Home              About              Stories              Projects             Late Night Thoughts            Review

Thursday, June 4, 2015

Gumpal Sesal Sebesar Bakso


Aku berpapasan dengan Eki hari ini. “Eki!” Aku menyapanya dari jauh sambil melambaikan tangan. Akhirnya dia menoleh dan membalas dengan lambai tangan, lalu kembali sibuk dengan urusannya. Sudah seminggu dan tidak ada ajakan makan cwie mie, bahkan mie goreng Bu Sum. Bukannya aku tidak peduli tapi Gamal bukan distraksi yang buruk. Tidak hanya humoris, tapi cara dia memerhatikan aku bicara ternyata lebih mengasyikan daripada pertandingan futsal ataupun basket.

“Mau kemana nih hari ini?” Tanya Gamal di depan sekolahku. Tidak ada helm cadangan karena dua hari lalu dia datang ke kosan hanya untuk memberikan aku helm baru. Untuk jaga – jaga, katanya. Karena aku akan sering naik motor. Dan malunya, aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku. Aku yakin, wajahku semerah buat tomat saat itu. Tidak sebanding dengan buket bunga tapi cukup untuk membuatku terkesan.

“Bakso Pak Man enak nih kayaknya.”

“Eh itu Eki. Eki!” Aku tidak yakin dia mendengar jawabanku barusan tapi aku melihat Eki menaiki sepeda motornya menuju ke arah kami.

“Eh, halo. Mau kemana?” Bukan urusanku memang, tapi responnya terdengar dingin dan acuh. Jauh beda dengan Eki seminggu lalu.

“Mau makan Bakso Pak Man. Ikut yuk!” Aku berinisiatif mengajaknya.

Eki melihatku sejenak. “Ayo.”

30 menit kemudian kami bertiga akhirnya kebagian tempat duduk dan sudah anteng dengan porsi bakso kami masing – masing. Aku pribadi penggemar bihun dan disini aku bisa makan bihun sepuasnya. Yah, setidaknya satu mangkok penuh dengan kuah bakso. Yum.

“Eki sekarang sombong masa, Mal. Nggak pernah ngajak makan mie goreng lagi.” Cetusku sambil menunggu respon lucu dari Eki. Tapi yang aku temukan hanya sungging senyum datar. “Lagi banyak tugas, Nara. Kapan – kapan ya.” Tidak ada komentar lucu dan kenyataan itu mengusik aku. Eki kenapa?

“Bentar mau nambah bakso lagi.” Kata Gamal sambil beranjak bangun dengan mangkok bersiap untuk ronde kedua. Meninggalkan aku berdua dengan Eki dan banyak sekali hening. “Lo kenapa, Ki?”

Eki menoleh ke arahku, memasang wajah bingung. “Kenapa gimana maksud lo?”

“Lo marah sama gue kenapa?”

“Marah sama elo? Ah, perasaan lo aja.”

Aku menyerah. Eki versi ‘ngambek’ bukan versi yang enak diajak bicara. Makan siang dengan Eki berakhir begitu saja saat hanya lambai tangan yang dia berikan. Tidak ada pamit. Bahkan tidak ada senyum.

“Si Eki kenapa deh?” Aku mengalihkan pertanyaan pada Gamal. Berharap dia punya jawabannya.

“Hah? Kenapa Eki?” Ah, hopeless.

“Eh, besok Sabtu jalan yuk.”

“Sabtu banget?”

“Hahaha biar kayak orang pacaran.” Goda Gamal. Tidak bisa dikatakan gagal memang. “Mau banget dikira pacaran.”

Gamal tergelak lalu berkata, “Ya mau lah. Kamu mau nggak?”

Ha? Maksudnya?

“Udah ah, pulang yuk.”

Aku tahu kodenya. Mungkin tidak pantas pula disebut kode. Itu sudah jelas dan blak – blakan. Mungkin terlalu cepat, tapi Gamal bukan kesempatan yang mau aku lewatkan. Tapi entah apa membuatku berhenti sejenak sebelum mengambil keputusan. Opini lain membuat saya mengalihkan pembicaraan. Opiniku yang lain tentang Eki mencegahku menjawab pertanyaan blak – blakan Gamal.


Lalu rasa ngilu itu datang entah darimana. 

No comments:

Post a Comment