harta orang tuanya. Layla memilih untuk berkumpul dengan anak yatim-piatu di panti asuhan atau di kolong jembatan dibanding duduk manis di kafe mahal dengan teman-teman sosialitanya. Layla memilih merawat tanaman bersama tukang kebunnya di Minggu sore dibanding menyusul teman-temannya ke Singapura untuk belanja di Orchard Road, atau ke Hongkong karena ada Great Sale. Layla. Perempuan yang dengan kesederhanaanya membuat Adit jatuh cinta untuk yang kedua kalinya. Adit selalu berpikir dia tidak akan bisa jatuh cinta lagi, setelah Arimbi sukses datang dan keluar dari hatinya tanpa permisi.
"Kamu dimana, La?" Tanya Adit di telpon.
"Di butik, Dit. Ada apa?"
"Aku jemput ya.."
Layla tersipu. Adit tidak pernah mengumbar janji. Tepatnya jarang.
"Kamu nggak sibuk?" Layla menjawab
"Kebetulan meeting jam 3 di-cancel." Adit menjawab sambil melihat Rolex yang melingkar di tangan kirinya. "Gimana?"
"Boleh.." klik.
Pukul 14.25 Adit pergi menjemput Layla di butiknya di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Adit langsung disambut pramuniaga butik tersebut bukan karena mereka berpikir Adit adalah customer tapi mereka tahu Adit bukan pengunjung biasa. Pramuniaga selalu berbisik-bisik iri. Entah, mereka yang tidak punya cermin atau mereka memang suka membicarakan orang lain.
"Aduh, Pak Adit itu kok ganteng banget ya.."
"Non Layla kan biasa aja mukanya.."
"Iya, cuman kaya aja. Apa jangan-jangan... Pak Adit cuma mau duitnya aja. Secara..." Dan seterusnya.
Adit suka mencuri dengar pembicaraan orang-orang itu sambil tergelak. Ada-ada saja.
Ternyata Layla masih ada tamu. Layla keluar sebentar sambil minta maaf pada Adit yang dibalas dengan senyum "tidak apa-apa" milik Adit. Tidak lama kemudian, Layla keluar dengan tamunya. Perempuan sepantaran Layla.
Adit langsung mengenali perempuan itu hanya dengan melihat senyumnya. Senyum yang selalu ia curi lihat beberapa tahun lalu. Senyum yang tidak pernah hilang dari ingatannya.Senyum milik seorang Arimbi tidak pernah sama dengan senyum milik perempuan lain, termasuk senyum Layla.
Adit memutuskan tetap diam sampai Arimbi keluar dari butik Layla. Adit memutuskan untuk menjadi pengecut sekali lagi.
"Tadi siapa, La?"
"Oh itu desainer baru aku. Namanya..." Arimbi. "...Arimbi."
"Aku suka banget sama desain-desain dia. She is talented."
Senyum Adit menjadi jawaban penjelasan Layla.
Halo Arimbi, ternyata semesta mempertemukan kita kembali. Apakah kita juga harus menunggu semesta mengacak-acak hidup kita lagi?
"Kamu dimana, La?" Tanya Adit di telpon.
"Di butik, Dit. Ada apa?"
"Aku jemput ya.."
Layla tersipu. Adit tidak pernah mengumbar janji. Tepatnya jarang.
"Kamu nggak sibuk?" Layla menjawab
"Kebetulan meeting jam 3 di-cancel." Adit menjawab sambil melihat Rolex yang melingkar di tangan kirinya. "Gimana?"
"Boleh.." klik.
Pukul 14.25 Adit pergi menjemput Layla di butiknya di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Adit langsung disambut pramuniaga butik tersebut bukan karena mereka berpikir Adit adalah customer tapi mereka tahu Adit bukan pengunjung biasa. Pramuniaga selalu berbisik-bisik iri. Entah, mereka yang tidak punya cermin atau mereka memang suka membicarakan orang lain.
"Aduh, Pak Adit itu kok ganteng banget ya.."
"Non Layla kan biasa aja mukanya.."
"Iya, cuman kaya aja. Apa jangan-jangan... Pak Adit cuma mau duitnya aja. Secara..." Dan seterusnya.
Adit suka mencuri dengar pembicaraan orang-orang itu sambil tergelak. Ada-ada saja.
Ternyata Layla masih ada tamu. Layla keluar sebentar sambil minta maaf pada Adit yang dibalas dengan senyum "tidak apa-apa" milik Adit. Tidak lama kemudian, Layla keluar dengan tamunya. Perempuan sepantaran Layla.
Adit langsung mengenali perempuan itu hanya dengan melihat senyumnya. Senyum yang selalu ia curi lihat beberapa tahun lalu. Senyum yang tidak pernah hilang dari ingatannya.Senyum milik seorang Arimbi tidak pernah sama dengan senyum milik perempuan lain, termasuk senyum Layla.
Adit memutuskan tetap diam sampai Arimbi keluar dari butik Layla. Adit memutuskan untuk menjadi pengecut sekali lagi.
"Tadi siapa, La?"
"Oh itu desainer baru aku. Namanya..." Arimbi. "...Arimbi."
"Aku suka banget sama desain-desain dia. She is talented."
Senyum Adit menjadi jawaban penjelasan Layla.
Halo Arimbi, ternyata semesta mempertemukan kita kembali. Apakah kita juga harus menunggu semesta mengacak-acak hidup kita lagi?
Wednesday, October 24, 2012
Wednesday, October 17, 2012
"......."
"Jangan kasih aku bunga, cokelat atau boneka ya, soalnya itu gak bisa ngasih makan anak-anak kita entar."
"Nggak usah pamer mobil atau motor papa-mama kamu ke keluargaku ya, soalnya nggak jamin kamu bisa punya kerjaan yang bisa bikin kamu beli mobil sendiri."
"Jangan kasih aku bunga karena nggak sampe seminggu layu. Hah? Tanda Cinta? Tanda cinta itu kuliah yang bener, kalau bisa summa cum laude, cari kerja bagus, sukses. Kan bunga gak bisa bikin duit, Yang."
"Bolos kuliah? Kuliah aja males apalagi kerja. Kamu mau ngasih makan apa ke anak kita entar?"
"Kalau aku marah nggak perlu lah ngasih boneka Teddy Bear segede gaban, soalnya kesannya kayak "nyogok" biar dimaafin."
"Jangan suka foya-foya ngabisin duit papa-mama kamu, kasian. Kerja aja belom.."
"Kado ulang taun? Aku mau kado doa aja; kita kuliahnya cepet, cari kerja bagus, terus nikah. hehehe."
"Nggak usah pamer mobil atau motor papa-mama kamu ke keluargaku ya, soalnya nggak jamin kamu bisa punya kerjaan yang bisa bikin kamu beli mobil sendiri."
"Jangan kasih aku bunga karena nggak sampe seminggu layu. Hah? Tanda Cinta? Tanda cinta itu kuliah yang bener, kalau bisa summa cum laude, cari kerja bagus, sukses. Kan bunga gak bisa bikin duit, Yang."
"Bolos kuliah? Kuliah aja males apalagi kerja. Kamu mau ngasih makan apa ke anak kita entar?"
"Kalau aku marah nggak perlu lah ngasih boneka Teddy Bear segede gaban, soalnya kesannya kayak "nyogok" biar dimaafin."
"Jangan suka foya-foya ngabisin duit papa-mama kamu, kasian. Kerja aja belom.."
"Kado ulang taun? Aku mau kado doa aja; kita kuliahnya cepet, cari kerja bagus, terus nikah. hehehe."
Tuesday, October 16, 2012
Fashion Oh-So-Phenomena
Hello again people..
I am exactly in busy week. Assignments, quiz and mid-term test is on process now. But i always love blogging, you know. hehehe.
I also am working on my Fashion Phenomena's final project. You might be wrong desribe my project. You might think i am working on dress or designing or making collections for fashion show on last week in first smester. Unfortunately, no people. Fashion phenomena itself means history of fashion. Fashion itself is cycle so, the purpose of this lecture is knowing the basic form of style. At that time i dont know that prehistoric era (yes, that nenek moyang thingy) could contribute something in fashion world, but in fact, they did. The furs, Hair clip, One-shoulder dress, they all came from prehistoric era.
Then, Sumerian (the name for Mesopotamia's people) also contribute something then Egypt then then then then...
Okay, i should go back to my assignments. Enjoy you evening beautiful people, i love you..
xx
I am exactly in busy week. Assignments, quiz and mid-term test is on process now. But i always love blogging, you know. hehehe.
I also am working on my Fashion Phenomena's final project. You might be wrong desribe my project. You might think i am working on dress or designing or making collections for fashion show on last week in first smester. Unfortunately, no people. Fashion phenomena itself means history of fashion. Fashion itself is cycle so, the purpose of this lecture is knowing the basic form of style. At that time i dont know that prehistoric era (yes, that nenek moyang thingy) could contribute something in fashion world, but in fact, they did. The furs, Hair clip, One-shoulder dress, they all came from prehistoric era.
Then, Sumerian (the name for Mesopotamia's people) also contribute something then Egypt then then then then...
Okay, i should go back to my assignments. Enjoy you evening beautiful people, i love you..
xx
Monday, October 8, 2012
Hit By Fact
Hello again Monday. If you are little bit confuse by link below categories at the left column, dont worry, those are only stories i write in this blog. I categorize them again in one title, so if you wanna read them continuesly, it is easier to look for. Thank you :)
Anyway, Paula Meliana came to my college today and she told all her experiences in fashion industry. If you dont know who Paula is, she is a fashion designer for Bridal Wedding Gallery named Eva Bun. Eva Bun itself is family business that owned by Paula's mother. As a daughter she continues the business.
What i got from her presentation today was not as fabulous as when i first thought about being a fashion designer. She really worked hard to being known as now.
Another thing is Paula never wanted to be a fashion designer. Her mom asked her to be one.
"Because 10 years ago, Fashion Designer was not as fancy as now and that was expensive. But my mom asked me, so, i continued my study in one of Design Institute in Los Angeles. At the first time, i wanted to be an architect." She said.
And she also said that it wasnt easy to market her collections and she needed to get link as many as possible.
"My mom also started this business from zero." She added.
Beside her explanation, she also told us about media, and how to promote our clothing line, for example. She said dont trust too much in media, because in one time they can change their mind about us.
If i can make conclusion to her presentation today i will say this is the bitter yet inspiring story. She made it, i think. I mean, beside her luckyness to have business to continue and not to start, she really wants to prove everyone that she can do it.
She also invited to have fashion show in Jakarta Fashion Week. She is good, isnt she?
Well, people, if i can add another thing, honestly, what i really got from her is you can be anything you desperately want IF you want to work harder than anyone, IF you want to pray harder than everyone, and IF you have more passion than everyone. Show people you do your job ebcause you are happy doing it, not because you are asked. Goodluck!
xx
Anyway, Paula Meliana came to my college today and she told all her experiences in fashion industry. If you dont know who Paula is, she is a fashion designer for Bridal Wedding Gallery named Eva Bun. Eva Bun itself is family business that owned by Paula's mother. As a daughter she continues the business.
What i got from her presentation today was not as fabulous as when i first thought about being a fashion designer. She really worked hard to being known as now.
Another thing is Paula never wanted to be a fashion designer. Her mom asked her to be one.
"Because 10 years ago, Fashion Designer was not as fancy as now and that was expensive. But my mom asked me, so, i continued my study in one of Design Institute in Los Angeles. At the first time, i wanted to be an architect." She said.
And she also said that it wasnt easy to market her collections and she needed to get link as many as possible.
"My mom also started this business from zero." She added.
Beside her explanation, she also told us about media, and how to promote our clothing line, for example. She said dont trust too much in media, because in one time they can change their mind about us.
If i can make conclusion to her presentation today i will say this is the bitter yet inspiring story. She made it, i think. I mean, beside her luckyness to have business to continue and not to start, she really wants to prove everyone that she can do it.
She also invited to have fashion show in Jakarta Fashion Week. She is good, isnt she?
Well, people, if i can add another thing, honestly, what i really got from her is you can be anything you desperately want IF you want to work harder than anyone, IF you want to pray harder than everyone, and IF you have more passion than everyone. Show people you do your job ebcause you are happy doing it, not because you are asked. Goodluck!
xx
Telak
Untuk si dungu yang (ternyata) mampu membuatku
patah hati
Maaf untuk adanya mereka. Maaf untuk kehadiran
Mariska, Risma, Andin, Anya, Gisel. Adik kelas, kakak kelas, anak sekolah
sebelah, anak kuliahan, anak teman Mama, anak teman Tante dan masih banyak lagi,
bahkan aku sendiri tidak sanggup menghitung.
Aku pikir mereka bisa menghilangkan kamu dari
pikiranku. Aku pikir mereka dengan segala pengalamannya bisa membuatku berhenti memikirkanmu. Aku pikir kamu akan
berhenti. Berhenti menyakiti dirimu. Karena tidak mudah jika kita berdua
bersama..
Kamu (ternyata) berhenti. Berhenti muncul di
hari Rabu, dan sejak saat itu rokok yang aku hisap terasa hambar.
Kamu berhenti duduk di bangku paling depan
saat aku bermain menjadi bintang lapangan. Dan sejak saat itu bintangku meredup
karena aku tidak lagi ingin mencetak angka.
Lalu aku mendengar suara tawa renyahmu disana.
Ya, disana dengan orang lain. Disana dengan orang yang tidak lebih baik dalam
segala hal dibandingkan aku. Tidak tampan, tidak pintar, tidak berkharisma, dan
tidak-tidak yang lainnya. Tapi dia membuatmu tertawa. Membuatmu tersipu. Dia
yang minus. Bukan aku.
Bajunya lusuh. Tapi dia membuat matamu
berbinar.
Rambutnya acak-acakan. Tapi dia mampu
membuatmu tergelak.
Dia minus. Dia minus. Aku plus. Tapi aku kalah
telak. Kalah telak dalam segala hal tentangmu. Dia seperti mengenalmu lebih
dari aku mengenalmu.
Lalu aku melihat kamu dengan dia. Berboncengan
di atas motor berkarat berwarna merah. Motor berkarat yang mengalahkan aku dan
mobil necis kinclong milikku. Telak.
Tidak tahan dengan kekalahanku sendiri, aku
putuskan mendekatimu, bagaimanapun nanti hasilnya setidaknya, aku mencoba.
Esok paginya, aku tiba-tiba duduk di sampingmu.
Mencoba mencairkan suasana, aku memanggil namamu dengan benar. Arimbi.
“Catatan fisika ya?” kamu mengeluarkan catatan
fisika tanpa banyak tanya.
Aku diam. Tidak beranjak dari sampingnya.
“Pulpen?” kamu menyodorkan pulpen.
Aku menggeleng. “Kalau catatan yang lain aku
nggak bawa.”
Beberapa menit saling diam, aku beranjak pergi.
Entah, mungkin ini saatnya aku harus merelakan kamu.
Hei dungu, kamu berhak berhenti menunggu. Karena nyatanya aku tak mampu.
Aku
Hei cinta yang akhirnya kandas tanpa pernah
berbalas, aku masih disini
Tidak ada lagi satu hari memandangimu, karena aku berhenti memandangi senyummu.
Bukan karena senyummu mulai membuatku bosan
atau aku sudah lelah menunggu tapi aku tidak tahan melihat senyum kekasihmu.
Terlalu artifisial untukku.
Tidak ada lagi aku di bangku depan untuk
melihatmu di lapangan karena bangku paling depan selalu dihuni kekasihmu.
Lagipula, kamu tidak lagi sering mencetak angka.
Kamu tidak lagi meminjam buku fisikaku. Entah,
mungkin karena kekasihmu lebih rajin dariku.
Lalu aku tahu kekasihmu tidak seistimewa yang
aku bayangkan.
Karena satu bulan kemudian ada Mariska, Risma,
Andin, Anya, Gisel. Adik kelas, kakak kelas, anak sekolah sebelah, anak
kuliahan, anak teman Mama, anak teman Tante dan masih banyak lagi, aku tidak
kuat menghitungnya.
Hei kamu yang tidak pernah tahu aku disini,
aku kembali duduk di bangku paling depan saat kamu bertanding. Walaupun kamu
tidak akan tahu, aku selalu menyunggingkan senyum setiap kamu mencetak angka
entah kenapa. Ada buncahan yang tiba-tiba meledak di dalam.
Hei
kamu yang tidak pernah tahu aku memandangimu, hari Rabu tidak pernah sepahit
ini saat aku hanya bisa mendengar suara tawamu yang renyah dan senyummu yang
menyedot segala perhatianku tanpa pernah memilikinya.
Hei kamu yang selalu di hati, mungkin memang seharusnya aku berhenti. Berhenti memuji. Berhenti menunggu kamu untuk mengerti.
Dungu
Untuk si dungu yang rela menunggu
asap rokokku berhenti mengepul
Aku
tahu dia disana. Duduk memandangi aku merokok. Duduk diam melihatku tertawa
renyah tapi bukan untuknya. Tapi, dia masih disana. Setiap hari Rabu, hanya
hari itu.
Bahkan
dia tidak mencari tempat duduk lain untuk memandangiku. Dia selalu disana. Tapi
aku tidak risih. Karena itu aku selalu duduk di bangku yang sama di setiap
Rabu. Hanya setiap hari Rabu. Hari lain aku berusaha acuh.
Aku
juga tahu kalau dia dengan sengaja membuat catatan fisikanya serapih mungkin
untuk kupinjam.
Aku
tahu namanya. Aku menghafalnya sejak awal, aku hanya tidak ingin dia tahu aku
peduli. Aku hanya ingin tetap seperti ini. Dia tetap si dungu untukku.
Pulpen-pulpen
miliknya tidak pernah aku kembalikan. Aku menyimpannya. Tapi dia tidak pernah
meminta mereka kembali. Dia tidak pernah keberatan meminjamkan yang lain
untukku. Dia hanya tidak tahu, aku menyimpan sepuluh pulpennya yang tak pernah
kembali.
Aku
tahu dia duduk di bangku paling depan saat aku bertanding di lapangan. Aku juga
tahu dia menyempatkan diri tersenyum saat aku mencetak angka, yang berarti dia
tersenyum berulang kali.
Yang
dia tidak tahu adalah aku mencetak angka hanya untuk membuat dia menyunggingkan
senyumnya yang indah dan memerlihatkan giginya yang dipagar.
Yang
dia tidak tahu adalah setiap dia meminjamkan catatan fisikanya yang dia buat
khusus untukku itu aku hanya ingin bicara dengannya. Aku dengan sengaja salah
memanggil namanya hanya untuk tahu reaksinya, yang ternyata...dia sembunyikan.
Yang
dia tidak pernah sadari adalah setiap hari Rabu, di saat dia memandangiku
mengepulkan asap rokok, dengan gugup aku mencoba menangkap matanya, melihat
binarnya yang indah di balik kacamata bundar miliknya.
Hei
dungu, jika kamu tidak sengaja melihat angka kembar di dalam jammu yang
menginisialkan huruf depan namaku, itu aku. Itu aku yang merindukanmu.
Hei
dungu, maaf untuk senyumku yang tidak langsung aku tujukan untukmu.
Maaf
untuk pulpen-pulpenmu yang tidak pernah kembali.
Maaf
untuk waktumu di hari Rabu yang tersita untukku, karena kamu tidak pernah
berhenti memandangiku sampai asap rokokku berhenti mengepul.
Hei
dungu, maaf aku mencintaimu.
Wednesday, October 3, 2012
11:11
Halo angka kembar dalam jam digitalku, tolong jangan
berpindah ke menit lainnya. Karena aku masih tidak ingin kehilangan makna
asingmu. Tolong berhenti di detik 59 karena aku mau kamu tetap abadi. Atau jika
kamu mampu, kembalilah menjadi 11:11 karena aku jatuh cinta.
Kalau kamu mau, tetap disini sampai ada yang mampu
menggantikanmu. Kalau kamu mau tetaplah disini untuk menemaniku menyanyikan
lagu kesayangan kita..
Atau kalau kamu mau, kamu bisa tinggal untuk film favorit
kita, yang selalu kita akhiri dengan air mata.
Jika kamu tidak keberatan, berhentilah di detik 59, untukku.
Untuk kita kembali bernostalgia, seperti kamu tidak pernah pergi. Karena untukku,
kamu tetatp 11:11:59. Karena untukku kamu tidak pernah berubah. Selalu 11:11.
Mungkin jika kamu bersedia diam lebih lama, kita bisa
mengulang segala gelak tawa kita yang membahana memecah sunyi tiap siang. Aku juga
tidak keberatan jika kamu mau mengulang pertengkaran kita yang selalu berkahir
dengan kekalahan di pihakku. Karena aku tidak mampu mengalah. Karena aku tidak
pernah mampu merelakan kamu pergi.
Aku tidak akan baik-baik saja saat kamu pergi. Tapi semuanya
beralasan. Juga kepergianmu.
11:12
Tak kusangka semudah
itu kamu berpindah detik. Tapi kamu akan tetap jadi 11:11:59 milikku. Selamanya.
Kamu
Untuk cinta yang tak pernah mau mampir, aku disini
menunggumu
Sunggingan senyummu tiap pagi itu cukup. Cukup menyakitkan,
maksudku. Karena aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Menyakitkan karena senyum
itu bukan untukku. Menyakitkan karena hanya aku yang tidak menyerah. Tidak menyerah
untuk merekam memori tentangmu di kepalaku, berhimpitan dengan pelajaran-pelajaran.
Dengan kegiatan sekolah yang aku anggap tidak lebih penting dari kamu, tapi
harus tetap ada disana.
Kamu harus tahu, aku selalu ada di bangku penonton paling
depan untuk melihatmu di lapangan. Kamu harus tahu, catatan fisikaku aku buat
paling rapi hanya untuk dilihat olehmu. Meskipun kamu selalu salah menyebut
namaku. Aku tidak peduli karena aku selalu disana. Saat kamu lupa membawa
pulpen, pulpen-pulpenku siap untuk dipinjam, meskipun tidak satupun dari mereka
yang kembali.
Terima kasih untuk angka kembar dalam jam digital yang mewakili inisial namamu. Untuk
semua angka kembar dalam jam digital yang tidak disengaja berhasil membuatku
tersenyum.
Halo cinta yang tak pernah sampai tapi juga tak kandas, aku
disini..
Frater Josef
Untuk kamu dan dengung suaramu yang menghantar aku tidur..
Lonceng gereja pagi
ini sudah berdentang tiga kali. Aku memakai jubah cokelatku, tidak lupa
merapikannya di depan cermin. Lalu dengan miris melihat diriku sendiri. “Aku
ini bukan siapa-siapa.” Gumamku sambil berbalik melihat Salib terpasang di atas
ranjang. Lalu aku melirik ranjang itu. Ranjang kapuk keras yang menjadi teman
setiaku. Hanya ranjang di ruangan 3x4 ini yang tahu bahwa aku menduakan Tuhan.
Tuhan Yesus yang sudah menyelamatkan adikku dari kecelakaan tragis tiga tahun
lalu. Dan sejak adikku sadar dari koma, aku berjanji menyerahkan hidupku
untuk-Nya.
“Hei!
Ayo!” Mikael membuka pintu kamar dengan
kasar saking tidak sabarnya. Aku buru-buru mengambil sepatu di bawah ranjang
lalu memakainya.
Gereja
hanya berjarak 5 meter dari asrama dan kami sudah terbiasa bangun subuh bersiap
untuk Misa Pagi. Jam tanganku menunjukkan pukul 05.50. Sepuluh menit lagi Misa
dimulai dan aku belum melihatnya. Seseorang yang berhasil membuatku menduakan
Tuhan. Seseorang yang berhasil menciptakan imajinasi di kepalaku yang mungkin
normal dibayangkan kebanyakan laki-laki tapi bukan aku.
“Frater...”
Sapuan angin menyampaikan saraf pada otakku untuk mencari asal suara. Jantungku
mencelos. Suaranya...
Kalau
aku tidak langsung teringat Tuhan Yesus aku akan langsung memeluknya dan bilang
padanya bahwa aku merindukannya. Tapi nyatanya aku menatapnya dengan wajah
datar cenderung dingin, ditambah lidah ini tidak kooperatif sama sekali.
‘Halo.”
Sahutku menggantung.
Namanya
Maria. Nama yang indah, apalagi jika disandingkan dengan namaku...
Aku
tahu rasa ini. Rasa yang tumbuh lebih cepat dari jamur dan butuh 365 hari atau
bahkan lebih untuk mengenyahkannya. Yang terpenting adalah hanya aku, ranjang,
dan –sayangnya – Tuhan yang tahu.
Aku
berharap ada tempat selain permukaan bumi ini, agar aku bisa pergi bersamanya,
membuncahkan perasaanku, memagut, bercinta seperti Adam dan Hawa. Seperti Layla
dan Majnun. Seperti sepasang kekasih yang tidak akan dianggap menduakan Tuhan.
Tapi
semua kisah punya rintangannya sendiri dan ini adalah kisahku.
“Frater,
ayo masuk. Daritadi diajak ngomong kok diem aja.” Sahutnya sambil
menyunggingkan senyum termanis sejagat raya. Berlebihan memang, tapi Maria
memang yang terindah.
Kami
berjalan beriringan. Sesekali aku melirik wajah telurnya yang menyempurnakan
penampilan polosnya dengan rambut sepundak yang tergerai. Ingin sekali aku
membelainya, walaupun hanya sekali. Walaupun aku harus berperang dengan diriku
sendiri. Walaupun nyatanya aku sudah melupakan janjiku pada Tuhan.
Dosa
manis ini bermula saat tiba-tiba aku pergi ke kapel. Tersirat di benakku, Tuhan
yang merencanakan pertemuan ini. Ah, semesta. Betapa tidak adilnya dirimu.
Aku
menemukannya disana. Berlutut di depan patung Bunda Maria. Aku mendengar isak
tangis di sela doanya. Itu yang membuatku ingin berlutut di sebelahnya. Dia
tidak menyadari kehadiranku sampai ia membuka matanya.
“Frater!”
Ia tampak terkejut.
“Tidak
apa-apa, Nak. Apa yang mengganggu benakmu?” Aku bertanya.
Kata
demi kata pun meluncur dari mulutnya, sesekali diikuti dengan linangan air maa
di pelupuk matanya. Meskipun aku tahu air mata itu nyaris tak terbendung, ia
tetap menahannya.
Kisahnya
menyentuh hatiku, entah aku yang lembek atau cengeng tapi dia berhasil
membuatku menangis.
“Aku
tidak bisa membayangkan jika ibu pergi, aku akan sendirian. Tidak akan ada yang
memedulikanku..” Air mata itu berubah menjadi lelehan bukan lagi titik hujan.
“Ingat,
Nak, Tuhan selalu punya rencana.” Jawabku bijak.
Ia
mengangguk pasrah tapi aku bisa lihat matanya memancarkan beberapa persen
ketidakpercayaan dan keraguan. “Semuanya akan baik-baik saja, Nak.” Aku
menambahkan, berharap dia bisa mengurangi sinar suram itu di matanya. Tidak
tahu mengapa, pancaran sinar suram itu juga membuatku sedih. Dan aku sadar, ada
rasa aneh yang sulit dideskripsikan sejak hari itu.
Sebulan
setelah pertemuan kami di kapel itu, ibunya meninggal. Kankernya ternyata lebih
akut dari dugaanku. Meskipun masih ada sunggingan senyum di wajahnya saat
mengatakan “Tuhan selalu punya rencana” aku tahu dunianya hancur.
Yang
bisa aku lakukan hanyalah menitipkannya di asrama suster yang dekat dengan
gereja. Agar imannya tidak goyah, agar ia selalu dekat dengan Rumah Tuhan dan
agar kami....selalu dekat.
Pertama,
dengan munafiknya aku lari dari perasaan ini. Sampai-sampai aku menghindarinya,
pergi dari kenyataan. Namun lalu aku sadar saat aku menghindarinya, aku juga
lari menghindari Tuhan.
***
Setelah Misa, Maria mengajakku
ke Kapel, katanya dia ingin menceritakan sesuatu. Tidak tahu mengapa, hatiku
berdebar tidak menentu. “Ada apa Maria?” Aku bertanya, memulai pembicaraan. Aku
mengepalkan tanganku yang berkeringat karena gugup. Ini selalu terjadi jika aku
bertemu dengan Maria.
“Frater adalah satu-satunya
orang yang aku percaya setelah Ibu.” Air mukanya berubah sedih. “Ada apa?” Aku
bertanya lagi. “Aku... hamil, Frater.”
Sekarang giliran nadiku yang
seakan terpotong. Kosong. Duniaku seakan terbagi dua, hancur dan runtuh ke
lubang tidak berujung. “Kamu...hamil...” kalimatku sekali lagi menggantung.
Kalimat barusan bukan pertanyaan, bukan juga pernyataan.
Maria mengangguk. Aku kalap. Aku
mengguncang pundaknya dengan kasar, “Siapa Maria? SIAPA!?” Aku membentaknya.
“ARRGH!” Teriakanku
menimbulkan gaung di dalam kapel. Maria
tahu aku kecewa. Tapi dia tidak tahu betapa remuk hatiku. Betapa merasa
bersalahnya aku karena tidak bisa menjaganya. “Kami melakukannya dengan cinta,
Frater! Dia akan bertanggung jawab!” Maria membela diri. “Cinta katamu!?
Laki-laki itu tidak mengerti apa itu cinta! Jika dia memang mencintaimu, dia
akan menjagamu!” Aku semakin meradang. Aku merasakan keringat menetes dari
pelipisku. Jantungku berdetak semakin cepat. Semuanya tiba-tiba kabur. Kepalaku
pening.
“Aku akan memintanya bertanggung
jawab, Frater.” Maria berkata dingin. Lalu ia gadis itu pun berlalu. Dia
meninggalkanku, meninggalkan duniaku.
“Tuhanku...” Aku merebahkan diri
di kursi. Sambil menggenggam erat kalung Salib di dadaku, aku menangis. Rasanya
sakit. Tapi tidak ada luka.
Setelah hari itu aku mengunci
diriku di kamar. Tidak hadir di setiap Misa Pagi. Dua minggu berlalu, aku
melihat diriku di cermin. Kusut, tidak teratur dan hancur. Apa ini yang namanya
patah hati? Mengapa begini sakitnya. Ada sesuatu yang hilang disini. Di dadaku.
Seperti ikut hancur bersama rasaku pada Maria. Ah.. gadis itu... Aku
merindukannya.
Suatu malam, aku membuka pintu
kamarku lalu berjalan di sekitar asrama. Aku mendengar suara tapak kaki
mendekat. Saat aku berbalik aku mendapati Pastor Imanuel tersenyum. Senyuman
hangat yang ingin aku lihat. Senyuman itu, entah mengapa, membuatku hangat.
Senyuman sederhana yang mengingatkanku untuk selalu menghargai hidup.
Mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri. Tanpa diminta, aku menceritakan
segalanya. Maria. Kupu-kupu. Dan perasaan aneh tapi nyata itu. Juga peristiwa
yang membuat duniaku remuk.
“Aku mencintainya, Pastor. Dan
aku sudah menduakan Tuhan.” Pastor Imanuel tersenyum. “Dan sekarang akan ada
pemuda tidak bertanggung jawab hidup bersamanya.” Pastor menepuk pundakku,
menenangkanku. “Rupanya kamu sudah melupakan Tuhan, Nak.” Kata-kata Pastor
menusuk jantungku.
“Ya Pastor, aku melupakan
Tuhan..” dengan berat hati, aku mengakui dosaku. “Tidakkah kamu ingat Tuhan
mendengar semua keluh kesahmu.. Apakah imanmu sudah terkikis oleh nafsu?
Datanglah pada-Nya, Nak. Dia tau jawabannya..” lalu Pastor Imanuel berlalu.
Meninggalkan aku sendiri.
Subuh, aku pergi ke kapel.
Tempat penuh kenangan itu. Lalu aku berdoa. Meminta. Mengaku dosa. “Tuhan Yesus
Maha Baik, aku mencintainya, tapi Engkau tahu aku berjanji pada-Mu. Tolong beri
aku jawaban, Ya Tuhan..”
Tiba-tiba pintu kapel terbuka,
aku menemukan Maria dengan wajah kusam di baliknya. “Dia...pergi Frater. Dia
meninggalkanku.” Lalu kudengar isak tangis.
Perasaan di dadaku berkecamuk.
Rasa rindu dan hangat yang entah dari mana masuk meresap disini, mengisi relung
kosong berdebu yang diabaikan. Aku seperti hidup kembali. Separuh jiwaku
kembali. Dia pulang.
Ya Tuhan.. apakah ini jawaban-Mu?
Biarkanlah
aku menepati janjiku dengan menjaganya..
Aku datang merengkuh Maria. Mengusap tangis di pipinya. Semua rasa itu
semakin membuncah tidak dapat dibendung.
“Aku yang akan bertanggung
jawab, Maria.” Aku meyakinkan hati. Ya,
aku yakin!
“Frater...” Maria melihatku tidak percaya.
“Jangan panggil aku Frater,
Maria. Namaku Josef.”
Subscribe to:
Posts (Atom)