Baca dulu: Cwie Mie Rasa Sakit Hati
Aku berpapasan
dengan Eki hari ini. “Eki!” Aku menyapanya dari jauh sambil melambaikan tangan.
Akhirnya dia menoleh dan membalas dengan lambai tangan, lalu kembali sibuk
dengan urusannya. Sudah seminggu dan tidak ada ajakan makan cwie mie, bahkan
mie goreng Bu Sum. Bukannya aku tidak peduli tapi Gamal bukan distraksi yang
buruk. Tidak hanya humoris, tapi cara dia memerhatikan aku bicara ternyata
lebih mengasyikan daripada pertandingan futsal ataupun basket.
“Mau kemana nih
hari ini?” Tanya Gamal di depan sekolahku. Tidak ada helm cadangan karena dua
hari lalu dia datang ke kosan hanya untuk memberikan aku helm baru. Untuk jaga
– jaga, katanya. Karena aku akan sering naik motor. Dan malunya, aku tidak bisa
menyembunyikan rasa senangku. Aku yakin, wajahku semerah buat tomat saat itu.
Tidak sebanding dengan buket bunga tapi cukup untuk membuatku terkesan.
“Bakso Pak Man
enak nih kayaknya.”
“Eh itu Eki. Eki!”
Aku tidak yakin dia mendengar jawabanku barusan tapi aku melihat Eki menaiki
sepeda motornya menuju ke arah kami.
“Eh, halo. Mau
kemana?” Bukan urusanku memang, tapi responnya terdengar dingin dan acuh. Jauh
beda dengan Eki seminggu lalu.
“Mau makan Bakso
Pak Man. Ikut yuk!” Aku berinisiatif mengajaknya.
Eki melihatku
sejenak. “Ayo.”
30 menit kemudian
kami bertiga akhirnya kebagian tempat duduk dan sudah anteng dengan porsi bakso
kami masing – masing. Aku pribadi penggemar bihun dan disini aku bisa makan
bihun sepuasnya. Yah, setidaknya satu mangkok penuh dengan kuah bakso. Yum.
“Eki sekarang
sombong masa, Mal. Nggak pernah ngajak makan mie goreng lagi.” Cetusku sambil
menunggu respon lucu dari Eki. Tapi yang aku temukan hanya sungging senyum
datar. “Lagi banyak tugas, Nara. Kapan – kapan ya.” Tidak ada komentar lucu dan
kenyataan itu mengusik aku. Eki kenapa?
“Bentar mau nambah
bakso lagi.” Kata Gamal sambil beranjak bangun dengan mangkok bersiap untuk
ronde kedua. Meninggalkan aku berdua dengan Eki dan banyak sekali hening. “Lo
kenapa, Ki?”
Eki menoleh ke
arahku, memasang wajah bingung. “Kenapa gimana maksud lo?”
“Lo marah sama gue
kenapa?”
“Marah sama elo?
Ah, perasaan lo aja.”
Aku menyerah. Eki
versi ‘ngambek’ bukan versi yang enak diajak bicara. Makan siang dengan Eki
berakhir begitu saja saat hanya lambai tangan yang dia berikan. Tidak ada
pamit. Bahkan tidak ada senyum.
“Si Eki kenapa
deh?” Aku mengalihkan pertanyaan pada Gamal. Berharap dia punya jawabannya.
“Hah? Kenapa Eki?”
Ah, hopeless.
“Eh, besok Sabtu
jalan yuk.”
“Sabtu banget?”
“Hahaha biar kayak
orang pacaran.” Goda Gamal. Tidak bisa dikatakan gagal memang. “Mau banget
dikira pacaran.”
Gamal tergelak
lalu berkata, “Ya mau lah. Kamu mau nggak?”
Ha? Maksudnya?
“Udah ah, pulang
yuk.”
Aku tahu kodenya.
Mungkin tidak pantas pula disebut kode. Itu sudah jelas dan blak – blakan.
Mungkin terlalu cepat, tapi Gamal bukan kesempatan yang mau aku lewatkan. Tapi
entah apa membuatku berhenti sejenak sebelum mengambil keputusan. Opini lain
membuat saya mengalihkan pembicaraan. Opiniku yang lain tentang Eki mencegahku
menjawab pertanyaan blak – blakan Gamal.
Lalu rasa ngilu
itu datang entah darimana.
No comments:
Post a Comment